Beberapa waktu lalu rasanya Sean begitu bahagia. Dunia penuh akan Kilauan yang memanjakan mata. Tetapi kebahagiaan sekecil itu dibalas dengan rasa sakit yang tak terbayangkan.Ia merasa terus jatuh walau tidak melangkah. Seolah tak membiarkan Sean sedikitpun untuk bernafas. Ia benci semua ini. Ia benci hidupnya. Ia benci karena terlahirkan. Ia benci masih diberikan nafas padahal ia sudah tidak sanggup lagi merasakan udara sekitarnya yang semakin lama semakin menyesakkan dada.
Ia tidak bisa merasakan cinta seperti layaknya remaja, tidak bisa juga merasakan kesenangan dalam mengejar impian, bahkan ia tidak bisa merasakan kehangatan keluarganya. Keluarganya telah mati dan dikubur bersama dengan Ibunya.
Sean memandangi kedua kakinya yang sudah menghilang dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia masih tidak percaya dan menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir.
Telinganya berdengung. Ia sama sekali tidak bisa mendengar penjelasan sang dokter tadi di sebelahnya.
Bahunya ditepuk pelan. "Kembalilah berbaring."
Ia menoleh ke arah sang Ayah.
"Ayah.."
"Hm?"
"Tolong aku. Aku akan menari di atas panggung lagi. Mereka memintaku untuk tampil kembali. Aku harus pergi ke sana segera. Aku tidak ingin terlambat. Bawa aku ke sana, Ayah!" ujar Sean.
Ayah Sean merasa nafasnya sedikit tercekat. Sang putra terus menggoyangkan tangannya dan meminta untuk turun dari ranjang.
"Ayo ayah antar aku ke sana! Aku akan terlambat.." rengeknya.
"Sean!"
Sean tersentak atas bentakan yang ia terima. Matanya bergetar ketakutan. Namun tak lama itu semua berubah. Ia malah memandang sang ayah dengan penuh amarah.
"AKU MAU MENARI!! AKU MAU MENARI!!" Berulang kali ia meneriakkan kata-kata itu.
Ayah Sean hanya diam memandangi sang putra dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"AYAH! AKU MAU MENARI! AKU ADALAH PEBALET YANG HEBAT!! JANGAN HALANGI AKU AYAH! AKU LELAH AKU TIDAK SUKA AYAH AKU BENCI AYAHH!!!"
"TUTUP MULUTMU SEAN!!"
Pemuda itu benar-benar menutup mulutnya. Tatapi tidak dengan tangisnya. Air mata itu tak bisa lagi ia tahan. Ia menangis dengan begitu pilu. Mereka keluar begitu saja memperlihatkan bahwa dirinya kali ini benar-benar tengah berada di titik terendah. Ia benar-benar merasa sesak dan sakit.
"Berbaringlah kembali! Kau perlu beristirahat lebih banyak," ujar Ayahnya lagi namun dengan nada yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.
Tetapi Sean masih tidak mendengarkan. Ia masih diam di posisi duduknya seraya memandangi harta berharganya yang telah menghilang. Padahal ia menjaganya dengan sangat. Bahkan ia merelakan kepalanya yang terkena siksaan sang ayah dibandingkan kakinya. Kakinya adalah hal yang paling berharga baginya. Kali ini bagaimana ia bisa menari? Bagaimana ia bisa merasakan kebebasan lagi saat menari?
Sean begitu kalut. Kepalanya sangat berisik. Ia memukuli kepalanya sendiri berusaha menghilangkan suara-suara itu.
Sang Ayah menghela nafasnya. Ia berbalik mencoba memanggil sang dokter kembali karena kondisi putranya semakin memprihatinkan. Tetapi belum sempat ia melangkah, suara benda jatuh dengan keras terdengar membuatnya terpaksa berbalik.
Didapati sang putra terjatuh dari ranjangnya. Ia terkejut dan langsung berlari untuk menolong.
Ia meraih tubuh pemuda itu dan berusaha mengembalikannya ke atas ranjang. Namun, bahunya diremat dengan kuat oleh tangan yang bergetar.
"Ayah.." lirih Sean seraya menarik wajah sang Ayah untuk menatapnya.
Tetapi ia tidak bisa mendapatkan itu. Sang Ayah malah berpaling dan menghindari tatapannya. Sean seketika merasa terluka bahkan disaat seperti ini Ayahnya masih enggan melihat ke arahnya. Ia merasa sakit. Akankah setelah ini ia semakin tidak berguna bagi sang Ayah? Akankah ia menjadi semakin mengecewakan sang Ayah.
"Ayah! Aku di sini. Tolong lihat aku!" lirihnya.
"Ayah.. Sean sakit. Kaki Sean sakit. Tolong tiup luka Sean.. Sean ingin Ayah membacakan mantra untuk mengusir rasa sakitnya. Seperti saat kecil.."
Semua bayangan masa kecilnya saat ia terjatuh dari sepeda dan sang ayah dengan sigap langsung menolong dan mengobatinya terlintas. Sean ingin itu kembali. Sean rindu dengan ayahnya yang itu. Ayahnya yang sekarang seperti monster membuatnya begitu marah karena telah mencuri sang Ayah yang dulu. Sean benci.
Ia menarik kerah pria tua itu. "Kembalikan Ayah Sean!! Kembalikan!! Kamu monster!! Kembalikan Ayah Sean!!"
Pemuda itu terus memukuli dada Ayahnya dengan kesal. Dan pria itu membiarkannya. Ia pasrah dipukuli terus menerus.
Sampai beberapa perawat masuk dan membantu pria itu untuk membawa kembali Sean ke atas kasur rawatnya. Meskipun pemuda itu terus berontak mereka akhirnya berhasil menenangkan kembali. Meskipun terpaksa mereka menggunakan bantuan suntik penenang.
Dalam sesekali Sean bahkan masih sesekali terisak. Pria itu tau betul seberapa sakitnya sang putra saat ini. Ia berharap sang putra dapat membaik saat terbangun nanti.
"Maaf.."
***
Julian memandangi kursi kosong di depannya dengan sendu. Rasanya ia ingin kembali meneteskan air mata. Belakangan ini dia merasa sangat mudah menangis. Ia merasa kecewa pada keadaan yang begitu jahat pada sosok serapuh Sean. Membayangkan dirinya ada di posisi Sean sungguh tidak sanggup. Apalagi Sean yang mengalaminya sendiri.
"Waktu habis, silahkan kumpulkan kertas ujian di meja guru."
Julian memandangi kertas ujian yang entah apa isinya. Ia sungguh tidak bisa fokus sedikitpun. Hari ini adalah hari terakhir ujian akhir sekolahnya. Dan setelah ini ia hanya tinggal menunggu kelulusan saja. Ah, sebentar lagi ia bukan siswa sekolah lagi.
Awalnya ia merasa sangat bersemangat membayangkan dunia perkuliahan kelak. Ia sangat tidak sabar. Tetapi, sejak Sean masuk rumah sakit ia tidak ada minat sedikit pun. Seolah semua kesenangan yang ia bayangkan menguap begitu saja.
Apalagi fakta bahwa perguruan tingginya kelak telah disiapkan oleh mendiang Ibu Sean. Ia merasa semakin bersalah karena tidak bisa menjaga Pemuda itu. Ia merasa tidak pantas mendapatkan semua itu setelah semua yang terjadi.
"Julian.."
Pemuda itu menoleh ke arah gadis yang memanggilnya.
"Bagaimana kondisi Sean?" Tanya gadis itu dengan suara pelan.
Julian menghela nafasnya dengan berat. "Gue ga tahu."
Sebenarnya ia tau betul bagaimana kondisi Sean. Bahkan saat kemarin Sean mengamuk ia ada di sana menutup mulutnya dengan keras agar tidak ikut menangis dan meraung. Tetapi ia begitu malas membahas ini. Ia merasa sakit tiap kali teringat kondisi Sean saat ini.
Bahkan kondisinya nampak semakin memburuk. Setelah disuntikkan obat penenang, Sean masih belum bangun hingga saat ini. Dokter mengatakan pemuda itu seperti orang yang tidak berkeinginan untuk kembali bangun. Itu membuat Julian bertambah frustasi.
"Ah, begitu.." ujar gadis itu dengan sedih. "Apa hari ini kami bisa menjenguknya?"
Julian menggeleng tak setuju. "Jangan dulu. Nanti kalo udah pas waktunya gue kabarin"
Gadis itu menurut meskipun kecewa dengan jawaban itu.
Tiba-tiba ponsel Julian berdering. Ia melihat ponsel itu dan mendapati nama ayahnya di layar. Tanpa berpikir ia mengangkat panggilan telpon itu.
"Iya ayah?"
Mata Julian melotot kaget. Tanpa mendengarkan dengan selesai ucapan sang ayah ia langsung berlari dengan panik. Tak ada lagi di pikirannya selain tempat tujuannya saat ini.
"Please.. jangan lagi.."
***
To be continued
16 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...