Srak!
Suara itu selalu diikuti semilir angin. Dan Ran tak suka, rasa takutnya makin bertambah, otaknya seakan buntu tak bisa bekerja. Secara tiba-tiba dia tak ingat arah menuju rumah kakek guru. Kini dia yang memimpin jalan, menarik Kano agar bergerak menuju rumah kakek -jika berhasil atau pergi ke tempat yang jauh lebih ramai, tak masalah jika harus kembali ke rumah nyonya Sae.
Bayangan hitam itu masih mengejar dua bocah yang lari di jalanan sempit, diantara rumah-rumah yang hanya terpisah oleh jalan selebar 1,5 meter. Kano tak mengerti apa yang sedang mengejarnya, saat berusaha menengok ke belakang namun tak menemui sosok yang mengejar mereka, malah terlihat seperti kain hitam yang melayang-layang.
"Ran, sebenarnya apa yang mengejar kita?"
Tak ada jawaban, gadis cilik itu mulai merasa sedikit jernih. Pantas saja mereka tak kunjung sampai ke rumah kakek guru karena mereka berlari ke arah yang salah ketika Kano memimpin jalan. Lari di atas tumpukan salju adalah hal yang dibenci Ran, langkahnya berat belum lagi kadang terasa licin hingga kadang membuat tubuhnya oleng. Belum lagi Kano yang begitu cerewet menanyakan hal yang sama. Ran juga tak paham apa yang mengejar mereka.
Lima meter lagi adalah rumah kakek guru, sekuat tenaga Ran berteriak memanggil kakek guru bahkan berulang kali hingga pagar kayu itu dibuka oleh seorang pekerja. Ran terengah-engah dan begitu menengok ke belakang bayangan hitam itu sudah tak ada. Tubuhnya ambruk merasa lega dan lelah di saat yang sama. Sepasang mata hitam milik Ran mencari-cari bayangan hitam di sekelilingnya siapa tahu sembunyi diantar tembok atau pohon-pohon tanpa daun.
"Apa kau bertemu bayangan hitam itu lagi?"
Ran tak memnyahut dia masih menatap ke arah pagar rumamh kakek guru, berandai-andai jika saja pintu kayu itu tak terbuka, kira-kira apa yang akan terjadi padanya dan Kano. Kepala Ran menggeleng mengusir bayangan buruk yang ia ciptakan sendiri.
"Ada hal yang jauh lebih mengerikan," gumam Kano, tubuhnya masih bergetar karena ketakutan. Jemarinya mengacak kasar rambut-rambutnya, dia merasa kesal pada kesialannya hari ini, melihat kejadian horor si pria asing dan dikejar sesuatu yang tak jelas. Bahakan Kano takut untuk pulang.
Kakek guru memutuskan agar dua bocah itu menginap semalam. Salju turun lagi, langit semakin gelap, Ran dan Kano semakin bergidik, mereka berpindah tempat tepat di samping nenek guru.
"Kalian aman disini."
***
Sepanjang malam Ran tak tidur, memaksa kedua matanya terus terjaga untuk menghabiskan beberapa buku, ujiannya semakin dekat -meski belum yakin kapan sakura pertama akan mekar. Namun menurut prediksi kakek guru sekitar 6 minggu lagi. Tak ada waktu untuk bersantai, sore sampai malam adalah waktu untuk belajar, paginya dia harus bekerja mencari uang.
Paginya Ran dan Kano sudah bersiap, mereka menunggu kakek guru di halaman yang penuh salju. Ran mendongak langit pagi ini cukup cerah meski minim sinar matahari, dia punya feeling bagus tentang pekerjaan hari ini.
"Kurasa kita akan mendapatkan banyak pekerjaan hari ini," ucap Kano sembari membenarkan pakian hangatnya.
"Kak Kano!" bocah berusia lima tahun lari tergesa-gesa, kedua pipinya memerah seperti tomat karena udara pagi ini sangat dingin, semalam salju mengubur tanah. Bocah itu terengah-engah sambil membungkuk memeganggi kedua lututnya, mengatur napasnya agar bisa berbicara dengan baik.
"Ada apa?" Kano menatap adiknya bingung.
"Kenapa kau bisa tahu aku ada disini?""Aku mencari kakak sejak tadi." Kalimat itu terjeda dengan napas. "Kata ayah disana ada mayat."
Bruk! Tubuh Kano langsung ambruk, bayangan kemarin tentang si pria aneh menyeruak ke otaknya, memenuhi setiap sudut. Dibelakangnya Ran pun tak bergerak sedikitpun bahkan dia takut hanya untuk mengambil napas.
Mereka tak menceritakan kejadian pembunuhan semalam pada kakek guru, Ran yang melarangnya karena dia belum yakin dengan apa yang dilihat dan Kano pun setuju. Kano segera menarik tangan kecil adiknya lalu berpamitan pada kakek guru. Sepanjang jalan Kano dan Ran hanya diam, mereka bergelut dengan pikiran masing-masing hingga tak sadar mereka sampai di kerumunan. Mata hitam Ran yang jernih menatap sekitarnya, banyak orang berbisik tak jelas, gadis itu nekad mengambil langkah untuk melihat apa yang sedang menjadi bahan tontonan warga. Tubuhnya kecilnya cukup mulus untuk menerobos.
Ran hanya melongo setelah melihat apa yang ada di tengah-tengah gerombolan manusia itu. Rusa yang terkapar dengan anak panah yang menancap di bagian perut. Namun bangkai rusa itu tak diambil si pemburu, hanya dibiarkan hingga darahnya bercampur dengan salju. Gadis cilik itu merasa lega lalu kembali keluar dari kerumunan.
"Benarkah itu..." Kano bersuara dengan was-was.
"Bukan." Ran menarik tangan Kano agar menjauh dari warga, dia menjelaskan apa yang ia lihat. Kano menghela napas lega, dugaan buruknya tak menjadi kenyataan.
Dahi Ran berkerut memkirkan seuatu, masih ada yang membuatnya janggal kemana perginya pria asing itu lalu bayangan hitam yang mengejarnya itu sebenarnya apa.
Tak!
Kano menyentil dahi Ran cukup keras, dia tahu jika kejadian semalam bukan mimpi namun dia tak ingin memikirkan lebih jauh karena membuatnya tak bisa tidur dan kepalanya pusing.
"Lebih baik fokus pada ujianmu."
Itu benar, 6 minggu itu waktu yang singkat. Bisa lebih bisa jadi kurang, Ran berharap sakura pertama terlambat mekar. Waktu ujian dan uang tabungannya seperti kejar-kejaran.
5 hari setelah kejadian horor itu. Kano bergerak gelisah karena tak pernah lagi menemui si pria asing, ada yang bilang pria itu sudah kembali ke desanya, ada yang bilang jika dia berasal dari lain negara. Tubuh Kano bergidik mengingat kejadian tempo hari.
Di tempat lain pun Ran juga merasa aneh, selama beberapa hari ini dia jarang melihat salah satu teman Shion. Biasanya wanita itu sering ke dapur hanya untuk sekedar berbincang dengan ibu asuh atau Shion, saling mengejek tamu pria yang jelek dan bau atau hanya sekedar menyantap makan siang. Ran selalu memperhatikan setiap teman Shion.
"Nona yang biasanya datang kesini kemana?"
Shion dengan cepat membungkan mulut kecil Ran, memberinya tatapan menusuk.
"Jangan membicarakan dia untuk sementara!"
Ran menelan ludah, ini pertama kalinya Shion memberikan tekanan padanya. Gadis itu mengangguk cepat, takut Shion melakukan hal yang lebih menyeramkan. Wanita penghibur itu menurunkan tangannya dari mulut Ran, matanya menatap kobaran api di depannya.
"Dia menghilang dan nyonya Sae belum tahu akan hal ini." Tak bisa dipungkiri jika Shion pun resah jika temannya tak ada kabar selama lima hari ini. Terkahir kali Shion tahu jika temannya keluar di sore hari katanya ingin membeli sesuatu di toko perhiasan langganan mereka. Namun sehari setelahnya Shion mengunjungi toko itu dan pemiliknya mengatakan jika temannya tak pernah datang.
Bola mata Ran menatap Shion dengan was-was dia bingung haruskan menceritakan kejadian 5 hari lalu? Atau dia lebih baik? Dia memalingkan wajah cantiknya, ikut menantap api yang melahap kayu bakar. Dalam kobaran api merah itu seakan terlihat potongan kejadian si pria aneh yang menggigit leher wanita yang dipeluknya.
"Itu...sebenarnya..."
"Ran! Kakek guru mencarimu!" Potong Kano yang tiba-tiba masuk ke dapur rumah nyonya Sae. Dua orang yabg sedang duduk menatap kompor dari tanah liat itu menatap Kano dengan ekspresi kaget.
"Ah iya, baik. Aku pergi dulu."
Hati Ran cemas sepanjang perjalan menuju rumah kakek guru, dugaannya tentang ujian masuk akedemi kerajaan. Batinnya berharap ujiannya mundur beberapa hari.
Sebelum membuka percakapan kakek guru menatap Ran sambil menghela napas berat. Suara napas itu membuat Ran bergerak tak nyaman, firasatnya makin tidak enak. Tangan tua kakek guru mengeluarkan gulungan kertas lengan bajunya.
"Ini adalah pengumuman ujian."
Ran menelan ludah. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, ingin rasanya dia menutup kedua telinganya ketika kakek guru mulai membuka gulungan itu.
"Ujiannya sebentar 37 hari lagi. Diantara semua muridku kau yang pertama tahu. Persiapkan dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Legend
FantasiRan, gadis kecil yang tak punya nama keluarga. Bukan tak punya keluarga namun keluarganya hanya memberi nama singkat itu saja. Dia gadis malang yang selalu berlarian ke sana kemari untuk mengantar barang agar mendapat imbalan. Menginjak usia 14 kedu...