9

30 5 6
                                    

"BAGAIMANA menurutmu, Rangga?" tanya Rahma di perjalanan pulang sekolah. Motor itu masih menyalip pengendara lain, warna langit berubah menjadi mengelap. Lampu di perempatan berubah menjadi merah, tanda berhenti.

"'Bagaimana apanya?" Rangga menatap lampu menunggu berubah menjadi hijau.

Gadis bersurai coklat itu menghembuskan napas. Menatap wajah lelaki yang memboncenginya. "Ini tentang perkataan, Kak Hendra. Dia bilang 'Jauhi kasus ini!' apa kamu setuju?" Wajah si gadis kini berubah masam.

Spontan ia membalikan badan. "Kalau aku—" Suara klakson mobil menderu, memotong percakapan mereka. Pengendara mobil , motor di belakang sudah berseru menyuruh mereka untuk segera berjalan..

Menancap gas, motor itu melaju. Tak ingin membuat kemacetan dan diuring-uring masyarakat. "Aku tak terlalu peduli. Lagian sudah ada Pak Efendi, selaku pengurus kasus. Kita tak perlu lagi menginjakan kaki, berbeda lagi kalau tak ada Pak Efendi."

"Aku paham." Wajah sebal malah berubah menjadi sedih. "tapi kamu yakin? Klub akan dibubarkan!"

"Sebenarnya aku keberatan."

"Tuh, kan!"

"Tapi," putus Rangga mata masih fokus ke depan. "tidak ada yang tahu bagaimana jika kita menginjakan kaki lebih jauh. Kita cuma anak SMA. Lagipula untuk masalah berita kita bisa publish setelah kasus terungkap, klub akan aman dengan begitu, tidak ada pembubaran. Tak ada alasan kita untuk ikut campur."

Alih-alih membaik kini wajahnya menjadi makin sendu, ia menundukan kepala, berbicara dengan suara lirih. "Tapi. Perjanjian dengan Gray adalah menyelesaikan kasus. Bukan membuat berita setelah kasus terungkap."

"Salah siapa coba."

Wajah Rahma memerah. Mata berkaca-kaca, terisak, lalu menangis. Kemudian mendengus kesal dan memukul bahu di depannya. "Ih, jahat! dongo! Jahe! Iya, aku salah! Iya aku bodoh!"

Rangga meringis. "Aduh, sakit. Berhenti merengek."

Suasana sekarang menjadi lengang, motor saling menyalip. "Rangga ..." ucap Rahma. "Maaf."

Rangga mengerutkan kening. "Untuk?"

"Karena kebodohanku. Klub Jurnalis benar-benar berakhir, maaf."

"Tidak masalah jangan nangis." suara itu lembut membuat hatinya menjadi lebih tenang. "lagian kenapa kamu memikirkan klub sampai seperti itu! Lihat para senior kita, mereka tidak peduli."

"Itu karena ..." perkataan itu tidak berlanjut, menggantung begitu saja. Rahma kembali mengingat beberapa kejadian buruk di masa lalu. Sebuah kenangan yang membuat ia ingin menjadi Jurnalis.

Sementara Rangga menatap wajah gadis itu melalui spion. Ia bodoh, ia paling tahu seharusnya. Bagi sebagian orang mungkin itu hanya sekedar klub, tapi tidak bagi Rahma. Sejak awal masuk Rangga sudah sangat mengenal kegilaan Rahma tentang Jurnalis. Bagi Rahma Jurnalis adalah mimpi dan semacam tujuan hidup.

"Lupakan," pungkas Rangga. "tak perlu dijawab bila sukar."

Di belakang Rahma menganggukan kepala. Sungguh melihat tingkah murung itu membuat Rangga merasa tak nyaman.

"Kalau saranku, lebih baik menjauhi saja. Terlebih kak Hendra bilang, ia tak mau ada korban lagi seperti pembunuhan Kak Nia."

Mendengar hal itu sejenak mata Rahma terbuka lebar, dihantui rasa penasaran ia melupakan perasaan sedih barusan. "Bicara tentang Kak Nia. Sebenarnya ada apa dengan dia? Dia dibunuh? Kenapa?"

Rangga menggelengkan kepala. "Aku pun tak paham. Tapi yang jelas para senior, menyembunyikan sesuatu dari kita. Klub Jurnalis besar kemungkinan tahu sesuatu tentang kebakaran sekolah."

Rahma menyimak. Waktu terlewat sepuluh menit. Mereka pun sampai di tujuan, kediaman Rahma. "Terima kasih," ucap si gadis beranjak turun dari motor. Ia pun tersenyum cerah dan melambaikan tangan. "hati-hati di jalan, Rangga."

Lelaki itu tersenyum, menganggukan kepala. Lalu pergi. Setelah kepergian Rangga, ia berhenti melambai dan senyuman itu pudar. "Hah." helaan napas keluar dari mulut. "Menjauhi kasus, ya."

***

Sesampainya di rumah, Rangga langsung masuk begitu saja. Melewati ruang tamu yang berisik oleh TV dan berantakan. Di sana, ibunya duduk di depan sofa, menangis sambil menonton siaran berita tentang kasus kebakaran. Nama dua korban yang disebutkan membuatnya semakin pilu.

Rangga mendecakkan lidah, membenci pemandangan itu. Dengan cepat, ia masuk ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Ruangan itu sempit, hampir tanpa pencahayaan, dengan sampah berserakan di mana-mana. Rangga berjalan mengitari ruangan, matanya tertuju pada foto di meja belajarnya.

Seorang gadis berambut hitam panjang tersenyum cerah, menatap ke depan, menghadap kamera. Itu adalah foto Heina Natalia. Melihat foto itu, tiba-tiba hati Rangga terasa sesak. Butiran air mata pun lepas begitu saja.

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang