16

42 5 18
                                    

NETRA mata pemuda itu tak bisa lepas dari ponsel korban, Randika Putra dan Heina Natalia, yang rusak parah. Ia menghela napas panjang, mencoba membenahi ponsel tersebut dengan tangan gemetar. Namun, usahanya sia-sia. Layarnya retak, casingnya penuh goresan, dan beberapa bagian dalam tampak terbakar. Kerusakan parah ini membuatnya frustrasi.

Ia mendecakkan lidah, merasa geram. "Pekerjaan macam apa ini?" gumamnya. Memang, ia masih kurang pengalaman dalam dunia penyelidikan, tapi ia tetap seorang detektif, bukan tukang servis ponsel. Ia merasa dipermainkan oleh keadaan.

Pagi itu, ketika mendengar bahwa seniornya hendak pergi ke sekolah untuk mencari saksi, Anton—security SMA Taruna Negara, semangatnya membuncah. Ia sudah bersiap-siap untuk ikut, mengharapkan adanya perkembangan signifikan dalam penyelidikan. Namun, kenyataan berkata lain. Efendi, seniornya, membagi tugas dan memintanya memperbaiki kedua ponsel tersebut. "Siapa tahu ada sesuatu di dalam," katanya.

Dengan hati berat, pemuda itu duduk di meja penyelidikan. Tangannya berkeringat, mencoba membuka casing ponsel yang sudah nyaris tak berbentuk. Setiap percobaan memperbaiki hanya memperparah keadaan. Bagian dalamnya penuh debu, kabel-kabel terkelupas, dan baterainya sudah tak berfungsi.

"Ini bukan pekerjaan detektif," bisiknya, merasa kecewa. Namun, ia tak punya pilihan. Ia harus terus mencoba, meskipun harapan semakin tipis. Pemuda itu tahu, dalam dunia penyelidikan, setiap petunjuk berharga. Bahkan, dari ponsel yang rusak parah sekalipun, bisa saja terdapat jawaban yang mereka cari.

Detik demi detik berlalu, ketegangan semakin memuncak. Ia hanya bisa berharap bahwa usaha kerasnya tidak akan sia-sia, bahwa ada secercah harapan di balik layar yang retak dan komponen yang hancur. Sambil terus berjuang, ia menggantungkan harapannya pada satu hal—kebenaran yang tersembunyi di dalam ponsel tersebut.

Dan pada akhirnya ia menyerah. Meluapkan serangkaian emosi dalam satu teriakan, "Kutu kumpret! Jelas ini bukan bidangku!" kesalnya. Ia menggaruk rambut, frustasi.

"Pak Efendi punya hobi buruk, menyerahkan pekerjaan seperti ini kepada junior. Apa dia kira saya itu kacung?" Ridwan menggeram, matanya memancarkan sekelebat amarah. Bila saja ia diberikan kesempatan, sudah jelas ia akan menjitak kepala Efendi.

"Kayaknya gak ada pilihan lain." Ia mendesah, jika dipikirkan ia enggan melakukan hal ini. Kondisi keuangan menipis. Sebagai detektif pemula, ia tak punya pendapatan banyak. Jadi melakukan rencana ini adalah opsi terakhir. "mari serahkan ke orang yang tepat saja."

*

Jalan macet. Mobil, motor, tak mau kalah. Suara berisik mesin menggelar ke segala arah, mengganggu indra pendengaran. Asap mengepul, terik matahari menyengat. Para pengemudi ricuh, berseru marah. Tak mau kalah bunyi klakson saling menghampiri. Seolah mengisyaratkan untuk segera maju.

Di tengah hiruk pikuk kota. Berdiri Bangunan megah, menjulang tinggi. 'Service center.' berlogo hp. Ridwan telah sampai di tempat service ponsel. Ia masuk begitu saja. "Permisis," sapanya di dekat pintu masuk.

"Selamat datang." Seorang Pria menjawab sapaan itu, ia jelas adalah pemilik servis ini. "ada kendala apa mas?"

"Saya tidak tahu kendala apa. Tapi," Ridwan merogoh saku. Meletakan dua ponsel korban di meja. "bisa diperiksa dulu, mas? Ini kenapa ya kira-kira?"

Pria itu melihat kondisi Ponsel dengan seksama. Lama ia melihat-melihat, bagaikan seorang profesional sedang mengecek. "Ini parah. Anda pasti mencoba memperbaiki dengan cara yang amat maksa."

Ridwan menggaruk kepala yang tidak gatal, merasa tersindir.

Sedangkan pemilik service manatap ramah, "Baik, saya periksa. Masnya duduk saja di ruang tunggu. Memang parah, tapi beberapa jam juga bakal kelar."

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang