11

28 4 4
                                    

HAL pertama yang terlintas di pikiran Rahma adalah penolakan. Ia berseru keras untuk menolak investigasi dari Efendi, alasanya sebab tubuh Rangga yang panas dan harus segera di bawa UKS.

Mendengar jawaban itu Efendi cuma mengalah. Namun bukan berarti ia biarkan dua sumber informasi kabur begitu saja, ia pun mengikut Rahma sampai di UKS.

Di ruangan UKS Rahma meletakan tubuh lemah Rangga di kasur. Lalu duduk di salah satu kursi, memutar tubuh, menatap tajam Efendi.

"Jadi apa yang bapak ingin tahu?"

Efendi tidak ambil pusing atas tindakan tak sopan dari Rahma, ia malah tersenyum. Mengingat jati diri seseorang di dalam tubuh gadis. Sebelum menjawab ia menarik salah satu kursi, duduk di sana. "Apa saja yang kamu ketahui tentang kasus Kebakaran? Sebagai klub Jurnalis saya harap informasi-mu cukup penting."

Rahma terkesiap. "Darimana bapak tahu saya jurnalis?"

"Seseorang memberi tahu," jawabnya. "tak usah basa-basi, jadi mohon bantuanya."

Rahma frustasi. Diambang paksaan untuk berhenti terlibat dalam kasus, namun hatinya selalu berkata lain. Maka ia putuskan untuk menjawab. Rahma mengatakan tentang analisisnya selama beberapa hari menyelidiki.

Pertama dia yakin sekali ini adalah pembunuhan dan bukan insiden kebakaran. Seseorang sengaja membakar demi mengalihkan perhatian dan menyamarkan identitas pelaku.

Kedua, ia menjelaskan bahwa api bukan hanya berasal dari ruang OSIS melainkan juga dari warung belakang. Penemuan kerta bertulis 'pungkas' mungkin menandakan klub sastra terlibat.

Ketiga, Rahma kurang yakin. Tapi barangkali kasus terhubung dengan kematian kakak kelasnya bernama Nia.

Setelah mendengar semua penjelasan, Efendi tersenyum. "Jadi begitu.

Api juga berasal dari warung belakang. Berarti ada dua pelaku? Ini informasi baru yang kudapatkan."

Rahma mengangguk.

"Lalu mengenai kasus kematian kakak kelasmu, Nia. Jujur saja, barusan ada salah murid, berkata bahwa besar kemungkinan bahwa kasus kebakaran saling terlibat."

"Siapa yang mengatakan itu?"

"Sama sepertimu. Salah satu anggota Jurnalis. Namanya Alin."

UKS lengang sejenak, keheningan menyisi. Rahma agak terkejut dengan pengakuan seniornya bernama Ella. Sebab ia adalah KOOR bagian Reporter, Rahma sendiri hampir tidak pernah melihatnya. Bagaimana fisiknya? Rahma jadi penasaran.

Dan Alin bilang bahwa besar kemungkinan terhubung dengan kematian Kak Nia. Sebenarnya ada apa dengan kematian Kak Nia?

Ada banyak hal di kepala Rahma. Namun kondisi sahabat yang tertidur lemah di kasur lebih penting. Terlebih ia sudah berjanji dengan Hendra untuk tidak menginjakan kaki di kasus ini lagi.

"Sudah cukup, bukan?" tanya Rahma menatap Efendi. "kesaksianku sudah lebih dari cukup, mau tanya Rangga pun kuyakin dia akan menjawab hal yang sama."

Efendi menggelengkan kepala. "Mengenai itu saya tak setuju."

"Apa maksud Anda Rangga patut dicurigai?!" Rahma berdiri tegak marah sebab sahabatnya dicurigai. "asal Anda tahu, Dia terus bersama saya. Jadi tidak mungkin dia terlibat!"

"Tidak perlu dicurigai?" Efendi tergelak. Sementara Rahma menatap bingung. "kalau begitu coba lihat ini." Efendi meraih kamera milik Rangga yang tergeletak di meja, membukanya dan memperlihatkan sesuatu. "kalau dia tidak terlibat, lalu kamu sebut apa ini?"

"Itu kan. bentar kok bisa! Kok bisa, sih!" Respon terkejut dari Rahma boleh jadi hal menarik baginya. Di kamera itu, terdapat puluhan, atau bahkan ratusan foto seorang Heina Natalia selaku korban!

"Bagaimana bisa dia punya foto Heina. Bahkan sebanyak ini?"

"Itu yang ingin saya tanyakan, ke Rangga."

Ruangan UKS lengang sejenak. Efendi dan Rahma sama-sama menatap kamera yang menampilkan puluhan foto Heina Natalia. Ekspresi Rahma campur aduk antara marah, bingung, dan takut.

Tiba-tiba, suara batuk pelan terdengar dari kasur. Rangga mulai terbangun, membuka matanya dengan lelah. Ia menatap sekeliling ruangan, berusaha memahami situasi. Efendi dan Rahma segera menghampirinya.

"Rangga, kamu sudah sadar?" tanya Rahma dengan suara cemas, mendekat ke kasur.

Rangga mengangguk lemah. "Iya, Rahma. Ada apa ini?" tanyanya, bingung melihat kehadiran Efendi di ruangan itu.

Efendi tak membuang waktu. "Rangga, saya Efendi, penyidik yang menangani kasus kebakaran di sekolah ini. Saya butuh jawaban jujur darimu. Kenapa di kameramu ada begitu banyak foto Heina Natalia?"

Rangga tampak terkejut dan gugup. Ia mengingat bibir. Sungguh menyebalkan! Sudah beberapa kali para media dan Paling parah sekarang detektif menanyakan. Ia harus menjawab agar tidak dicurigai.

Sebelum itu ia menatap Rahma, berharap mendapat bantuan. Namun, Rahma hanya menatapnya penuh kekhawatiran, mendorongnya untuk berbicara jujur.

"Saya... saya tidak tahu," kata Rangga terbata-bata. "Saya sering memotret teman-teman di sekolah, mungkin Heina salah satunya."

Efendi tidak puas dengan jawaban itu. Menggelengkan kepala. "Bukankah Heina Natalia berasal dari kelas E. Bukan B! Selain itu Rangga, di kameramu ada puluhan, bahkan ratusan foto Heina. Ini bukan kebetulan. Kenapa kamu memotret Heina begitu banyak? Bisakah kau jelaskan!"

Rangga masih terdiam mengigit bibir. "Sudah saya bilang, saya tidak tahu—"

"—Itu bukan jawaban yang masuk akal. Menurut kesaksian Amel, katanya kamu akhir-akhir ini cukup dekat dengan Heina Natalia. Dan yang buat mencurigakan adalah pertemuan kalian selalu bersembunyi, Seolah tidak ingin seseorang tahu hubungan kalian."

"Pak Efend. Mungkin mereka hanya teman, tidak perlu menyudutkan Rangga." Rahma mencoba menengahi.

"Hanya teman?" Efendi tersenyum licik mendengar hal itu. "Kalau teman kenapa responmu mencurigakan, sudah beberapa kali kami mencoba menghubungimu. Tapi kenapa menolak? Dan puluhan dan ratusan foto di kamera ini. Wajar saya menyudutkan, Nak Rangga."

"Rangga tidak salah! Dia bersamaku selama insiden kebakaran. Mencari berita," ucap Rahma juga tersulut emosi.

"Korban Heina ditentukan meninggalkan pukul 01.00 malam. Dia bisa saja membunuh pada pukul itu! Informasi masih ini makin valid, sebab pelaku ada dua, 'bukan?" tanya Efendi menatap Rahma sinis.

Rangga menatap kosong ke arah langit-langit, mencoba mengumpulkan keberanian. Air matanya mulai menggenang. "Baiklah ... akan kuakui"

"Bahwa kamu adalah pelaku?"

"Bukan." Potong Rangga kesal. "Kenapa aku punya foto Heina, sebab ... Heina adalah adikku."

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang