Tiga Belas

18 4 0
                                    

Walau di desa Barat belum melihat bunga mekar tapi sepanjang jalan di ibu kota bunga-bunga bermekaran dengan indahnya namun meski begitu bukan berarti cuacanya tak dingin. Beberapa orang masih mengenakan pakaian hangat. Duduk di dekat perapian sambil menyeduh teh. Begitu juga yang dilakukan Ran saat ini. Tempat dimana ia diturunkan dari kereta tepat di depan rumah anak dari kakek guru. Seorang wanita yang memeliki senyum seperti nenek guru datang menyambut Ran dengan hangat, mengajak gadis kecil yang berani ke ibu kota sendiri masuk dalam rumah.

"Ayah dan ibu sering bercerita tentangmu," ucap wanita berwajah lembut itu sambil menuangkan teh hijau.

"Tentang keburukanku pastinya," gumam Ran malu. Dia merasa tak ada hal yang bagus dalam kehidupannya. Wanita itu terkekeh, menepis omongan Ran.

"Selamat sudah lolos ujian akademi, maaf terlambat."

Wajah Ran tersipu malu saat mendapatkan ucapan selamat, dia membungkuk sambil mengucapkan terima kasih. Masih tak percaya dia benar-benar lolos ujian, usahanya tak sia-sia. Belajar saat malam sehabis bekerja, mencuri lilin sebagai penerangan untuk belajar, atau melukai diri sendiri guna mengusir kantuk.

"Malam ini istirahatlah dulu disini, besok suamiku akan mengajakmu ke akademi. Upacara penerimaan lusa bukan? Mari kuantar ke kamarmu."

Sebuah ruangan yang tak jauh dari ruang menjamu tamu. Meski anak kakek guru bilang kamar mereka yang luas dan bagus tapi bagi Ran itu sudah istimewa. Kamarnya sendiri sangat kecil, futonnya sudah kumal belum lagi ketika musim dingin tiba maka tulang serasa ditusuk oleh hawa dingin.

Sebelum melangkahkan kaki, gadis cilik itu ragu apakah dia boleh menempati ruangan bersih itu dengan keadaannya sekarang ini. Anak kakek guru tertawa kecil lalu menarik tangan Ran untuk masuk, mengambilkan futon dan juga selimut.

"Karena kau baru saja menempuh perjalanan jauh maka sebaiknya kau istirahat dulu sampai makan siang. Nah, berbaringlah!"

Setelah futonnya rapi Ran mencoba berbaring, mengistirahatkan tubuhnya yang sebagian terasa kaku karena harus menempuh jarak jauh dari desanya ke ibu kota. Untung saja anak kakek guru begitu baik, sama baiknya seperti pasangan guru itu. Sambil menatap langit-langit kamar Ran membayangkan seperti apa rupa bangunan akademi, lalu apakah kelak dia akan punya banyak teman layaknya di desa Barat, semua pikiran-pikiran kecil itu berputar di kepalanya dan saking banyaknya melamun membuat ia merasa ngantuk.

***

Seperti yang dikatakan oleh Fumi -anak kakek guru bahwa hari ini dia dan suaminya akan mengantar Ran ke Akademi Kerajaan. Sepanjang jalan mata Ran tak berhenti menatap bangunan-bangunan mewah, mulutnya bergumam memuji saat melihat gaya hidup orang ibu kota, mereka mengenakan pakaian berbahan bagus, warnanya begitu indah layaknya bunga musim semi dan ketika sadar Ran melihat pakaiannya sendiri, dia malu dan segera merapatkan kancing baju hangatnya.

"Aku sempat iri padamu, loh! Kau bisa lolos ujian masuk Akademi Kerajaan," ucap Fumi memecah keheningan. Ran menoleh dia tak mengerti maksud Fumi.

"Aku gagal masuk Akademi Kerajaan bahkan dua kali. Akhirnya aku memutuskan belajar hal-hal yang kusuka hingga aku bertemu dengannya," terang Fumi sambil menunjuk punggung suaminya.

"Benarkah?" Ran masih tak percaya jika Fumi tak lolos ujian padahal kedua orangtuanya begitu hebat hingga akhirnya menjadi guru di desa Barat, Ran pikir orang pintar akan melahirkan orang pintar juga. Saat menceritakan kehidupan orang tuanya di desa, Fumi malah tersenyum lebar.

"Mereka berdua memang suka mengajar anak-anak. Atau mungkin mereka frustasi karena aku tak lolos ujian ya?" Fumi tertawa sendiri mengingat betapa bodohnya hingga gagal dua kali. "Kau murid pertama dari desa Barat, kau harus bangga!"

The Lost LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang