Cerita sejarah itu terpaksa berhenti karena lonceng berbunyi dua kali menandakan pergantian pelajaran. Magoto seorang pria berusia 55 tahun sebagai guru sejarah di akademi kerajaan, menutup pelajaran sejarahnya. Semua murid mendesah, merengek tak terima kisah seru itu berakhir. Ran pun sama, dia lebih suka mendengarkan ketimbang membaca buku sendiri. Pelajaran selanjutnya adalah berhitung, kali ini guru yang masuk adalah seorang pria berusia 70 tahunan. Badan pria tua itu masih tegap meski daya penghilatannya harus dibantu dengan kacamata. Diawal pertemuan guru matematika itu sudah memberikan beberapa pertanyaan dan tugas. Dalam hati Ran menggerutu meski begitu tangannya tak diam, dia mencoba memecahkan soal yang sudah ditulis di papan hitam.
Ketika matahari tepat berada di atas kepala, lonceng akademi berdentang tiga kali. Itu waktunya istirahat siang. Semua murid berjajar rapi dalam sebuah antrean, bisik-bisik para senior membuat junior ingin membuka telinga lebar-lebar. Gosip di ruang makan sangatlah menyenangkan.
"Kalian dengar tidak jika suku kuno masuk akademi ini?"
"Benarkah? Yang mana?"
Kalimat-kalimat itu sudah ratusan kali didengar oleh Kureen -bocah suku kuno. Dia hanya diam tak menanggapi meski ratusan pasang mata menatapnya. Dia tahu penampilan suku kuno sangat mencolok tapi Kureen tak peduli, dengan pose angkuhnya dia tenang berada dalam antrean.
"Si rambut putih itu?"
"Benar."
Ketika sepasang telinga Ran tak sengaja mendengar gosip tentang teman seangkatannya dia pun menoleh. Menatap Kureen dengan was-was, surai putihnya memang mencolok badannya sedikit kurus, tingginya mungkin lebih tinggi Tobiko, lalu antingnya. Mata Ran memicing mencari aksesoris yang mirip milik wanita. Sepasang anting itu tak lagi terpasang di telinga. Mungkin aturan akademi yang memaksa untuk melepas.
Rasa penasaran tentang suku kuno terus berlanjut hingga di kelas sastra. Matanya masih fokus menatap Kureen yang berhasil membaca aksara kuno, bukan hal yang sulit karena suku kuno masih menggunakan aksara kuno. Bibir Ran terbuka, matanya menatap prestasi yang baru saja dicetak oleh Kureen.
"Aku bisa belajar pada anak itu," gumamnya sambil bertepuk tangan sama seperti yang lain.
Kureen, satu-satunya bocah dari suku kuno yang masuk akademi. Sebelumnya tak ada suku kuno yang masuk akademi kerajaan karena di pulau suku kuno sendiri ada akademi khusus untuk mereka. Semua guru pun heran kenapa Kureen masuk akademi kerajaan, bahkan saat ditanya bicah 13 tahun itu hanya menjawab singkat.
"Hanya ingin saja," jawabnya dengan nada dingin.
Tingkahnya yang dingin dan terkesan arogan membuat beberapa guru tak menyukainya namun nilai hasil ujian masuknya sangat bagus.
"Bagaimana rasanya mengajar suku kuno?" Tanya kepala akademi pada guru-guru yang telah mengajar murid baru. Mereka memberikan penilaian yang sama. Kureen memperhatikan semua pelajaran dengan tenang dan tak banyak bicara, bahkan dia acuh dengan bisikan-bisikan mengenainya.
Kepala akademi mendesah berat seraya menatap jendela, pemandangan musim semi yang indah namun kepalanya terasa pening. Pihak kerajaan mendesaknya untuk mengetahui alasan suku kuno masuk akademi namun hingga sekarang dia tak mengerti.
"Mungkin butuh seminggu untuk mengetahui alasannya. Atau bisa lebih," ucap Magoto si guru sejarah. Kakek buyutnya juga guru di akademi dan belum pernah mendapatkan suku kuno masuk. Tak ada larangan hanya saja suku kuno punya pendirian sendiri.
"Apa akan ada perang saudara?" ucap guru muda -Kana. Usianya masih 30 tahunan, merupakan alumni akademi ini.
"Kana! Jaga ucapanmu!"
Guru muda itu terkesiap, mengunci mulutnya rapat. Pandangannya menurun tak berani menatap kepala akademi ataupun rekan-rekannya. Dia merasa malu dengan pemikirannya yang awalnya dia berpikir jika ucapannya banyak yang sepaham. Setelah lulus dari akademi Kana pernah bekerja di istana. Banyak gosip yang beredar di dalam bangunan megah dan mewah tersebut, termasuk perang saudara mendapatakan tahta.
Negara Napas Naga, bukan negara yang mempunyai sejarah singkat. Semua tahu tanah yang dulunya tandus seperti disulap menjadi negara yang makmur. Semua berkat dua naga legenda yang mereka percaya. Namun seiringnya berjalan legenda itu hilang, cerita tentang dewa-dewa ataupun makhluk mitologi mulai perlahan hilang. Sebagian rakyat percaya bahwa kesuburan tanah ini bukan dari makhluk legenda melainkan dari manusia yang semakin pintar.
***
Yue merengek kesakitan setelah seharian penuh menjalani kehidupan seorang murid di Akademi Kerajaan, semua yang dijalani hari ini tak sesuai dengan bayangannya. Bangun subuh naik gunung Musim Gugur lalu menaiki 100 anak tangga untuk meditasi dan sorenya hari ini belajar bela diri dasar. Baru sehari dia sudah rindu dengan aroma kamarnya dan ocehan pelayan pribadinya.
"Huh? Kau tak merasa lelah ya?" Yue mengerutkan dahinya ketika melihat Ran duduk santai di pinggir ranjang. Jika dipikir-pikir sejak subuh dia tak mendengar suara keluhan teman sekamarnya.
"Un, aku lelah itu sebabnya aku diam."
Yue tak bisa berkata-kata, dia berjalan dan duduk di samping teman barunya. Menatap lekat-lekat wajah Ran. Jika dari dekat seperti sekarang wajah Ran cukup cantik hanya minus di kulitnya yang sedikit kusam. Gadis bangsawan itu bertanya-tanya dalam hati tentang kehidupan Ran di kampung halamannya. Setahu Yue anak-anak seusianya memiliki kulit yang bersih dan lembut.
"Ah benar!" Yue beranjak menuju mejanya, menarik laci tempat penyimpanan. Dia mengeluarkan wadah kecil berisi krim yang katanya bagus untuk kulit wajah. Tentu Ran menolak dia tak pernah memakai hal-hal semacam itu. Ran punya pemikiran sendiri, perempuan yang bersolek hanya perempuan penggoda.
Yue tertawa kencang bahkan memukulnya dahinya sendiri karena pemikiran konyol teman sekamarnya. Yue semakin penasaran dengan kehidupan Ran di kampung dan bagaimana kehidupan di desa Barat.
Ketika malam tiba Ran merasakan seluruh tulang-tulangnya seakan remuk. Sambil terpejam dia mengurut kegiatannya hari ini bangun subuh, naik turun gunung, meditasi, belajar, lalu belajar bela diri dasar.
"Aku lelah," gumamnya sedikit bergetar. Tiba-tiba saja dia ingat kawan-kawannya di desa, ibu asuh dan Shion.
Pagi kembali datang semua murid kembali melakukan rutinitas wajib. Mendaki gunung, meditasi, belajar, dan kegiatan terakhir belajar bela diri. Dari semua kegiatan Ran hanya paling suka jam makan. Makanan di akademi sangat enak, nasinya pulen ditambah miso dan lauk ayam. Di hari pertama rasanya ia ingin tambah tapi malu dengan teman dan seniornya. Kehidupan murid di akademi benar-benar terjamin, Ran jadi tahu kenapa untuk masuk tempat ini sangat sulit.
Brukk.
"Ah, maaf!" Ucap Ran buru-buru ketika ia tak sengaja menabrak orang di depannya. Penglihatnnya tertutup dengan tumpukan buku yang dibawanya. Setelahnya dia segera mengambil buku-buku yang berserakan di lantai. Ditumpuknya kembali dengan rapi.
"Lain kali hati-hati!"
Suara lembut tapi juga dingin itu membuat Ran mendongak, dia penasaran siapa pemiliknya. Rambut putih perak yang pertama menarik matanya. Hanya ada satu orang pemilik rambut putih perak, si bocah suku kuno. Sepasang iris mereka bertemu saling memandang hingga rasanya Ran tersedot ke dalam iris cantik si bocah suku kuno.
"Ran!" Teriak Yue dari belakang karena tahu teman sekamarnya duduk di lantai sambil memandang si bocah suku kuno. Seketika Ran tersadar, dia mengerjapkan matanya berulang kali. Tobiko yang datang Yue pun segera membantu Ran berdiri.
"Ah, Yue kita pergi saja!" Sergah Tobiko saat Yue akan bertanya pada bocah suku kuno. Mereka bertiga berjalan pergi. Setelah memastikan sudah jauh dari bocah bersurai putih, Tobiko mengomel panjang. Melarang kedua temannya agar tak dekat-dekat dengan si suku kuno.
"Hmm, apa kau pernah bertatapan dengan bocah itu?" Tanya Ran sedikit linglung, ada hal yang terasa mengganjal di pikirannya namun tak bisa diungkapkan. Ingatannya ketika menatap iris bocah suku kuno membuat yang merinding.
"Aku sudah bilang berulang kali, suku kuno tak bisa didekati begitu saja. Sudah sejak dahulu mereka membuat batasan tak kasat mata dengan warga kerajaan."
Ran mengagumi pengetahuan Tobiko. Laki-laki itu tahi segalanya, tentang ibu kota, tentang suku kuno, ataupun tentang kehidupan di ibu kota. Tobiko sosok ideal yang bisa dijadikan teman. Dia juga bocah yang cerdas dalam berhitung. Ran sudah memantapkan hati untuk belajar dari Tobiko. Namun...
Kaki Ran berhenti, menoleh ke belakang, menatap tempat dimana dia bertabrakan dengan bocah suku kuno.
"Aku ingin berteman dengannya juga..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Legend
FantasíaRan, gadis kecil yang tak punya nama keluarga. Bukan tak punya keluarga namun keluarganya hanya memberi nama singkat itu saja. Dia gadis malang yang selalu berlarian ke sana kemari untuk mengantar barang agar mendapat imbalan. Menginjak usia 14 kedu...