"Aku menyukaimu, Sean."
Pernyataan tiba-tiba itu mengejutkan Sean. Tubuhnya bahkan mematung. Lidahnya kelu, bibirnya terus bergerak tanpa ada satupun suara keluar darinya. Ini adalah pertama kalinya ia menerima pernyataan cinta seperti ini sehingga ia bingung harus merespon seperti apa. Otaknya terus berputar mencari kata-kata yang tepat tetapi ia tidak bisa memikirkan apapun.
Gadis di sampingnya tertawa pelan. "Ga perlu dijawab. Aku Cuma mau ngungkapin. Aku ga berharap balasan."
Sean merutuki dirinya sendiri yang malah menjadi orang idiot disaat seperti ini.
"Sejak kapan?"
Gadis itu nampak berpikir. "Hm.. Sekitar hampir tiga tahun? Aku lupa pastinya kapan."
"Itu lama sekali, Widya," ujar Sean.
Widya kembali tertawa melihat ekspresi terkejut pemuda yang ia sukai itu.
"Iya nih, jadi aku mutusin buat ungkapin sekarang. Capek juga kalau terus dipendem."
"Maaf.."
Meskipun gadis itu tau resiko apa yang akan dia dapatkan dari pernyataan ini, rasanya ternyata masih sakit. Dari kata sesingkat itu menjelaskan bahwa dirinya ditolak. Bodoh sekali. Tentu saja ia ditolak. Mereka saja baru dekat dalam beberapa bulan ini. Apalagi orang yang disukai menyukai gadis lain yang jauh lebih cantik darinya.
"Ga apa-apa kok. Sudah aku bilang aku tidak mengharapkan balasan," ujarnya sambil tertunduk.
"Maaf.." ujar Sean lagi karena merasa tidak enak pada gadis yang telah menolongnya selama ini.
Widya berdecak lalu memukul lengan Sean. "Ga usah minta maaf terus! Aku bilang kan ga apa-apa!"
Meskipun ia berkata begitu, Sean dapat merasakan apa yang dirasakan gadis ini. Memendam perasaan cukup lama, tetapi tidak bisa memiliki itu menyakitkan. Sean merasa sangat bersalah.
"Habis ini pokoknya lupain apa yang aku katakan!"
Sean dapat mendengar suara Widya bergetar, bahkan ketika mereka bertatapan mata itu sudah berkaca-kaca.
"Udah ya, aku ke toilet dulu," ujar Widya sebelum ia berbalik untuk pergi.
Sean hanya diam, ia memandangi punggung itu terus menerus bahkan sampai gadis itu tidak ada lagi di hadapannya.
Setelah hari itu, Widya mencoba menenangkan dirinya. Ia mengabaikan setiap berita mengenai pelaku patah hatinya. Ia mulai sedikit menjauh. Ia bahkan tak menjawab pesan dari Ayumi yang mengajaknya bermain bersama. Semua hal tentang Sean ia coba untuk hindari.
Tetapi ia menyesal. Sangat amat menyesal.
Ia merasa terlalu berlebihan menghadapi patah hatinya. Ia mengatakan dia tidak mengharapkan balasan, tetapi kenapa ketika ia ditolak ia malah bertingkah seperti ini. Sehingga ia tidak tahu bahwa Sean telah tak sadarkan diri selama dua minggu ini. Ia tidak tahu bahwa ayah Sean kembali menggila dan menghajar putranya hingga mengalami cidera pada otak. Ia tidak tau bahwa pemuda itu sempat kritis dan hampir kehilangan nyawanya.
"Julian kenapa bisa sampai begini?" Widya berderai air mata memandang Sean dari luar ruangan. Hatinya jauh lebih sakit saat melihat pemuda itu tidak berdaya dengan banyak selang yang melekat di tubuh pemuda itu dibandingkan saat ditolak.
Julian tampak kacau. Matanya memiliki kantung yang begitu gelap, rambutnya tidak terisisir rapi sepeti biasanya. Ia nampak begitu lusuh.
Ayumi dan Lion juga berada di sana. Mereka hanya bisa menunduk sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...