6

32 6 9
                                    

SETELAH kehebohan massa dan publik, akhirnya SMA Taruna Negara kembali dibuka. Sekolah telah dimulai kembali. Meski demikian perhatian Rahma tak bisa fokus selama pelajaran.

Hal ini disebabkan oleh kegiatan yang tergolong tidak waras, sebab ia terus begadang akhir-akhir ini. Mencari bukti dimanapun agar mempercepat proses investigasi, namun naas sekali, hasilnya nihil.

Pikirannya mengembang ke angkasa lain, dunia sendiri. Terus berjalan hingga bel pelajaran usai. Waktu istirahat dimulai. si gadis pun tak bergeming, seperti Boneka mati.

Untung salah segerombolan perempuan datang, mengajak dia berbicara sehingga ia sadar.

"Rahma, kamu tahu gak, benar ada dua mayat ditemukan?" tanya seorang gadis dengan suara gemetar, matanya terpaku pada layar ponselnya yang menampilkan berita dari website Sekolah

Rahma sudah jadi bahan serba tahu bagi anak-anak kelas 1. Siapapun yang penasaran akan insiden kebakaran pasti akan berbondong-bondong, bertanya ke Rahma selayaknya reporter.

Menjadi pusat perhatian membuat ia malas, si gadis pun sudah mulai jengah sebagai jawaban, hanya ada anggukan kepala.

"Ngeri, ya! Jadi kalau gitu bisa jadi ada pembunuhan dong? "

""Bisa jadi. Bisa nggak. Mungkin dua orang itu hanya kebetulan terperangkap di ruang OSIS," jelas Rahma, berbohong untuk menenangkan temannya.

"Aku harap benar," ujar temannya, menelan ludah.

Rahma beranjak dari kursi. "Aku pergi bentar. Lapar, mau cari makan di warung."

Mata teman-temannya membelalak seakan mendengar sesuatu yang mengagetkan. "Lah, kamu belum tahu?"

"Tahu apa?" Rahma menatap bingung.

"Warung kan sudah..."

***

Langkah Rahma gontai menuju kelas B, sepatu berbunyi nyaring di koridor. Setelah sampai ia membuka pintu. Sejenak perhatian semua orang berganti menatapnya, sementara mata Rahma berkeliling mencari sosok yang dicari. Ketemu! Si bujang ada di pojok kelas, tampak bercerita dengan teman-temannya.

"Rangga main kuy!" Rahma berseru manja seolah tak memiliki malu meski menjadi sorotan kelas.

Lelaki dengan rambut disisir rapi—jelas tak seperti biasa—tersentak, hampir menjerit sebab terkejut. Ia bisa menduga dengan cepat apa tujuan kedatangan makhluk satu ini. Bergerak cepat, ia berpamitan, bilang ke kawan-kawannya ada urusan. Beberapa temannya mengolok-ngolok, bilang sibuk pacaran, beberapa lagi berseru jangan buat mesum. durjana. Mereka jelas salah paham.

"Napa?"

"Siapin kamera, ada hal menarik. Ikuti aku."

Segera saja Rahma pergi ke belakang warung. Dahulu, waktu masa MPLS Tempat ini sering betul digunakan untuk maksiat, sering betul digunakan untuk merokok, dan bercinta (Dalam artian romantis). Tapi kemudian salah satu anggota jurnalis, Kak Ella memasang alat sedap, panen berita, semua jadi ketakutan dan menjauhi. Ada pun orang yang masih sering datang adalah makhluk badung semua, mayoritas murid kelas 1-A. Murid paling badung meski termasuk kelas paling pintar, namun tak ada nilai skandal dari organisme semacam itu.

kecuali ... bakar sekolah, mungkin?

Warung belakang sekolah kini sudah tak berbentuk. Tak akan bisa diperbaiki. Atap benar-benar sudah hancur dan roboh.

Rahma berjongkok di dekat kerangka kuda-kuda yang hangus, mengambil paku tipis dari saku seragamnya. Dengan hati-hati, dia menusukkan paku itu ke dalam arang, mengukur kedalamannya dengan cermat. Setiap kali paku menembus arang, dia mencatat hasilnya di buku catatan kecil. Hal yang sama pun dilakukan dari kerangka kuda-kuda ruang OSIS—diambil kemarin.

Kedua arang itu sama dalam. Itu artinya ...

"Apa yang kamu lakukan, Rahma?" tanya Rangga, bingung dengan tindakan Rahma yang dianggap aneh.

"Mengukur kedalaman arang. Dan aku punya informasi menarik," jawab Rahma, tatapannya serius.

"Hah? Gak paham!" Rangga mengernyitkan dahi.

"Api bukan hanya berasal dari ruang OSIS. Tapi juga di sini. Itu artinya ada dua sumber api. Gampangnya, pelaku pembakaran bukan hanya satu orang ... tapi dua," jelas Rahma, menatap langsung ke mata Rangga, mencari pemahaman di sana.

"Kenapa bisa sampai situ. Sumpah aku tak paham! Dan apa hubungan arang dengan kebakaran?" Otak Rangga terasa meledak mendengarkan perkataan si gadis.

Sementara Rahma menghela."Nilai fisika-mu berapa sih? Sampai hubungan arang dengan api pun tak tahu?"

"30," jawab dia tanpa malu.

Lagi-lagi Rahma pening. Ia menjelaskan, "Simpelnya gini. Ketika kayu atau bahan organik terbakar, dia berubah jadi arang. Arang ini terbentuk karena proses pirolisis—itu proses di mana bahan organik dipanaskan dengan sedikit atau tanpa oksigen. Kedalaman arang yang terbentuk itu tergantung pada seberapa lama dan seberapa panas api membakar."

Rangga masih tampak bingung, jadi Rahma melanjutkan, "Bayangkan ini. Kalau ada dua tempat yang terbakar dengan kedalaman arang yang sama, itu artinya api di kedua tempat itu terbakar dengan intensitas dan durasi yang sama. Kalau cuma ada satu pelaku, mereka harus memulai api di dua tempat itu dengan cara yang hampir sama, pada waktu yang hampir bersamaan."

Rangga mulai mengerti, "Jadi kalau dua tempat terbakar sama parahnya, bisa jadi ada dua orang yang memulainya?"

"Betul!" jawab Rahma dengan semangat. "Ini bukan bukti pasti, tapi ini petunjuk kuat. Dan kalau ditambah bukti lain, seperti jejak kaki yang berbeda di dua tempat dan bekas bahan bakar yang berbeda, kita bisa menyimpulkan bahwa ada dua pelaku yang bekerja sama."

"sampai sini paham?"

Rangga menganggukan kepala. Memang terkadang dia dibuat takjub akan kecerdasan hal diluar nalar milik Rahma, walaupun sikap rada-rada.

"Sekarang pertanyaan. Dari bagian mana tepatnya?"

"Kalau itu serahin ke aku!" jawab Rangga penuh percaya diri. "gak asik kalau kamu terus. Sekarang jatahku."

Dan untuk mencari jejak, lelaki berambut rapi itu mengkais puing-puing bekas kebakaran untuk cari petunjuk. Rangga mengikuti arah yang ditunjukan bayangan api—lokasi dengan kerusakan paling ringan sebab dilindungi parabotan—dan sampailah di sebuah kursi plastik.

"lihat."

Rahma terpaku. Ah, begitu! Dengan sekali lihat ia paham, otak jurnalis dan analisisnya langsung mengarahkan ke satu kejadian. Jelas sumber api pasti berdekatan dengan kursi. Satu sisi meleleh terlebih dahulu dan membuatnya jatuh ke arah api muncul. Dengan jantung berdegup, Rahma menelusuri tempat yang ditunjuk dan berakhir pada bekas tong sampah. si gadis mengorek-gorek isinya dan menemukan sepotong kertas. Sebuah barang litelur langka di tempat maksiat. Kertas tak terbakar sebab keburu terkubur oleh abu.

Rahma melaah isi kertas, tapi yang terbaca cuma satu kata saja: "pungkas." Rahma tergelak dan menunjukan ke arah Rangga, bagaimanapun dia tak paham. "Apaan emang?"

"Dokumen resmi tak akan pakai kata ini. Dan 'pungkas' itu kata langka. Kebanyakan orang pilih pakai 'ujar' , 'ucap' . dll. Paham artinya?"

"Enggak."

"Siapapun yang nulis ini, pasti maniak bahasa." Mata Rahma kembali bersinar dan senyuman tak bisa lepas di wajah.

***

Kembalinya ke kelas, Rahma mengunduh seluruh edisi majalah di sekolah. Dia telah seluruh bahasanya untuk mencari author penggunaan kata 'pungkas.' Nyaris tak ada. Di jurnalis ada satu, milik Hendra, di klub sanggar sastra ada satu, dengan username. bukan manusia normal. Kata .pungkas. sering muncul di karyanya.

"Udah kuduga. Besar kemungkinan, anak sastra terlibat dalam kasus. Ada bukti juga, hari itu klub sastra mengadakan agenda."

drit.

Spontan Rahma mengecek ponsel yang bergetar. Balon notifikasi berisi pesan muncul.

Kak Hendra : Hari ini sepulang sekolah ada rapat. Ajak juga teman mu itu.

Mendapatkan pesan tersebut, Rahma tersenyum. Tangannya lihai mengetik balasan. Oke. Kebetulan aku mau bicara.

Jejak Investigasi Edan RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang