13

27 3 6
                                    

SELEPAS mendengar kesaksian dari Rangga, ruangan UKS lengang. Tatapan ketiga pendengar terkesima, tak menyangka akan informasi baru itu. Fakta bahwa Rangga merupakan saudara kembar korban pastilah diluar dugaan. Efendi tersenyum, bergumam bahwa ini merupakan hal menarik, Ridwan disisi lain tampak panik, bergegas mengambil catatan di saku dan menulis.

Sementara Rahma. Ia mendecakkan lidah, menggigit bibir dan menunduk. "Hal sepenting itu, kenapa kamu gak pernah cerita?" suara itu berbeda dengan sebelumnya, terdengar lirih namun tajam. Alih-alih menjawab, Rangga malah bungkam, tak berniat memberi penjelasan. Belum ada jawaban, gadis bersurai coklat beranjak dari kursi. Tatapan menggambarkan kemurkaan. "Hei ditanyain jawab!"

"Itu gak terlalu penting." Rangga mengedipkan bahu. "Lagian kamu sendiri gak tanya." Jawaban acuh tak acuh tentu menimbulkan sekelebat emosi, ditambah tingkah Rangga yang malah memalingkan wajah buat Rahma naik pikam.

Hampir saja gadis bersurai coklat itu berteriak sebelum akhirnya Efendi mengambil suara terlebih dahulu.

"Jadi." Putus Efendi, menyadari akan terjadi pertengkaran. "Jika kamu bersaudara dengan Heina, lantas kenapa tak ada data yang mengatakan hal tersebut?"

"Masih mencurigai saya ternyata. Oke. Seperti yang saya katakan, kedua orang tuaku sudah lama cerai. Nama kami sudah bukan masuk daftar keluarga lagi."

"Bagaimana dengan kamera penuh foto ini? Maaf-maaf apa anda penderita sister complex atau semacamnya?" tanya Efendi tersenyum jijik.

"Menjijikan!" Tambah Rahma.

"Bukan woi, bego! Dia adikku, dia satu-satunya saudaraku, dia yang buat aku hobi memotret. Aku suka senyumnya, apa salah mengabdikan diri untuk menambahkan kenangan dan memori keluarga?"

Mendapat jawaban Efendi menganggukan kepala. "Ini pertanyaan terakhir. kapan tepatnya kamu dan sanksi korban terakhir berbicara. Atau gini apa saja yang kamu tahu tentang korban?"

Rangga bergeming, butiran keringat membasahi pelipis. Napasnya kembali berderu Ia teringat momen buruk, terakhir kali mereka berkomunikasi jelas bukan kenangan berharga.

"Apa kamu bersedia menjawab?" tanya Efendi sekali lagi.

Menghembuskan napas, ia bertekad. Ini demi proses penyelidikan. Ia harus menjelaskan secara detail.

"Kami sempat bertengkar. Semua bermula saat saya mengetahui bahwa Heina ... Heina ... Dia ..." ada sedikit keraguan di ucapanya membuat Rahma mencak-mencak. belum juga pertanyaannya dijawab.

"Kenapa? Ngomong yang jelas!" Gadis itu masih murka karena peristiwa barusan.

Dengan perasaan berat hati, Rangga menjawab. Muka memberang. Merona bagaikan bocah puber "Heina punya pacar." kata 'pacar' agaknya membuat dia malu, ia terlalu polos barangkali. Namun reaksi dari sekitar jelas salah tangkap.

"Ah saya paham! Sudah kuduga kamu sister complex. Kamu gak mau adik diambil orang, kan?" timpal Efendi setengah bercanda.

"Ingat masa depan, nak. Anak gadis masih banyak diluar. Jangan malah sama adik sendiri!" timpal Ridwan serius.

"Hah? Jangan bilang kamu iri sama adik sendiri sebab punya pacar, gak bisa monopoli dia lagi? Ck, sumpah bikin jijik!" Timpal Rahma. Yang ini jelas penuh akan wajah nista bagaikan menatap sampah di sudut ruangan.

"..."

Hening. Tatapan yang dilontarkan semua orang membuat Rangga menjadi tak nyaman, ia pun menjelaskan. "Bukan! Jadi gini, jaman sekarang marak namanya zina, bercinta di luar nikah dan pergaulan bebas. Sebagai kakak lelaki yang baik saya tentu khawatir Heina terlibat hal yang seperti itu.

"Terutama, pacar yang dia maksud itu. Randika putra." Rangga melirik ke arah Rahma. "Kamu harusnya tahu, Ma. Rumor tentang Randika, kan?"

"Rumor? Apa maksud kalian?" tanya Ridwan dan Efendi bersamaan.

Bahkan dua detektif tak mengetahui tentang ini. Rumor apa yang dimaksud?

Mengetahui kebingungan Rahma menjelaskan. "Ini cuma berdasarkan rumor angin belaka, jadi wajar gak disebar ke publik. Yang tahu pun cuma beberapa, secara kami Klub Jurnalis—"

"Tukang mencari gosip." potong Rangga.

"---Aku lebih suka disebut pusat informasi. Rumor mengatakan bahwa Randika Putra, merupakan anggota dari geng Basyir."

Terkejut. Baik Efendi dan Ridwan membelalakan mata takla nama geng itu disebut. Siapa yang tak kenal Basyir? perkumpulan perserikatan kelompok jahat, yang menguasai hampir separuh kota ini. Sebut namanya maka bisa membuat orang bergidik ketakutan. Terlebih Basyir berhubungan dengan kasus beberapa tahun lalu. Kasus pemerkosaan dan pembunuhan, jelas mereka bukan perkumpulan biasa.

"Tuan Efendi, ini kan." Ridwan berkata.

"Iya. Saya tahu ... bisa anda lanjutkan, Nak Rangga."

"Bapak sudah tahu, kan. Seberapa bahaya geng Basyir tentu saja aku sebagai kakak tidak menerima Heina berpacaran dengan orang seperti itu terlepas dari rumor itu benar atau tidak, saya tak mau hal buruk terjadi. Maka dari itu, saya menyuruh Heina untuk tidak mendekati dan berurusan dengan Randika lagi.

"Satu hari sebelum peristiwa kebakaran terjadi, 31 Maret. Pukul 21.00. Pertengkaran kami terjadi. Entah karena alasan apa, Heina menolak ketika aku menyuruh untuk menjauhi Randika. Malam itu benar-benar pertengkaran yang sengit. Heina sempat bilang 'Ini bukan urusanmu, kak!' Setelah itu, ia pergi meninggalkanku sendirian. pergi entah kemana.

"Tidak menjawab telepon, tidak menjawab pesan sama sekali. Pada awalnya kukira itu merupakan tindakan memberontak ala anak remaja ... hingga pada 1 April, Heina ... Heina ..."

"Kukira sampai sini saja," potong Ridwan. Melihat kondisi Rangga memburuk. "Segini cukup bukan, Tuan Efendi?"

Efendi menganggukan kepala mantap. "Itu sudah jadi bahan menarik, terima kasih. Nak Rangga dan Nak Rahma. Kalian sudah boleh pulang."

"SEBELUM ITU. BALIKIN DULU KAMERAKU!!"

***

"Hei, kutanya sekali lagi. Kenapa kamu gak bilang kalau Heina itu adik kembarmu?" tanya Rahma di koridor sekolah. Langit mulai menggelap, menjelang malam.

"Meski Heina Adikku, gak ada yang berubah. Toh dia juga tinggal nama," cibir Rangga.

"Itu gak lucu!"

"Iya-iya. Maaf. Aku salah." Rangga pergi meninggalkan Rahma begitu saja.

Setelah Rangga, si gadis tampak masam, menundukan kepala dan meremas rok. Rasa frustasi keluar di hatinya. Ia kesal karena sosok yang selalu bersamanya, sosok yang dia anggap sebagai sahabat, sosok yang selalu membantunya. Ternyata ia justru tak tahu apapun tentang Rangga.

Jika dipikirkan lagi. Rahma tak pernah tahu apapun tentang Rangga dan tak pernah berkomunikasi denganya terkecuali tentan Jurnalis, begitu pun dengan Rahma. Mereka serasa saling tak mengenal meski dekat.

"kalau begini apa yang namanya 'teman'?"

***

Suasana malam sepi bukan main, para pegawai manapun memutuskan pulang. Berbeda dengan Ridwan dan Efendi yang masih sibuk di kantor detektif swasta. Beberapa berkas kasus tahun lalu di baca berulang kali.

Berkas-berkas itu macam-macam kasusnya. Pembunuhan, penculikan, perselingkuhan, dan yang menjadi sorot perhatian mereka adalah berkas ini :

KASUS PEMBUNUHAN BERANTAI— SALAH SATU SISWI SMA TARUNA NEGARA, SOFIA LILIANA DITEMUKAN MENINGGAL SETELAH DIPERKOSA. PELAKU SETIAWAN KURNIAWAN DIDUGA SEBAGAI TERSANGKA DAN KINI TELAH DITANGKAP.

"Tuan Efendi, ini. Gak diragukan lagi," komentar Ridwa usai membaca berkas itu.

"Ya." Efendi tersenyum, mendapatkan benang dalam kasus. "Benar kata, Alin. Kasus kebakaran ini, berhubungan dengan kasus pembunuhan Auliana Liliana, atau kerap dipanggil Nia. Kasus beberapa tahun lalu."

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang