3

36 8 8
                                    

SMA Taruna Negara sudah sepi. Seluruh murid dihimbau untuk bergegas pulang, kini yang tersisa hanya sekedar beberapa tim pemadam kebakaran yang masih sibuk.

Sebuah mobil melaju memasuki halaman sekolah. Para petugas pemadam kebakaran yang melihat sosok muncul dari mobil menegur, bagaimanapun situasi sekolah masih kritis bukan saat tepat untuk berkunjung.

Dua orang itu tampak mengenakan jubah hitam panjang yang hampir menyentuh tanah, serta topi lebar yang menutupi sebagian besar wajah mereka. Salah satu dari mereka tampak lebih tua, sekitar tiga puluh tahun, dengan rambut panjang yang jatuh ke samping kanan, menutupi satu matanya. Wajahnya yang serius menambahkan kesan misterius dan berwibawa, sementara rekannya yang lebih muda memiliki ekspresi yang lebih tenang namun tetap waspada.

“Mohon maaf mengganggu, tapi sekolah ini baru saja mengalami bencana. Jadi sebaiknya menjauh … tunggu jangan bilang anda!?"

wajah petugas pemadaman menjadi berubah. Ia terkesiap kala salah satu dari pemuda—yang berambut menutup satu mata—menunjukan kartu identitas.

Nama : Efendi. Detektif Swasta.

“Aku datang atas panggilan, kudengar tak hanya kebakaran tapi disini … ditemukan mayat,” ujar Efendi tersenyum.

**

Bau gosong menyerbak. Ruangan OSIS ini di luar ekspektasi, ini di luar logika. Ruangan OSIS beberapa saat lalu identik dengan kerapian. Meja, dan kursi tertata sedemikian rupa. Lampu cerah, kipas angin maruk, ada lima : satu di tengah ruangan, empat lainnya berada di setiap sudut. Ruangan OSIS hakikatnya serupa tempat elit—sebagaimana para guru menganggap mereka penting—maka fasilitas yang ada bukan main.

Namun kini semua tinggal nama. Hanya tersisa arang gosong, beserta bau busuk yang menyerbak, teramat mengganggu hidung.

“Ini cukup parah.” Ridwan selaku detektif junior dari Efendi berkata menutup hidung atas bau tak sedap.

Efendi menghela napas. “Jangan rewel, ini wajar. Paling tidak tempat ini masih asli, belum diotak-atik orang. Selain para guru, petugas kebakaran, dan kita, belum ada yang menginjakan kaki.”

Ridwan meraih kamera di leher, lalu memotret ruangan ini. “Anda benar, paling tidak ‘mereka’ ditemukan, belum menjadi abu.”

Sejenak Ridwan melirik seluruh ruangan, dua jasad serupa arang tergeletak telungkup diantara air yang mengalir. Wajah dua jasad itu sudah tak bisa diidentifikasi lagi. Lalu ia kembali memotret.

“Beruntung sekali para guru dan pemadam kebakaran bertindak cepat. Mereka menyadari bahwa ruangan OSIS besar kemungkinan sumber dari kebakaran, lalu menemukan dua mayat tak bernyawa … bahkan kita tak tahu siapa mereka. Wajah mereka sudah serupa arang.” Ridwan mengembalikan kamera di tas, kini ia membawa satu kertas dan pensil.

“Kebakaran terjadi pukul 15.00 waktu pelajaran telah usai, hanya menyisakan murid dengan kegiatan ekstrakurikuler. Tercatat jadwal ekstrakurikuler hari ini sebagai berikut: Jurnalis, Basket, teater, dan Sanggar.

“Kedua mayat ditemukan pukul 16:00 diperkirakan meninggal karena tak bisa kabur dari api … Setidaknya ini semua yang kita miliki dari para saksi. Bagaimana menurutmu Pak Efendi?” Selesai dengan penjelasan singkat Ridwan menatap si Efendi yang entah sibuk melakukan apa. “Apa yang anda lakukan?”

Efendi dengan tenang memperhatikan genangan air di lantai, lalu menatap langit-langit yang juga kini basah. Memang TKP tak diotak-atik oleh siapapun, tapi bisa dibilang TKP telah rusak, sebab terkontaminasi oleh air dari pemadam kebakaran, segala barang bukti, jejak sidik jari sukses tersapu oleh air dan menghilang.

“Aku tak akan banyak cakap …” Kali ini Efendi berjalan, melihat beberapa kabel listrik. Terlihat beberapa bekas terjadinya korsleting, seperti; beberapa kabel terputus, bau gosong, dan perubahan warna.

           “Yang jelas,” ucap Efendi. “Ini bukan kasus kebakaran biasa. Ini kasus pembunuhan terstruktur.”

***

Malam hari. Di kamar dengan warna yang didominasi pink itu, Rahma masuk, rambut coklat sebahu tampak basah, sepasang handuk bergelantung di leher. Ia baru saja selesai mandi.Berjalan ke lemari hendak mencari baju baru, tapi tiba-tiba atensinya terganti oleh bendah pipih di sana.

Sederet notifikasi dan notifikasi tak kunjung henti, pembicaraan dalam grub masih sangat panas. Balon-balon berisi opini bergulir tiap detik sebab banyak bocah menjadi detektif dadakan yang menyuarakan pendapat secara bersamaan. Kebanyakan analis memang cerdas, tapi terhitung tak matang atau nyaris rekayasa.

Tapi satu hal paling menarik bagi Rahma. Ternyata bukan cuma kejadian kebakaran di sekolah, ternyata mayat pun ditemukan, walau tak teridentifikasi wajahnya. Itu perkataan dari grup chat.

Sejenak gadis itu tertarik. Ini bisa jadi bahan berita. Ia pun dengan suka rela menelpon sohib satu-satunya, Rangga.

“Iya halo?” suara Rangga serak, entah habis apa itu orang.

“Kamu sudah dengar kabar terbaru?” Bagaimanapun dilanda perasaan senang ia menepis pikiran akan suara teman yang berbeda … suara teman yang tampak seperti baru saja menangis.

“Tahu. Katanya ada dua mayat, kan? Sungguh luar biasa, padahal kukira sekedar kebakaran.”

“Bentar …” seolah sadar sesuatu, Rahma menjeda perkataan. “lo habis nangis?”

Ada jeda sebelum menjawab. Dan Rangga pun menjawab, “Aku cuma berduka, kasihan saja. Dua orang seumuran kita, mati tragis.”

Sekarang semua jadi jelas. Setahu Rahma Rangga memang orang tipe perasa, katakan beberapa hal tentangmu maka ia akan menebak sikap, rahasia, dan segala tentangmu seolah ia bisa melihatmu dari dalam … Rahma pernah mengalami hal serupa.

“Oh gitu, omong-omong tertarik untuk kunjungi TKP?”

Hah! Kau gila? Itu ilegal namanya bodoh!” teriak Rangga di balik telepon.

“Tolong lah, temani aku ke TKP! Masa kamu rela biarkan anak gadis sendiri malam hari? Nanti kalau ada korban ketiga, kamu mau tanggung jawab? Lagian juga cuma lihat doang, sekalian ambil foto.” Rahma mengembungkan pipi, cemberut.

Suara helaan napas terdengar, jelas sekali Rangga pening. Boleh jadi si gadis akan merengek bila ditolak. “Jangan sekarang! Pokoknya malam ini aku tak bisa.”

“Eh? Kenapa?”

Ada urusan.”

“Dih, sok sibuk.”

“Aku serius asem!”

Hening. Sejenak obrolan mereka terputus. Rahma meneteskan sebutir air mata, terisak dengan cara yang dibuat-buat. “B-benaran gak mau?”

Kan! Seperti dugaan. jurus mewek sudah dikeluarkan. Camkan hal ini: cowok lemah akan tangisan wanita, gen maskulin mereka menolak membiarkan wanita menangis. Terkecuali kalau mereka homo.

Rangga menghela napas. “Maaf, tapi hari ini gak bisa … besok. Atau tidak sama sekali?”

Pilihan yang sulit. Ia ingin sekarang kalau bisa, tapi bila ngotot besar kemungkinan Rangga tak mau lagi. Kalau besok? Setelah dipikirkan sejenak Rahma menganggukan kepala. “Deal, besok.”

“Oke, tapi cuma lihat-lihat. Ambil satu dua foto pulang. Paham? Gak baik asal masuk TKP. Bisa dikira gara-gara nanti.”

Senyuman terlukis di wajah Rahma. “Siap!”

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang