Benar apa yang dikatakan Fumi jika sudah menjadi murid Akademi Kerajaan jam bangun adalah tepat pukul 4 subuh, lonceng dibunyikan keras-keras hingga kadang membuat bising di telinga. Bagi yang tak terbiasa bangun pagi pasti terkejut setelah mendegar suara lonceng lalu beranjak dengan terburu-buru hingga rasanya pusing dan mual. Tapi bagi Ran bangun jam 4 subuh bukan hal yang sulit, dia terbiasa bangun lebih awal lalu memulai pekerjaan serabutannya. Di akademi ini dia masih bingung setelah bangun harus apa, bahkan sebelum lonceng berbunyi dia sudah membuka mata.
"Hei Yue! Ayo bangun!" Ran membangunkan teman sekamarnya. Gadis berkepang itu memilih tidur di ranjang atas.
"Nggh" Yue membuka sebelah matanya, pandangannya masih samar karena rasa kantuk yang luar biasa. Dia lahir di keluarga berada, jam bangunnya adalah pukul 7 itupun harus dibangunkan oleh pelayannya.
"Chou, nanti dulu saja," rengek Yue yang masih nyaman berada dalam alam mimpi.
Ran terus mengguncang tubuh nona cilik itu sambil setengah berteriak jika kini bukan di kediaman Tobira, dan dia juga bukan Chou si pelayan pribadi.
Brak! Brak! Brak! Suara gedoran pintu di kamar nomor 10 membuat kedua penghuninya berjingkat. Yue pun langsung bangun, sadar secara terpaksa lalu menatap Ran yang ada di samping, menanyakan sekarang pukul berapa.
"Cepat pakai seragammu kita harus segera berkumpul di halaman!"
Yue pun menuruni anak tangga ranjangnya lalu berganti pakaian. Nona cilik itu sedikit kesulitan karena biasanya ada Chou yang membantunya berpakaian.
Hampir semua murid tingkat satu dan dua sudah berkumpul di halaman depan. Ran merasa lega dia tak terlambat karena harus membantu Yue berpakaian. Dua gadis cilik itu segera mengambil tempat di barisan.
Rutinitas pagi untuk murid tingkat satu dan dua adalah menaiki gunung Musim Gugur. Yue menggerutu saat dipertengahan jalan karena masih jauh dan dia merasa haus.
"Ini gila!" Umpatnya pelan takut-takut jika ada senior yang mendengarnya. Kedua kakinya terasa panas dia tak sanggup untuk berjalan lagi. Dia harus mengistirahatkan kakinya sejenak.
"Istirahat lagi?" Tanya Ran dengan tatapan tak percaya, ini sudah 3 kali Yue mengambil istirahat. Bukan berarti Ran tak lelah, kakinya juga terasa pegal tapi dia tak mau menjadi orang yang datang paling akhir.
"Katanya disana ada sumber air yang menyegarkan. Kuatkan kakimu agar bisa mengambil minum!"
Yue meringis, dia mau menyerah saja. Bukan hanya dia yang merasakan hal yang sama, banyak dari teman seangkatan yang duduk bersandar di pohon untuk istirahat.
"Jika kau terus seperti ini maka aku kutinggal!"
Mata Yue mendelik, dia tak mau jalan sendirian. Dengan terpaksa dia kembali bangkit dari duduknya lalu berpegangan pada tangan teman sekamarnya. Kembali menelusuri jalanan setapak, udara di gunung saat subuh membuat tulang serasa ditusuk oleh angin dingin. Seragam dari akademi tak mampu menahan rasa dingin musim semi. Belum lagi pencahayaan yang masih minim karena matahari belum nampak, utung saja jalan setapak sedikit mulus.
Benar apa yang didengar oleh Ran, tujuan akhir pendakian adalah di air terjun, beberapa murid tingkat dua mulai mengambil air dengan kedua tangan, ada juga yang membasuh wajah mereka agar terasa lebih segar. Yue berlari begitu melihat air yang mengalir di sungai, meski awalnya jijik namun pada akhirnya dia minum air itu juga.
"Wah segar!" Serunya lalu mengambil lagi.
Setelah istirahat sejenak mereka kembali turun gunung. Sebelum matahari terbit mereka harus sampai di tempat meditasi, untuk itu semua segera bergegas meski sambil mengomel karena ingin istirahat lebih lama.
Yue memekik begitu sampai akademi dia harus segera menaiki seratus anak tangga untuk menuju tempat meditasi. Matanya menatap Ran dengan takjub karena teman sekamarnya itu jarang mengeluh. Bahkan anak yang lebih pendek darinya itu sudah berada di anak tangga ke 20.
"Tunggu Ran!"
Tempat meditasi tak jauh beda dengan halaman luas, disana sudah dipasang ubin batu. Tempatnya terbuka dan mengahadap ke timur tempat matahari terbit. Halaman luas itu bisa menampung 500 murid sekaligus. Namun sesi meditasi pagi hanya untuk murid tingkat satu, dua dan tiga.
Seorang wanita paruh baya mulai menuntun menditasi. Wajah wanita itu begitu lembut tapi tegas secara bersamaan. Tutur katanya pun lembut sangat pas untuk memandu meditasi. Ran memejamkan mata namun pikirannya tak bisa fokus, dia tak paham tujuan dari meditasi bahkan dia berpikir rutinitas ini hanya membuang waktu. Dia berpikir belajar pagi-pagi adalah hal yang baik dibanding meditasi yang hanya disuruh memejamkan mata.
"Kemana pikiranmu pergi?" Bisik guru meditasi di telinga kanan Ran. Wanita itu tahu murid yang mana saja yang tidak fokus, dan Ran yang didekati pertama.
Gadis itu menelan ludah namun tak berani membuka kedua matanya. Dia sudah ketahuan tak fokus namun masih tak berani menjawab pertanyaan gurunya.
Ran tak sendiri, diangkatannya sekitar ada 30 murid yang gagal fokus meditasi. Alhasil mereka dikumpulkan lalu diberi sedikit arahan tentang meditasi.
"Kelak ilmu ini akan terus berguna. Terutama membantu fokus belajar dan membuka gerbang roh saat kalian sudah menjadi murid tingkat 3."
Di anak tangga ke sepuluh dari atas, langkah kaki Ran terhenti. Kata-kata terakhir dari guru meditasinya -Sanae membuat dia bertanya-tanya, apa maksudnya dengan gerbang roh.
"Cepat! Kita bisa ketinggalan pelajaran pertama!" Yue memukul lengan Ran lalu menariknya menuruni tangga yang tersisa.
Pelajaran pertama murid tingkat satu adalah sejarah pembentukan negara. Kisah-kisah seru yang sering menjadi kebanggaan anak-anak ketika mendengar legenda dua naga. Mereka selalu terkesan dan tak sedikit dari mereka ingin bertemu dengan dua naga legenda. Tak terkecuali Ran, ketika kakek guru bercerita tentang sejarah negera dia mendengarkan begitu serius, dan sama seperti anak-anak lainnya jika dia ingin bertemu dengan dua naga legenda, ingin mengajukan permohonan agar hidupnya sedikit lebih layak. Namun kakek guru mematahkan semangatnya karena hanya orang beruntung yang bisa melihat dua naga legenda.
Konon katanya sebelum tercipta negara ini seorang pria dari suku negara lain diusir dari tanah kelahirannya karena dia membawa sial dalam sukunya. Dengan dalih mengambil tanaman langkah yang hanya ada diseberang lautan kepala suku menyuruh pemuda itu keluar dari tanah kelaharinnya untuk kali pertama. Sen -nama pemuda itu, dia berjalan berhari-hari lalu menyeberangi lautan luas selama dua minggu. Hidup terombang ambing dan berulang kali kehilangan arah. Namun tanaman langkah itu begitu penting dan saking pentingnya ia tak ingin menyerah pada badai. Setelah kakinya kembali menapak tanah dia segera berjalan di hamparan tanah tandus. Terik matahari yang mengundang rasa haus namun disekitarnya tak ada sumber air, hanya beberapa bangkai binatang.
Sen menyeringai penuh, dia sadar tujuan kepala suku mengirimnya ke tanah tandus ini, tak lain adalah untuk membunuhnya.
"Setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan kini aku diusir?" Katanya dengan nada getir. Penghilatan Sen mulai menurun, namun dia tak berhenti melangkah sambil berpikiran di ujung sana ada harapan. Perasaan Sen benar, ada sebuah gunung batu yang sedikit ditutupi lumut itu berarti ada air disekitar gunung batu itu.
Langkah gontainya terus membawa ke balik gunung batu, disana ada danau kecil dengan air jernih. Paparan sinar mentari yang mengenai air itu membuat seperti kilauan berlian. Sen tersenyum lalu segera menakupkan kedua tangannya untuk mengambil air. Hanya sekali teguk rasa hausnya langsung sirna. Pemuda itu bingung ada yang tak beres dengan air yang ia minum.
"Apakah ini air suci yang dikatakan kepala suku?" Sen menatap sekitar, hanya dia seorang. Tiba-tiba saja hawa dingin menyelimuti tubuhnya, dadanya terasa nyeri hingga membuatnya ambruk.
"Berani sekali manusia rendah menapakkan kakinya di tanah ini?" Suara besar menggema itu membuat Sen merasakan kesakitan di tubuhnya. Kepalanya berusaha mencari asal suara namun tiba-tiba kabut tebal menyelimuti. Sen semakin bingung terutama rasa sakit di dadanya malah makin menjadi.
"Hooekk" darah segar keluar dari mulut Sen. Matanya mendelik menatap air danau yang kini menjadi hitam. "Racun," pikirnya.
"Beraninya manusia sepertimu meminum darahku!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Legend
FantasiRan, gadis kecil yang tak punya nama keluarga. Bukan tak punya keluarga namun keluarganya hanya memberi nama singkat itu saja. Dia gadis malang yang selalu berlarian ke sana kemari untuk mengantar barang agar mendapat imbalan. Menginjak usia 14 kedu...