Empat Belas

25 3 4
                                    

Bukan hanya kepala akademi hampir semua memandangi seorang bocah laki-laki bersurai putih. Ada beberapa murid yang menatapnya heran, bagaimana bisa seorang bocah laki-laki berani memakai anting, ditamhbah modelnya cukup mencolok hampir sama seperti anting para wanita penggoda.

"Kenapa dia pakai anting?" Gumam Ran, mata cantiknya tak bisa lepas memandangi bocah yang terlihat seusianya jauh disana. Bocah itu sangat tenang tak peduli banyak pasang mata yang memandanginya.

"Kau tidak tahu ya?" Kebetulan bocah laki-laki di samping Ran mendengar gumaman tadi. "Dia itu dari suku kuno."

"Suku kuno? Suku yang terlibat membentuk negara ini?" Ran mendelik pada bocah yang barusan memberinya penjelasan. Ran tahu tentang suku kuno lewat buku sejarah yang pernah dibacanya di rumah kakek guru. Apa yang dibayangkan tentang suku kuno selama ini tak sesuai dengan kenyataan. Dia pikir semua penduduk suku kuno itu tertutup karena tinggal di sebuah pulau seberang dan tampak tua karena mereka berambut putih.

"Hahahapp" bocah di samping Ran keceplosan tertawa setelah mendengar cerita Ran yang begitu konyol buru-buru dia menutup mulutnya. Hampir semua anak yang pernah ia temui paham dengan cerita suku kuno, dan ini kali pertamanya dia mendapat pendapat tentang suku kuno yang paling konyol.

"Kau ini berasal dari mana sih?"

"Hm?" Ran ragu untuk menyebutkan tempat asalnya, namun ia teringat ucapan Fumi jika dia harus berbangga karena dia satu-satunya orang dari desa Barat. "Desa Barat," jawabnya pelan, jemari kakinya bergerak gelisah di dalam sepatu bututnya. Ran merasa was-was dengan reaksi bocah di sampingnya ketika mendengar desa Barat.

"Desa Barat?" Bocah itu sedikit berpikir sambil membayangkan peta kerajaan yang sering ia lihat di kamarnya. "Ah, desa dekat laut itu ya?"

Ran mengangguk ragu.

"Kalau begitu kau juga kenal gadis itu ya?" Bocah itu menunjuk ke arah jam satu dimana seorang gadis dengan pakaian bercorak mencolok sedang bergurau dengan lainnya.

Ran tahu gadis itu namun dia bilang tak mengenalnya karena mereka tak tinggal dalam satu wilayah. Tak banyak yang tahu jika desa Barat mempunyai wilayah yang cukup unik. Di desa Barat ada bukit yang sudah dijadikan pemukiman disana para orang kaya tinggal, lalu warga yang ekonominya rendah tinggal dibawah bawah bukit, dan yang paling rendah tinggal di tepi laut.

"Baguslah jika kau tak kenal dia. Ah, omong-omong namaku Tobito Makura," bocah itu menyodorkan tangannya pada Ran. Tak segera menjabat, Ran masih menatap wajah Tobito dengan ragu.

"Ran Maikuro."

"Ooh nama yang bagus. Salam kenal."

Rasa hangat menjalar di telapak tangan, Ran tak mengira berjabat tangan dengan orang asing terasa hangat. Bocah di depannya juga terlihat bersahabat, sejak awal percakapan tak ada perkataan merendahkan tentang orang-orang desa Barat, yang ada dia hanya terus memuji jika laut Barat sangat cantik terutama saat matahari terbenam. Ran mengakui itu, dia dan kawan-kawannya sering menyaksikan rutinitas alam itu.

"Itu berarti kau pernah ke desa Barat?"

"Hm tidak juga sih, seorang pelukis memberiku lukisan matahari tenggelam di desa Barat."

"Ah..." Ran tak tahu harus memberi reaksi bagaimana, ingin tertawa tapi takut melukai perasaan teman barunya.

Hampir 10 menit murid baru dibiarkan berdiri di halaman tengah. Seratus bocah mulai menggerutu karena ingin segera duduk atau melihat keseluruhan gedung akademi. Kedua kaki Ran sebenarnya juga terasa pegal namun ditahan pasti ada alasan tertentu hingga para murid harus berdiri setelah acara peresmian. Mata cantik Ran menelusuri setiap teman-teman barunya, kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Pakaian yang dikenakan mereka juga bagus, Ran membayangkan andai saja dia tak berganti pakaian mungkin dia akan dipandang rendah.

Ran kembali memperhatikan yang lain, jauh darinya seorang bocah bersurai putih berdiri tegap, tak ada yang mengajaknya berbicara. Beberapa dari mereka menatap bocah suku kuno itu sambil berbisik-bisik.

"Kau mau kemana?" Tanya Tobito sambil menarik lengan Ran yang tiba-tiba selangkah meninggalkan tempat. "Jangan terlalu dekat dengan suku kuno!"

"Kenapa?"

"Mereka sangat tertutup dengan orang yang bukan dari sukunya."

Ran kembali ke tempat, telinganya kembali mendegarkan cerita-cerita tentang ibu kota dari Tobito. Mulai dari tempat-tempat yang sering dikunjunginya hingga perayaan apa saja yang sering diadakan di ibu kota. Semua terdengar menyenangkan karena Ran tak pernah melihat perayaan di desanya. Hanya pesta panen yang hanya dipenuhi orang tua membaca mantra di tepi laut.

"Baiklah semuanya!" Suara lantang itu dari seorang murid laki-laki. "Sebentar lagi kalian akan berkeliling akademi ini. Perhatikan semua yang dijelaskan oleh senior kalian!"

Dari seratus murid dibagi menjadi sepuluh kelompok, masing-masing diberi satu senior untuk menjelaskan setiap sudut akademi. Ran bernapas lega karena bisa satu kelompok dengan Tobito.

"Nah perkenalkan namaku Kuri, aku akan menjelaskan satu-satu bangunan yang ada di akademi ini!"

Kuri seorang senior tingkat tiga, dia perempuan yang lincah suaranya juga lantang dan jelas saat menjelaskan. Dimulai dari gedung kelas untuk murid tingkat pertama lalu menuju ruang baca sekaligus perputakaan, di sampingnya ada ruang guru. Mereka berjalan hingga menuju anak tangga. Di lantai dua ada ruang kelas untuk murid tingkat dua dan tiga. Dan di lantai tiga untuk murid tingkat empat dan lima.

"Gedung yang terpisah itu adalah asrama," jelas Kuri sambil menunjuk bangungan tinggi tiga lantai. Mereka kembali berjalan menuju halaman belakang tempat berlatih pedang, pahanan dan ilmu bela diri. Lalu berakhir di aula tempat seluruh murid makan, dengan kata lain kantin akademi. Dari jendela aula mereka bisa melihat bukit batu dengan anak tangga disisi kanan dan kiri.

"Kalian lihat anak tangga itu? Jumlahnya ada 100 anak tangga. Setiap pagi akan ada pelajaran meditasi di atas sana. Ah, besok pagi kalian akan menjalani rutinitas pagi yang berat!" Kuri mengingatkan pada juniornya.

Setelah pengenalan singkat itu mereka diizinkan untuk masuk ke gedung asrama. Kamar sudah dibagi, masing-masing murid mendapatkan kertas dengan tulisan angka sebagai penunjuk kamar. Ran mendapatkan angka 10 dia mengikuti arahan yang ada di dinding.

Hal pertama yang dirasakan Ran saat melihat kamar asrmanya begitu takjub, tak begitu luas namun cukup rapi. Ada ranjang susun dari kayu. Ada 2 meja belajar dan 2 lemari setinggi 75 meter untuk tempat pakaian. Dan satu gadis sedang berdiri di depan jendela. Ran berpikir gadis itu sekamar dengannya, lagi-lagi dia ragu untuk melangkah masuk.

"Permisi," kata Ran pelan.

Gadis berambut panjang yang dikepang dua itu menoleh, menatap Ran lekat-lekat lalu tersenyum dan menyuruh Ran segera masuk.

"Perkenalkan namaku Yue Tobira, kau boleh memanggilku Yue."

Ran tersenyum sambil meraih tangan Yue, dengan ceria dia menyebutkan namanya. Setelah perkenalan suasana menjadi hening dan canggung. Yue mulai membongkar tasnya, meletakkan pakaiannya ke dalam lemari, menata buku-bukunya di atas meja belajar. Ran ingin melakukan hal yang sama namun dia malu untuk mengeluarkan barang bawaannya, alhasil dia hanya diam di atas kasur sambil menatap punggung Yue.

"Kau tak menata barang-barangmu?"

"Nanti saja, aku ingin istirahat sebentar."

"Kau melihat anak suku kuno tadi?"

Ini topik yang bagus, Ran tak banyak tahu tentang suku kuno dia ingin lebih mengenal suku yang katanya ikut membentuk negara ini. Yue mendorong bola matanya ke atas, mengingat-ingat tentang sejarah negara dan juga suku kuno.

"Hmm, padahal suku kuno punya akademi sendiri loh? Tapi kenapa tiba-tiba masuk akademi kerajaan ya?" Yue bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sejak tadi dia dan teman-teman barunya juga mempertanyakan hal yang serupa. Ran makin penasaran dengan bocah suku kuno.

The Lost LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang