Brak!
Tubuh Ran terjungkal ke belakang begitu pintu kayu di belakangnya dibuka oleh seorang pria gundul yang sering membantu kakek guru membersihkan halaman rumah. Ran meringis lecet di kedua telapak tangannya kembali merasakan tanah kasar yang perlahan tertutupi salju.
"Kau baik-baik saja?" Pria itu membantu Ran berdiri, dia merasa bersalah karena membuka pintu secara tiba-tiba.
"Kenapa kau berteriak?" Nenek guru keluar dari rumahnya sambil membawa kain hangat.
"Ada yang mengejarku sejak di rumah Kano." Suara Ran terdengar parau, sedetik kemudian dia menangis keras karena ketakutan. Sejak mengetahui bahwa telah dibuntuti dia merasa takut namun tetap berusaha tegar dengan menahan tangisnya agar tak pecah. Nenek guru memeluk tubuh kecil itu dan memberi perintah pada pelayannya agar segera membuatkan teh hangat untuk Ran.
Di ruang baca kakek guru bergeming sambil memainkan jenggot putihnya, dia masih penasaran dengan cerita Ran mengenai sosok yang menegejarnya. Gadis kecil itu mengaku sosok yang mengejarnya cukup aulit digambarkan karena tak berwujud layaknya orang, hanya terlihat seperti kain hitam yang bisa terbang.
"Apa itu sihir?" Tanya Ran tiba-tiba setelah mencuri pandang pada kakek guru yang tak lagi fokus menatap buku pelajaran ilmu berhitung.
"Ilmu sihir memang ada tapi sudah lama tak digunakan. Jika ada yang menggunakan berarti orang itu bukan orang sembarangan."
Dahulu ilmu sihir sangat populer di negara ini namun seiring bertambahnya zaman ilmu sihir sedikit demi sedikit mulai dilupakan namun beberapa orang masih menggunakannya sebagai pertahanan diri.
"Kau akan memperlajari ilmu itu kelak jika masuk akademi."
Hati Ran semakin gatal ingin segera ikut ujian lalu lolos ujian. Sesaat dia mengagumi sesuatu yang mengerjarnya tadi, pandangannya masih awas dia yakin yang dilihat bukan manusia namun memang mirip dengan kain hitam yang mengejarkan. Namun di saat bersamaan dia juga bergidik ngeri.
***
Tepat tengah hari terjadi keributan si rumah nyonya Sae, masih didalami oleh pemilik rumah bordir dengan memberi pertanyaan pada "anak-anaknya", dicerca berbagai pertanyaan karena telah mengganggu waktu tidur siangnya. Dari balik tembok kayu Ran -si gadis kecil yang terobsesi pada ibu kota mengintip, dia penasaran apa yang terjadi hingga terdengar sampai dapur.
"Aku tidak tahu kenapa pria ini tiba-tiba masuk lalu pingsan. Kami semua tak tahu kapan dia masuk," terang salah satu anaknya.
Dibelakang tubuh kecil Ran, seorang wanita penghibur diam sambil melipat kedua tangannya di dada, seakan dia tak peduli apa yang kini diributkan. Banyak orang asing keluar-masuk rumah bordir pikir Shion lalu mengorek telinga kanannya dengan kelingking, ditiupnya ujung keliking rapi itu agar kotoran telinganya terbang dan hilang.
"Aish, bukan sesuatu yang istimewa. Hei bocah ayo kita lanjutkan makan!" Shion menarik kerah baju Ran agar segera menjauh. Jika nyonya Sae tahu ada orang yang menguping bisa saja wanita paruh baya itu menghukum si penguping.
Nyonya Sae memijat pelipisnya dia segera memanggil dua pekerja laki-laki agar segera membawa pria asing yang kini telah tepar ke kamar kosong. Mata nyonya Sae memicing saat melihat wajah pria yang tak sadarkan diri, ada sesuatu yang aneh. Kepala nyonya Sae miring seperti memikirkan sesuatu, lalu dia mengulum ludahnya saat merasa jengkel.
Di dapur Ran tak bersemangat menyantap makan siang gratisnya, dia masih memikirkan uang untuk ikut ujian. Tabungannya dicuri lalu dia tak bisa mengumpulkan uang lebih banyak karena harus belajar. Shion menyentil dahinRan cukup keras hingga meninggalkan bekas merah, wanita penghibur itu berdecak karena Ran tak berselera makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Legend
FantasyRan, gadis kecil yang tak punya nama keluarga. Bukan tak punya keluarga namun keluarganya hanya memberi nama singkat itu saja. Dia gadis malang yang selalu berlarian ke sana kemari untuk mengantar barang agar mendapat imbalan. Menginjak usia 14 kedu...