Sebelas

19 4 0
                                    

Cuaca dingin sisa-sisa musim dingin masih terasa menyuntik kulit. Meski di ibu kota bunga mulai bermekaran namun hawa dingin masih memaksa mereka memakai pakaian hangat.

"Wah peserta ujian tahun ini tak main-main. Banyak rakyat bawah yang memaksa untuk ikut. Cih, mereka masih tak sadar!" Salah satu dari panita pengoreksi jawaban mendengus sebal sejak pagi. Entah karena cuaca atau karena jawaban yang dikoreksinya saat ini.

"Tutup mulutmu dan bekerjalah dengan tanganmu!" Ketus seniornya yang tak suka suara gaduh saat sedang bekerja. Membaca jawaban peserta ujian ini layaknya ikut ujian juga, kedua mata harus fokus saat membaca tulisan-tulisan yang tak cantik -menurutnya, jika sudah merasa tak bisa dibaca Koushi akan menyalahkan jawaban meski hasilnya benar.

"Siapa suruh tulisannya jelek," gumamnya sebal seraya memberi coretan tinta merah.

"Wah, gila! Anak ini benar-benar gila!" Ucap salah satu dari 10 korektor jawaban. Dia duduk dekat jendela, tak peduli jika salah satu rekannya tak suka suara gaduh. "Oi! Ada seorang jenius kali ini!"

Semua mata memandang dengan penuh rasa penasaran. Siapa yang dikira jenius itu, sejak kemarin mereka bersepuluh tak menemukan calon murid yang mendapatkan nilai sempurna.

"Nilai sempurna!"

Mereka beranjak mendekati meja Setsu bersama. Memastikan omongan pria berpawakan tinggi besar itu benar adanya. Koushi menarik kertas jawaban itu dengan hati-hati agar tak robek, membaca setiap jawaban yang tertulis dengan seksama. Teman-temannya menanti penilaian Koushi yang notabene ketua tim mereka.

"Benar. Pisahkan lembar jawaban itu dan segera laporkan pada kepala akademi. Semua kembali ke tempat masing-masing!"

Jauh dari ibu kota, di desa Barat.

Ran menghitung hari, esok pengumuman ujian akademi akan dipajang di papan balai desa. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya melayang ke arah negatif dan positif. Dia yakin dengan semua jawabannya namun kadang ia merasa pesimis. Bisa saja di luar sana ada orang yang jauh lebih hebat darinya, orang yang menggeser posisinya untuk masuk akademi karena bagaimanapun juga akademi hanya menerima murid dengan jumlah terbatas. Sejak ujian usai Ran malah gampang menangis.

"Aku yakin kau bisa lolos!" Teman satu-satunya itu memberikan semangat seraya menyodorkan saputangan yang usang. Ran tak segera menerima ia malah sesenggukan.

"Kita lihat besok bersama-sama!"

Usai dari bekerja Ran malah malas pulang ke rumahnya, dia tak ingin menemui kedua orang tuanya terutama ayahnya. Jika melihat sosok itu maka emosi yang Ran yang sudah dipendam bisa meledak begitu saja. Tabungan 1 keping emasnya telah raib dalam dua hari.

"Istirahatlah, besok pagi aku akan menjeputmu." Kano mendorong tubuh temannya agar segera masuk ke rumah, cuaca malam semakin dingin dan harapannya Ran tak jatuh sakit agar esok bisa melihat hasil ujian.

***

Sejak semalam kedua mata Ran terjaga, pikirannya terbagi dan melayang. Angannya tentang kehidupan layak di ibu kota dan hutang 3 keping emas jika tak lolos ujian. Alhasil kini dia memiliki lingkar di bawah matanya, wajahnya pun terlihat lesu dan pucat. Kano sadar tentang hal itu pun langsung menggandeng tangan teman baiknya, menuntun ke arah menuju balai desa. Butuh waktu 15 menit untuk sampai kesana. Dan saat sampai jalanan sekitar balai desa sudah ramai dan padat. Karena Kano yang memimpin jalan tentu ia juga bertanggung jawab mencari jalan yang bisa dilalui dengan mudah.

"Cepat cari namamu!" Kano mencarikan jalan untuk Ran diantara desakan manusia dewasa. Ekspresi Kano menjadi seperti orang bodoh ketika di papan pengumuman hanya ada selembaran yang bertuliskan "3". Dia bertanya-tanya pada pria di sampingnya.

The Lost LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang