Malam ini begitu dingin, anginnya cukup kencang. Nenek guru sejak tadi menunggu kedatangan murid kecilnya, hampir 2 jam wanita tua itu berdiri sambil menatap pagar rumahnya. Pagar kayu itu tak kunjung dibuka oleh seseorang yang ditunggunya. Perasaannya menjadi gelisah, dia kembali bertanya pada suaminya kenapa Ran belum tiba atau terjadi sesuatu pada gadis cilik itu?
"Sebaiknya kau siapkan obat jikalau besok dia datang!"
Itu saran yang masuk akal. Nenek guru sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak itu ketika esok datang ke rumahnya.
***
Untuk hari ini Ran tak akan bisa berlari ke dermaga untuk membantu paman Fuan, dadanya terasa nyeri, pipinya juga terlihat bengkak, bibirnya pun berdarah. Semalam ibunya tak memberi ampun sedikit pun. Dengan susah payah dia berjalan karena kakinya pun tak lepas dari pukulan ibunya.
"Ran? Apa yang terjadi?" Seorang laki-laki yang baru saja masuk rumah langsung kaget dengan tampilan adik kecilnya yang sangat kacau. "Ibu atau ayah?" laki-laki itu takut untuk menyentuh tubuh adiknya, takut jika sentuhannya akan menyakiti.
Gadis cilik itu hanya mengendikkan bahunya, mulutnya tak berani menjawab pertanyaan kakaknya karena ibunya sudah berdiri angkuh di ambang pintu dapur. Jika Ran menjawab bisa saja dia tak akan mendapatkan sarapan dan lebih parahnya makan siang ataupun makan malam juga tak akan dapat. Remi Kiyohara, nama kakak laki-lakinya, usianya lima tahun lebih tua. Dengan hati-hati Remi menuntun adiknya ke meja makan, mengambilkan sarapan untuknya dan dirinya sendiri. Setiap kali Ran bergerak Remi selalu menatapnya, sekedar khawatir jika saja adik perempuannya itu tak bisa mengunyah melihat keadaan ujung bibirnya yang sobek.
Setelah sarapan, Ran mengambil mangkuk kayu besar yang berisikan beberapa cacahan sayur yang mendekati busuk, kulit beras, dan entah apalagi Ran tak paham dia hanya diperintahkan untuk mengaduk lalu memberikan pada ayam-ayam.
"Sini kubantu!" Remi menarik mangkuk besar itu, melakukan hal sama seperti apa yang dilakukan oleh adiknya.
"Jika aku sudah mendapatkan pekerjaan tetap, ayo pergi dari desa ini!"
Ran menatap kakaknya, sebenarnya dia ingin menampakan wajah bingung tapi sialnya memar di wajahnya malah membuatnya terlihat suram. Remi mengusap pelan wajah kecil itu, tak sadar wajahnya meringis seakan tahu rasa sakit yang dirasakan oleh adiknya.
"Kita tinggalkan mereka disini."
Ran memalingkan wajahnya, melihat ayam-ayamnya makan dengan lahap, mematuk makanan dengan cepat seakan tak akan ada hari esok. Ucapan kakaknya membuat Ran berpikir sejenak, tak mungkin jika mereka meninggallkan rumah. Ayah dan ibunya begitu menyanyangi Remi bahkan Remi hampir tak pernah mendapatkan pukulan di wajah atau tubuh. Terkadang Ran berpikir mungkin ini takdirnya terlahir sebagai seorang perempuan, kebanyakan perempuan di desanya seperti itu. Mereka akan memiliki nilai lebih jika sudah memasuki masa dewasa, dijual atau istri simpanan dari orang kaya.
"Kemarin di rumah nenek aku sempat mendapatkan tawaran untuk bekerja di ibu kota."
Jantung kecil Ran berdetak kencang seketikan ketika mendengarkan ibu kota. Tak mau bohong jika dia juga ingin pergi kesana, mencari kehidupan yang layak di ibu kota terdengar lebih indah dan masuk akal, meski banyak yang bilang jika kehidupan disana tidaklah normal. Namun pikiran anak-anak cukup sederhana, kerja untuk mendapatkan uang dan uang membuat kenyang, uang membuat damai. Sebagaian anak-anak di desa Utara berpikiran begitu.
Setelah mendengarkan penjelasan kakakny, Ran pergi begitiu saja tanpa sepata kata. Dia menuju ember berisikan air bersih, membasuh wajahnya lalu pergi tanpa menoleh pada Remi yang meneriaki namanya berulang kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Legend
FantasyRan, gadis kecil yang tak punya nama keluarga. Bukan tak punya keluarga namun keluarganya hanya memberi nama singkat itu saja. Dia gadis malang yang selalu berlarian ke sana kemari untuk mengantar barang agar mendapat imbalan. Menginjak usia 14 kedu...