15

37 4 16
                                    

"DIA Adikmu! Serius kamu biarin aja? Kamu membiarkan pembunuh berkeliaran, kamu gak kesal?" Gadis itu bersungut-sungut, napasnya terkapah-kapah, mata tajam.

Teriakan itu berhasil menarik minat sekeliling. Koridor yang barusan ramai, kian menjadi senyap. Netra mereka memandang ke si gadis serta lelaki berjaket hitam tersebut. Suara bisikan bertambah tatkala menyadari bahwa pertengkaran boleh jadi muncul. Mereka siap bergosip.

Suara decakan lidah keluar dari gadis. Ia murka sebab beberapa hal, pertama sikap sekeliling yang sangat kepo akan masalah orang, dan kedua—yang paling jelas. Ekspresi lawan bicara satu ini buat naik darah. Lihat! Ia bahkan memaasang earphone di telinga, tidak sopan dengan lawan bicara juga ada batasnya, dan Rahma merasa bahwa orang di depan sudah melampaui batas. Bila bukan di tempat umum, boleh saja ia sudah mengeluarkan jurus karate, memukul dagu lelaki itu.

Tahu akan tatapan emosi yang menusuk tubuh. Ia melepaskan earphone, menatap gadis bersurai coklat tersebut, malas. Sejak kemarin hubungan mereka menjadi buruk.

Menghembuskan napas, sebagai lelaki yang cerdas, ramah, serta berakhlak mulia. Ia berkata, "Gimana, ya? Biarin aja ngapa?" Rangga mengedipkan bahu. "Kenapa juga kamu antusias sekali? Lagian sudah ada yang memegang kasus. Ini bukan ranah kita."

Rahma tercekat. Benar sekali, hanya orang bodoh yang bakal injakan kaki di kasus pembunuhan. Berbahaya, sudah jelas, ia sadar. Ia pun juga ingin menjauh, akan tetapi. Lain cerita kalau korban adalah adik dari sahabatnya. Ia tak terima!

"Mungkin, kamu benar. Mungkin ini bukan ranah kita, tapi kamu serius biarin gini aja? Maksudku Heina itu—" ia menutup mulut. Sial hampir kebongkar. Ia lupa bahwa fakta Heina adik kembar Rangga adalah hak tabo, tak boleh diketahui oleh siapapun. "Maksudku gini, kamu serius tak mau tahu pelaku dari pembunuhan ..." 'Adikmu'?

Rangga menggeram. "Menurutmu menarik?"

"Hah?" Rahma mengerjapkan mata. Seketika saja ia merasa bergidik, menatap mata menusuk dari Rangga. Ini pertama kali ia melihat sosok di depannya emosional ini.

"Kamu kira apa nyawa manusia? Kamu kira kematian orang menarik, sebab bisa kamu gali kebenaranya? Kamu kira kematian orang jadi tempat ajang permainan detektif mu itu?!"

Kata-kata tajam yang terlontar berhasil menyentuh hati Rahma, ia menunduk, merasa sedih. Ia tak bermaksud demikian!

"Sikap yang antusias saat terjadi sesuatu, sikap yang seolah-olah senang ketika terjadi sesuatu padahal itu menyakitkan bagi orang lain, sikap yang memperlakukan sebuah insiden layaknya mainan. Bagian itulah ... yang buat aku muak sama kau! Jangan tampakan wajah itu lagi di depanku!"

Rangga menunggikkan badan, berjalan menjauh. Sementara Rahma terkesiap. Hatinya terkikis, butiran bening jatuh tanpa bisa ia tahan.

***

"Apa aku terlalu kasar?" Jam istirahat telah usai, seharusnya semua murid berada di kelas masing-masing. Akan tetapi, hari ini suasana hati Rangga buruk, ditambah Melihat wajah Rahma menangis.

Wajahnya terus terngiang, ia menjadi sesak. Susah rasanya bila berpura-pura jahat ke orang yang dianggap penting.

"Gak. Itu keputusan pintar, aku gak bisa biarkan Rahma masuk lebih jauh lagi. Aku gak mau dia Kenapa-napa." Rangga menggelengkan kepala, menepis pikiran barusan yang bilang bahwa sebaiknya berbalikan dengan Rahma.

Dipegang erat kamera itu. Kamera yang dia beli demi mengabdikan diri untuk memotret, ia suka memotret semenjak mengetahui bahwa ia punya adik kembar. Maka ia menyimpan banyak kenangan akan Heina disana, kenangan yang saat ini berguna.

Jari-jari itu terus membalikkan foto demi foto mendiang sang Adik. Ia makin marah, digigit bibirnya dengan erat.

"Sudah kuduga. Kamu tipe orang yang cinta mati dengan Adik." Sebuah suara menyentaknya, ia hampir terjungkal, bahkan hampir saja kamera itu terjatuh.

Ketika ia hendak komplain akan sosok itu, ia malah membeo. "Pak Efendi?"

"Yo. Ketemu lagi, Nak."

Rangga mendesah, berjalan menjauh. "Saya harap kita gak bakal ketemu lagi, anda merepotkan soalnya."

"Merepotkan bagaimana?"

"Anda sebenarnya tahu, kan? Hubunganku dengan Heina, bahwa kami anak kembar. Pada 1 April, anda menelpon saya, berulang kali, hampir masuk kategori spam, malah."

"Hoo. Kenapa kamu berpikir demikian."

"Pertama, anda berasal dari kantor detektif yang bukan main, mencari data seperti itu gampang. Anda sudah mencoba menghubungi saya berulang kali, mencoba mencari kesaksian dari saya, memang saya salah karena menolak, tapi saya butuh kesiapan."

Efendi tersenyum.

"Lalu anda malah membuat skenario seolah saya adalh pelaku, membuat Rahma berpikir yang tidak-tidak. Dan pada akhirnya menyuruh saya bercerita bahwa saya adalah adik kembar Heina secara langsung. Padahal kemarin bisa saja anda, cerita langsung ... itu buat hubunganku dengan Rahma jadi berantakan, tahu!"

"Hahahaha. Maafkan atas tindakan frontal saya. Tapi Saya setuju dengan Nak Rahma, wajar dia marah. Sebab kamu secara tidak langsung ... tak percaya dengannya."

Rangga terdiam, menghela napas. "Saya tahu. Bila saya bilang ke Rahma Heina adalah adikku, maka jelas dia bakal cari cara untuk masuk ke kasus dan itu—"

"Bahaya untuk anak gadis, kan?" Potong Efendi menebak pikiran Rangga.

Sementara Rangga cuma menganggukan kepala.

"Omong-omong, dimana Nak Rahma?"

Rangga kembali teringat kejadian beberapa saat lalu, memalingkan wajah. "Kita bertengkar. Kurasa dia tak akan lagi mengangguku."

"Oh." cuma itu yang keluar dari mulut Efendi, sebab si detektif yakin atau punya analogi bahwa Rahma pasti tetap ngotot.

"Lupakan tentang Rahma. Saya gak mau dia terlibat. Ini adalah kasus untuk saya, adik saya terbunuh, jelas siapapun tak terima. Jadi pak Efendi. Izinkan saya masuk ke dalam kasus ini, izinkan saya membantu anda. Dengan gitu, aku yang cari pelaku bukan ilegal lagi, kan?"

Mendengar perkataan dan kesiapan dari Rangga, Effendi tersenyum lebar. "Baiklah, kuizinkan. Mulai sekarang kita rekan, Nak Rangga."

***

A/N : maaf kalau bab bertele-tele. Sebenarnya ini masih setengah cerita dari bab 15, tapi karena belum jadi dari kemarin. Tak UP aja, daripada kosong melompong

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang