10

25 5 8
                                    

EFENDI menatap tenang gadis yang menangis sesegukan di hadapannya. Sudah sekitar tiga puluh menit ia menjadi sanksi dan yang dilontarkan hanyalah umpatan dan cacian untuk pelaku pembunuhan. Gadis bernama Amel itu agaknya sangat merasa kehilangan atas kematian teman sebayanya, Heina Natalia.

Secara umum respon dari Amel adalah normal, namun kendati demikian Efendi baru pertama kali ini melihat hubungan personal sedalam ini.

Setelah ditelusuri melalui wawancara singkat ternyata Amel dan Heina adalah teman masa kecil, tumbuh besar tetangga. Masuk sekolah yang sama pula.

"Sangat keterlaluan, ini keterlaluan. Apa salah Heina? Dia gadis baik ... dasar tidak punya hati!"

"Tenanglah, nak Amel." Efendi tersenyum menatap isak tangis dari gadis. "saya pastikan pelaku akan segera ditangkap, jadi arwah teman anda bisa istirahat dengan tenang."

Amel menganggukan kepala sembari mengucek air mata. "Terima kasih, Pak Efendi."

"Dengan senang hati." Efendi menyerahkan kartu nama milik dia. "bila memiliki informasi tambahan jangan sungkan untuk menghubungi saya, pasti akan berguna."

"Saya akan membantu. Saya tidak bisa membiarkan Heina diperlakukan secara keji!" Kini Amel memandang Efendi. "kalau informasi saya juga tahu seseorang yang dekat dengan Heina, selain saya."

"Oh. Siapa dia? Mungkin aku bisa mencoba menyelidiki."

Si Amel mulai menyebut nama seseorang itu, Efendi membelalakkan mata, terkejut lalu tersenyum.

"Kamu sudah boleh kembali ke kelas, nak Amel. Terima kasih atas waktunya."

Setelah kepergian Amel. Efendi menghela napas, merasa belum ada perkembangan sama sekali. Punggungnya ia senderkan di kursi sambil meminum teh hangat.

Ridwan detektif junior itu menggaruk kepala yang tidak gatal. Rasa frustasi kian muncul ."Sebenarnya ada apa dengan sekolah ini? Ini sangat tidak waras. Pertama keamanan CCTV sudah rusak seminggu lebih sebelum kejadian? Apa pihak sekolah tak ada niat memperbaiki. Kedua, masa tidak ada satupun sanksi mata yang melihat pelaku membawa mayat dalam kurung waktu kisaran 13.00 - 15.00? Ketiga, respon para murid acuh dan acuh. Dua teman mereka meninggal, tapi kebanyakan bersikap biasa saja, bahkan beberapa ada yang bersikap seperti detektif ... ini memuakkan."

"Anda melupakan satu hal," putus Efendi menyeruput teh lalu melanjutkan. "keluarga korban atas nama Randika Putra, menolak panggilan kita. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu."

"Nah itu," seru Ridwan. "Kenapa keluarga korban tidak ingin bertemu? Ini mencurigakan."

Efendi merogoh-rogoh saku mencari sebatang rokok, lalu menyalakannya. "Mengenai itu sebenarnya—"

Pintu ruangan itu dibuka secara tiba-tiba membuat perkataan Efendi terputus. Seorang gadis masuk ke ruangan. Rambut berponi panjang sampai menutupi wajah, sementara kelopak mata hitam seperti panda, tubuhnya tampak bungkuk.

Datang juga, akhirnya. Yang ditunggu-tunggu Efendi yang ingin menghidupkan rokok memutuskan untuk mengurungkan niat, ia pun tersenyum dan menerima tamu.. "Selamat datang."

Si gadis duduk di hadapan Efendi, mulai mengatakan hal yang ia ketahui.

***

Ruangan Kelas 10-B sudah sepi, kebanyakan murid telah pulang terkecuali Rangga yang terkulai di meja. Mata dia tertutup rapat, membawanya kembali ke kenangan masa lalu.

Pantai ramai oleh pengunjung, terik matahari kala itu terang, dan pasir putih membentang luas. Suara ombak yang tenang mengiringi tawa anak-anak yang bermain air. Di tepi pantai, seorang gadis berambut hitam panjang sedang asyik bermain dengan air laut bersama anak-anak kecil di sana.

Mereka tertawa, berseru, saling melempar air dan membalas. Tampak sangat bahagia. Suara tawa dan senyuman tak bisa pudar.

Rangga, yang berdiri tidak jauh dari situ, memperhatikan dengan penuh minat. Ia mengambil kameranya dan mencoba mengabadikan momen tersebut. Kamera ia fokuskan ke arah gadis berambut hitam itu yang menurutnya teramat cantik.

Namun bertepatan pada saat kamera hendak di potret, si gadis seakan menyadari sesuatu menoleh dan tersenyum cerah.

Pupil mata Rangga terbuka lebar. Hasil foto tercetak: gadis dengan bikini berwarna kuning, tubuhnya seputih susu, matanya lebar berwarna coklat, pipi lengsung menambahkan kemanisan saat tersenyum.

"Ini yang terbaik ..."

"Rangga. Bangun!"

"Bangun, Rangga!"

Momen itu tiba-tiba memudar, dan Rangga tersentak bangun dari lamunannya. Ia menatap ke sumber suara. Terlihat Rahma menunggu di sana.

"Dasar menyedihkan, bisa-bisanya tertidur—eh! Kamu menangis?" Nada suara si gadis berubah penuh dengan penekan khawatir kala menyadari air mata tumpah begitu saja.

Sebagai jawaban Rangga hanya menggelengkan kepala. Mengangkat tas dan segera keluar, bilang kepada si gadis bahwa barusan tak perlu dikhawatirkan.

"Yakin gak papa? Badanmu lemas dan panas." Rahma membantu Rangga berjalan karena lelaki itu berjalan secara sempoyongan.

"Aku gak papa." Rangga menepis tangan Rahma, mencoba sok kuat dan berjalan sendiri. "cuma buat jalan, bisa sendiri."

Pipinya tiba-tiba cemberut atas tindakan yang ia terima. "Hmp! Oke fine udah bagus ditolongin malah tidak terima kasih, pantas lah kamu gak laku ..."

Ucapan seterusnya dari si gadis bagaikan kabut, tidak bisa dicerna dengan baik. Kepala Rangga terasa pusing, berdenyut-denyut, dunia serasa berputar. Napasnya terengah-engah. Rangga memegang tembok dengan sebelah tangan, berusaha menopang tubuh yang mati rasa.

"Kamu mah memang gitu, dasar—" selesai dengan komplainya Rahma membelalakan mata. Rangga terkapar, jatuh di lantai. Dengan panik ia berseru, "hei serius gak apa-apa!?"

Ia menopang tubuh sahabatnya. "Panas! sejak kapan kamu demam?"

Hening. Rangga tak menjawab. "CK! Dasar merepotkan. Ayo ke UKS sebelum pulang, setidaknya ada obat kali."

"Maaf," ucapnya kelu.

"Pas gini doang kamu nurut! Dasar," keluh si gadis.

Di persimpangan jalan, belok kanan sebelum menuju UKS. Tiba-tiba mereka bertemu dengan seseorang, ia tak lain adalah detektif Efendi dan Ridwan.

"Hei, ternyata masih ada murid di sini," ucap Ridwan menatap keduanya.

Sementara Efendi meneliti perawakan dua orang itu. Lalu tersenyum.

Bukankah dia Pak Efendi... Rahma kembali teringat atas pertemua beberapa hari yang lalu. Jujur ia punya banyak pertanyaan tentang kasus secara dia adalah detektif, pasti banyak informasi. Tapi kondisi Rangga memburuk.

"Permisi pak, saya mau lewat." Rahma menundukan kepala berjalan begitu saja. Namun terhenti, tangan Efendi merentang menghentikan perjalan mereka.

"Apasih pak! Gak lihat teman saya sedang sakit!? Saya harus buru-buru."

"Tunggu sebentar," tukasnya. "Kalian dari klub Jurnalis, kan? Dan apa dia betul dengan Rangga?"

"Ya. Memang ada apa?"

Efendi tersenyum. "Kalau begitu. Saya izin menyita waktu sebentar. Kebetulan murid yang belum kuinterogasi adalah kalian berdua."

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang