Sean memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan yang kosong. Tubuhnya hanya bisa terbaring di atas kasur. Sedangkan ponselnya terus mengulang musik yang sama dari sebuah video yang dikirimkan oleh Ayumi.
Setelah semua siksaan yang menhasilkan luka pada tubuhnya hanya karena sebuah kesalah pahaman, Sean sedikit terhibur dengan melihat tarian yang direkam Ayumi saat gadis itu berlatih bersama dengan anak-anak kecil yang imut. Ia sangat ingin bergabung. Namun, keadaannya sangat tidak memungkinkan. Salah paham kemarin saja, ia sudah seperti ini apalagi jika dia benar-benar nekat kembali menari di sana. Bisa-bisa kakinya benar-benar dipatahkan oleh Ayahnya.
Benar, kemarin semuanya salah paham. Sang ayah terlalu cepat emosi kala ia pulang ke rumah dan tidak mendapati putranya di sana. Ia langsung mencari Sean dan berspekulasi bahwa Sean kembali menentang perintahnya. Ketika ia bertemu dengan putranya emosi pecah dan berujung Sean menjadi samsak ayahnya sendiri. Tetapi ternyata yang terjadi adalah supir yang harusnya menjemput Sean mengalami kecelakaan dan berakhir Sean harus berjalan kaki untuk pulang.
Apakah pria tua itu meminta maaf setelahnya? Oh, tentu tidak. Ia terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan. Ia berdalih melakukan itu demi mendapatkan yang terbaik untuk Sean. Ia hanya memberikan ponsel yang ia sita pada sang putra tanpa mengatakan apapun. Bahkan yang menyerahkan adalah asistennya.
"YA AMPUN TUAN SEAN!"
Teriakan sang pembantu begitu nyaring di telinga Sean.
"Bibi, jangan berteriak! Kepalaku sakit," ujar Sean.
Sang pembantu begitu panik kala melihat rembesan darah pada perban di tangan Sean. Buru-buru ia mengambil kotak obat dan membersihkan luka itu lagi dan kembali membalutnya dengan kasa.
"Kenapa lukanya jadi terbuka lagi?" tanya sang pembantu.
Sean hanya terkekeh.
"Aku menari tadi," balas Sean dengan santai.
"Anda sedang terluka, Tuan. Tolong jangan banyak bergerak."
"Ini luka kecil, aku sudah terbiasa."
Wanita paruh baya itu memandang iba pada tuan mudanya. Ia tau sebesar apa mimpi pemuda itu dan sebesar apa tantangan yang dihadapinya.
Ini sangat sulit untuknya. Sungguh pemuda yang malang
***
Dua hari berlalu dan Sean merasa tubuhnya sudah membaik. Ia cukup bosan berada di rumah dan tidak melakukan apapun. Akhirnya ia putuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Beruntungnya ia karena sang ayah tidak mengatakan apapun saat dirinya pergi. Yah, walaupun ia tidak bisa pergi sendiri begitu saja.
Di sinilah ia sekarang. Berhadapan dengan seorang gadis yang tiga hari lalu baru ia ketahui bahwa ternyata sekelas. Di cafe terakhir sebelum akhirnya ia terkena hukuman dari sang ayah.
"Oh? Jadi Ayahmu lanjut memukulimu saat di rumah?"
Kening Sean berkerut merasa tidak suka dengan pertanyaan itu.
"Mau melaporkan pada perlindungan anak?"
Sean menggeleng, "tidak perlu," jawabnya.
Widya mendengus kesal. "Aku hanya ingin membantu."
"Aku tidak butuh," balas Sean sebelum kembali menyeruput es kopinya.
Widya terkekeh mendengarnya.
"Aku kira kau sempurna, Sean. Tampan, pandai dalam pelajaran, bahkan bisa menari dengan begitu indah. Aku sempat iri padamu," ujar Widya dengan menatap lurus ke bola mata coklat milik Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...