Di desa Barat cuaca masih dingin bahkan masih memungkinkan jika salju akan turun. Ran melawan semua rasa dingin yang berusaha menghancurkan tulang-tulangnya. Kini dia berdiri mengantri di balai desa. Ujiannya akan segera dimulai, masih butuh sepuluh orang lagi untuk gilirannya masuk. Semua peserta dicek mulai dari kepala hingga kaki, mereka pun diminta melepaskan sepatu. Ada tiga petugas laki-laki yang memeriksa, mereka begitu teliti, raut wajahnya mengerut ketika ada peserta yang ketahuan membawa secuil kertas berisi tulisan. Ran menelan ludah saat tahu nasib peserta yang gugur sebelum ujian.
"Dimana token ujianmu?"
Ran merogoh saku baju hangatnya, tangan kecilnya mengeluarkan papan kayu kecil bertuliskan namanya. Ran Maikuro. Itu bukan nama keluarganya namun nama milik ibu asuh. Ada alasan kenapa dia harus memakai nama keluarga lain. Dia lahir hanya dengan satu kata -Ran.
"Lepas baju hangatmu dan juga sepatumu!"
Ran bergegas melakukan apa yang diperintahkan, dia melepas baju hangatnya lalu meletakkan di tanah, begitu juga dengan sepasang sepatu hangatnya yang sudah usang. Penjaga itu mengerut saat tahu kondisi sepatu Ran, dia pergi ke tenda diseberang sambil membawa token milik Ran. Dari jauh Ran bisa melihat pria yang memeriksanya sedang mengobrol dengan pria tua berjanggut panjang.
"Ini token asli," ucap pria tua itu setelah mengecek token milik Ran. Tidak hanya sekali bahkan tiga kali dia mengecek, memastikan itu bukan barang tiruan. Harga satu token ujian adalah satu keping emas, melihat keadaan Ran sangat mustahil untuk membeli token itu.
Pria itu kembali lalu menyuruh memakai kembali sepatunya. Tubuh kecil Ran ditarik untuk mengikuti penjaga berpawakan besar menuju tenda tertutup.
"Lakukan pemeriksaan lebih teliti di dalam!"
Ran hanya menurut, dengan perasaan was-was dia masuk ke tenda. Di sana sudah ada petugas wanita paruh baya yang tengah duduk sambil membaca.
"Permisi," ucap Ran dengan lembut dan sopan. Wanita itu menatap tamunya mulai dari ujung kepala hingga kaki tak butuh lama wanita itu beranjak lalu memerintahkan Ran melepas seluruh pakaiannya. Gadis itu terdiam kaku dia masih tak bisa mencerna perintah itu dengan baik.
"Kau tidak mau?" Wanita menaikkan ujung bibirmu, tatapannya seakan mencomooh kondisi Ran saat ini. Gadis kecil dengan pakain penuh tambalan disana-sini, warnanya pun sudah pudar, sepatu hangatnya penuh noda hitam.
"Ah, baik!" Ran hanya bisa mengikuti segala perintah petugas wanita di depannya, dia melepaskan baju hangatnya hingga menyisakan pakaian dalam. Udara dingin langsung menusuk kulit hingga tulang.
Wanita itu mengernyit saat mendapati banyak bekas luka di kulit putih gadis 12 tahun itu, dia menggelang lalu memerintahkan Ran untuk berputar.
"Pakai lagi!"
Setelah memakai seluruh pakaiannya wanita mengajukan pertanyaan singkat yang menohok.
"Kau membeli token dari uang hasil curian kan?" Tuduh wanita itu.
Ran menggeleng, bersumpah jika dia tak pernah mencuri sekalipun dia kelaparan di saat musim dingin. Jerih payahnya menabung yang harusnya ia gunakan untuk pergi ke ibu kota harus ia relakan untuk membeli tiket ujian. Satu keping emas itu sangatlah banyak butuh bertahun-tahun Ran mengumpulkan semuanya. Dia hampir menangis saat dua petugas terus menyudutkannya, jawabannya hanya ada satu dia tak mencuri. Berulang kali dia bersumpah atas nama para dewa.
"Token itu asli, aku menjaminnya. Biarkan dia masuk!" Pria tua berjanggut putih panjang itu tiba-tiba datang menghentikan para petugas yang mengintimidasi Ran.
Ran diijinkan masuk karena petugas tua itu, berulang kali dia membungkuk berterima kasih lalu hilang di balik pintu aula. Di aula besar yang mampu menampung 200 orang Ran berdiri sambil menganga lebar, ini pertama kalinya dia memasuki aula balai desa. Ada empat tiang kayu besar sebagai penyangga bangunan. Meja dan bantalan duduk sudah tertata rapi, peserta ujian bisa duduk sesuai dengan nomor yang berada di token dan meja. Dengan teliti mata hitam Ran memeriksa setiap meja dan token yang ia pegang, mencocokan angka yang tertulis. Di baris kedua dari belakang, deretan tiga dari kiri. Sempat ragu namun Ran memantapkan dirinya untuk segera duduk. Dikedua sisinya masih kosong sedangkan barisan di depannya sudah hampir penuh, mereka duduk rapi, ada yang santai ada juga yang tegang.
Teng! Teng! Teng!
Suara lonceng besar ditumbu dengan pemukul kayu, tanda para peserta diperbolehkan mengerjakan ujian. Semua cekatan membuka soal, membaca dengan cermat lalu memikirkan jawaban dengan hati-hati. Begitu juga Ran, sepasang manik hitamnya tak lepas dari huruf-huruf di atas kertas. Pertanyaannya singkat namun jawabannya yang panjang. Di soal kedua tentang perhitungan, soal selanjutnya sastra, lalu sejarah. Hampir semua yang Ran pelajari selama ini keluar di soal ujian ini, dia tersenyum tipis sambil menggoreskan tintanya.
"Pengumuman akan ditempel seminggu lagi di papan depan balai desa." Kalimat itu menjadi penutup ujian dari pria tua berjanggut panjang. Setelahnya dia meninggalkan aula dengan diikuti petugas lainnya.
Ran berdiri menatap papan pengumuman. Kali ini dia benar-benar takut jika sampai tak lolos ujian. Apa yang akan dikatakan pada pria misterius yang memberinya token ujian.
Seminggu sebelum ujian keributan terjadi di rumah Ran, saat itu Ran belum sempat menginjakkan kaki ke dalam rumahnya namun sudah mendengar suara berisik seperti barang-barang yang dilempar. Bergegas kaki kecil itu berlari menuju rumah nyonya Sae.
"Ayahmu pulang?" Shion memasang wajah serius, wanita itu tak suka pada pria yang menjadi ayah Ran. Tukang marah-marah, tukang mabuk, tukang judi.
"Aku rasa dia sedang mencari uang yang disembunyikan ibu," ucap Ran lemah. Otaknya sudah tak bisa berpikir apapun jika ayahnya pulang. Kedua tangan kecilnya memeluk tubuhnya sendiri.
Brak!
"Dimana bocah itu!" Teriakan menggelegar itu membuat nyonya Sae terganggu, wanita paruh baya itu melangkah keluar ingin tahu siapa yang membuat keributan.
"Kau? Ayah si bocah pengantar telur?"
"Dimana dia?"
Nyonya Sae menyunggingkan bibir, menatap ayah Ran dengan tatapan merendahkan. Menjawab pertanyaan dari si tukang mabuk dengan singkat. Tak mungkin bocah kecil itu ada di rumahnya di pagi hari. Jam biasa Ran mengantar telur adalah siang hari, tepat jam makan siang. Pemilik rumah bordir itu tahu alasan kenapa mengantar telur di jam itu -untuk mendapatkan makan siang gratis.
"Pergilah jika kau hanya ingin mengacau!"
Brak!
Ayah Ran memukul pot tanaman dengan balok kayu hingga pot tanah liat itu hancur, tanahnya berserakan. Mata nyonya Sae hanya menyipit dan meberi kode pada dua perkerja laki-lakinya yang berada di belakangnya.
"Aku bisa menghancurkan tempat ini jika kau masih menyembunyikan anak itu!" Itu bukan hanya ancaman dua pot dihancurkan lagi dengan balok kayu.
Ayah Ran meronta saat tubuhnya ditahan oleh dua pekerja nyonya Sae, berteriak memaki siapapun yang ada di depan matanya, keadaan makin ribut perlahan orang-orang pun menonton di luar rumah bordir. Pemilik rumah itu meludah, dia sudah habis kesabaran.
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi ayah Ran. Suara bisik-bisik dari kerumunan membenarkan aksi nyonya Sae, dari semua penonton mereka lebih condong ke pemilik rumah bordir. Dua pekerja itu menarik tubuh ayah Ran dengan paksa kemudian mendorongnya keluar dari halaman rumah. Dengan sedikit ancaman pria paruh baya itu pergi meninggalkan rumah bordir sambil mengucap umpatan untuk nyonya Sae dan para pekerjanya.
Kerumunan pun bubar bahkan tamu-tamu rumah bordir pun masuk kembali, melanjutkan kegiatan yang tertunda.
"Apa ayahmu meminta uang lagi?"
Ran tak menjawab, pikirannya kalut jika ayahnya pulang. Memang benar uang hasil ia bekerja sudah disimpan di tempat aman tapi bukan berarti dia bisa tenang. Jika pria itu tak kunjung mendapatkan apa yang dimau maka Ran yang akan menjadi pelampiasannya.
"Iya, aman selama aku menabung di nyonya Sae,"
***
Malamnya udara makin dingin namun salju tak turun. Disudut kamar Ran menerangi bukunya dengan lilin yang panjangnya tinggal 5 sentimeter. Tak lama lagi lilin itu akan lenyap, meninggalkannya dalam gelap. Tubuh kecil Ran meringkuk di dalam selimut yang tak cukup menghangatkan, sesekali ia menggerakkan kakinya untuk mengusir dingin.
"Bertahanlah Ran sebentar lagi selesai," gumamnya menyemangati diri sendiri
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Legend
FantastikRan, gadis kecil yang tak punya nama keluarga. Bukan tak punya keluarga namun keluarganya hanya memberi nama singkat itu saja. Dia gadis malang yang selalu berlarian ke sana kemari untuk mengantar barang agar mendapat imbalan. Menginjak usia 14 kedu...