Tak peduli dengan sakit ketika tak sengaja menginjak kerikil yang tajam, Ran terus berlari sekuat tenaga hingga sampai rumah. Sejak pagi dia mengeluh kedinginan tapi berkat lari malamnya kini seluruh tubuhnya menjadi panas. Napasnya terengah-engah begitu sampai depan rumahnya, dia segera menuju halaman belakang dimana letak kandang ayam. Seperti perkataan Kano, beberapa kandang ayam telah hancur, bahkan ayam-ayamnya berpencar entah kemana, unggas-unggas itu ketakutan dengan perangai ayah Ran.
Ran mendekati rami-rami yang berserakan, berharap ada koin yang tersisa. Dibereskan jerami itu dengan perlahan, dia mencari koin-koin yang disimpannya selama berbulan-bulan. Tak ada yang tersisa, mata Ran terasa panas, semua rencananya hancur. Dua bulan lagi salju akan mencair, dua bulan lagi ujian akan dilaksanakan.
"Akhh!" Ran menjerit karena tiba-tiba ayahnya datang lalu menarik kerah baju Ran dengan kasar.
"Dimana lagi kau menyembunyikan uangmu, hah?" pria pecandu alkohol dan judi itu mendelik menatap anaknya, berharap anak kecil itu ketakutan lalu segera memberitahu uang simpanannya.
"Tidak ada. Tidak ada lagi." Ran meringis karena ayahnya menarik kerah bajunya sangat kuat hingga mencekik lehernya.
Plak!
Tangan pria itu menampar pipi kanan Ran hingga tubuh kurus itu terpental.
"Katakan sebelum aku memukulmu dengan kayu!"
Ran tahu sesakit apa jika dipukul dengan benda keras itu namun pilihannya tetap tutup mulut tentang semua tabungannya. Dia memilih rusuknya remuk dibanding harus menyerahkan seluruh tabungannya. Malam itu salju turun perlahan, tubuh Ran meringkuk menahan sakit ketika ayahnya berulang kali mendaratkan balok kayu di punggungnya sambil terus bertanya dimana lagi dia menyimpan uang. Malam itu juga Remi tak kunjung tiba, hanya Remi yang menghentikan kebrutalan ayahnya. Namun dari balik tembok Kano berjongkok sambil membungkam mulutnya, dia menangis setelah melihat keadaan temannya namun dia tak bisa berbuat banyak, dia tak mau mengulang kejadian 3 tahun yang lalu. Ketika dia mencoba melindungi Ran, malah dia yang dipukul juga hingga tak bisa berjalan.
"Ayah! Hentikan!" Remi berlari lalu mendorong ayahnya, dia segera memeluk adiknya. "Ran?" Remi makin panik ketika mata Ran terpejam erat. "Ran!" panggilnya lagi lebih keras. Tak kunjung dapat jawaban laki-laki itu segera menggendong adiknya lalu berlari meninggalkan ayahnya yang terus berteriak menanyakan uang.
Sampai di depan rumah tua, Remi berteriak meminta tolong. Rumah itu milik tabib yang notabene teman dari pasangan guru. Tabib yang sering merawat luka-luka kekerasan yang dialami Ran.
"Tolong adikku!" begitu pintu terbuka Remi langsung bersimpuh dihadapan si tabib yang masih membenarkan tali pakaian tidurnya.
"Astaga, dia lagi ternyata. Bawalah masuk!"
Dibaringkan tubuh kecil itu diatas futon. Remi meringis banyak luka di wajah adiknya. Seraya mengobati luka-luka, sang tabib bertanya tentang asal luka-luka itu, Remi hanya menunduk dan sesekali menggeleng lemah. Dia sering melihat kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya tapi tak pernah separah ini.
Deg!
Remi teringat ibunya, pasti ayahnya juga melakukan hal yang sama pada ibunya. Dia beranjak lalu pamit untuk kembali ke rumah. Laki-laki itu berlari dan segera masuk ke rumah, mencari keberadaan ibunya di kamar. Benar saja dugaannya, wanita itu juga mendapatkan lebam di pipinya, memar di kedua tangannya. Remi mendekat lalu memapah tubuh lemas ibunya menuju futon.
"Gadis itu menyembunyikan banyak uang di bawah jerami," gumam ibunya. Remi tak begitu mendengarkan dengan seksama. "Dia ingin kabur ke ibu kota," ibu Remi menyeringai ketika ingat berapa banyak uang yang ditemukan suaminya saat menghancurkan kandang ayam.
"Tak ada larangan untuk menabung, Ran suka menabung sejak dulu."
"Cih!" Wanita itu membuang muka, tatapannya menurun. "Jika saja dia segera memberikan uang itu pada ayahmu maka ibu tak akan dipukul seperti ini!"
"Ayah kecanduan judi meski berulang kali kalah dan itu salah ayah sendiri." Remi tak terima jika adiknya disalahkan.
"Pergilah dari hadapanku!"
Setelah diusir oleh ibunya, laki-laki itu menuju halaman belakang. Melihat keadaan ayahnya siapa tahu belum pergi. Pria paruh baya yang dipanggilnya ayah itu sudah tak ada, halaman belakang begitu kacau hingga beberapa telur yang harusnya bisa dijual besok malah pecah. Sungguh rugi, belum lagi membenahi kandang yang telah hancur. Remi mendongak, salju masih saja turun, jika terus dibiarkan maka ayam-ayamnya akan mati kedinginan.
Sudah lewat dua hari Ran tak kunjung membuka matanya, tiap malam sang tabib yang merawatnya harus bergelud dengan demam yang diderita gadis cilik itu. Setelah tahu Ran berada di rumah tabib, pasangan kakek-nenek guru segera menuju ke sana. Begitu melihat keadaan Ran mereka meringis, tak kuat melihat tubuh kecil itu penuh memar dan beberapa luka yang masih merah.
"Karena dia memakai pakaian berlapis, tulangnya hanya sedikit remuk tapi demam ketika malam menghantuiku. Suhunya sangat tinggi, bahkan kulitnya menjadi pucat. Aku sedang berusaha mencari tahu penyakit apa yang dideritanya."
Tak lama pintu kediaman tabib diketuk. Satu wanita muda dan wanita paruh baya, mereka Shion dan ibu asuh. Sejak tahu keadaan Ran, ibu asuh tak fokus bekerja wanita itu tak memiliki hubungan darah dengan Ran namun wanita itu paling peduli.
"Dia masih belum sadar."
Kedua kaki ibu asuh terasa lemas, kemarin pun sama. Setelah mendengar tentang keadaan Ran yang belum membuka mata, wanita itu hampir pingsan.
"Dia tak pernah sampai seperti ini," ucap Shion. Mata coklatnya menatap nanar pada tubuh kecil yang tergolek lemas dihadapannya kini.
***
Butuh seminggu bagi Ran untuk kembali sadar, ketika pertama kali membuka mata dia merasa bingung karena begitu asing. Langit-langit kamar yang rapi tak seperti di kamarnya lalu alas tidur yang halus dan empuk, meski terasa berat dan kaku gadis cilik itu berusaha menggerakan tubuhnya, berusaha untuk duduk mencari tahu situasinya sekarang.
"Astaga, kau sudah sadar ya? Jangan paksakan dirimu dulu. Selama seminggu kau terbaring tak sadarkan diri."
"Seminggu?" Kedua mata hitam itu mendelik terkejut, seminggu waktu yang sangat lama baginya. Dan dalam seminggu dia membuang segala-segalanya, uang dan juga belajar.
Tabib tua menenangkan Ran yang bersih keras untuk pulang, keadaannya masih belum benar-benar stabil meski lukanya sebagian kering.
"Sa...saya harus bekerja dan belajar..." Baru kali ini tabib tua itu melihat Ran menangis dengan kencang.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Legend
FantasíaRan, gadis kecil yang tak punya nama keluarga. Bukan tak punya keluarga namun keluarganya hanya memberi nama singkat itu saja. Dia gadis malang yang selalu berlarian ke sana kemari untuk mengantar barang agar mendapat imbalan. Menginjak usia 14 kedu...