Rintik hujan serta tangis mengiringi perjalanan pemuda hebat itu menuju ke peristirahatan terakhirnya."Ini mimpi kan, Bunda? Itu bukan Sean, Bunda.." lirih Julian.
Sang Bunda mengelus pelan pundak putranya mencoba untuk menenangkannya. "Ikhlaskan ya sayang.. Sean sudah tenang di sana."
Julian menggeleng ribut. Air matanya kembali turun. "Enggak! Itu bukan Sean. Sean ga mungkin pergi gitu aja tanpa pamit ke Julian, Bunda.."
Julian kembali di peluk dan untuk kesekian kalinya air matanya tumpah ruah dibahu sang ibunda.
Ayah Sean memandangi gundukan tanah di depannya seraya mengusap pelan batu nisan yang tertulis nama sang Putra. Tangannya begitu gemetar, ia tidak menyangka akan mengalami hal menyakitkan seperti ini lagi.
"Jagoan, Ayah.. Maaf sayang Ayah sudah membuat hidup Sean menderita. Maafkan Ayah yang gagal."
Pria itu menunduk dalam berusaha menahan air matanya.
"Seanku, Putraku.. kenapa kamu pergi begitu cepat? Baru kemarin kamu Ayah gedong, baru kemarin Ayah mengajarimu cara berjalan. Kenapa Sean cepat sekali berlari meninggalkan, Ayah? Ayah tau, Ayah sudah jahat sama Sean. Tolong jangan hukum Ayah seperti ini.. Ayah masih ingin bermain bersama Sean.."
Suasana duka semakin menyelimuti pemakaman itu. Tangis tak dapat lagi mereka bendung.
Lion, Widya, dan Ayumi berdiri di belakang Ayah Sean menangis semakin keras. Baru kemarin mereka tertawa bersama. Ini bahkan belum 24 jam. Kenapa secepat ini?
"Lion, itu tidak mungkin Sean bukan? Sean mau menjadi penari yang hebat. Ia tidak mungkin menyerah begitu saja. Katakan itu bukan Sean. Iya kan, Lion?"
Pemuda itu memandang kekasihnya dengan sendu dan menarik tubuh itu untuk didekapnya dengan erat. Tubuh perempuan itu bergetar hebat. Tangisnya semakin kuat dan pilu.
"Tidak apa-apa kamu menolakku. Tapi jangan seperti ini,Sean.." batin Widya menjerit. Ia tidak memiliki siapa-siapa. Ia tidak bisa memeluk siapa-siapa. Tidak ada pundak yang bisa ia jadikan sandaran.
Seiring berjalannya waktu, perlahan orang-orang mulai meninggalkan pemakaman itu. Rintik hujan yang awalnya sedikit lama kelamaan menjadi semakin deras.
Ayah Julian membawa dan membimbing Ayah Sean untuk kembali ke rumahnya. Semalaman penuh pria itu terus menangis. Udara sekitar juga semakin dingin. Ia tidak ingin membuat pria itu jadi sakit. Jika Sean melihat Ayahnya pasti pemuda itu akan marah.
Lion ikut mengajak Ayumi dan Widya pergi. Apalagi Ayumi sempat pingsan beberapa kali sebelum mereka ke pemakaman. Ia sangat menghawatirkan kondisi kekasihnya.
"Ayo, Sayang. Kita pulang.." ajak Lana pada putranya.
Julian menggeleng pelan. "Ibu duluan. Julian masih mau menemani Sean."
Lana tak memaksa lagi. Ia menyerahkan payungnya pada Julian dan membiarkan putranya tinggal lebih lama. Ia yakin Julian butuh waktu bersama Sean. Ia tau betul bagaimana sakitnya Julian karena kehilangan sahabatnya. Saat Sean berada di rumah sakit, putranya terus menemani Sean sepanjang hari. Ia hanya akan keluar ketika bersekolah, selebihnya ia habiskan waktu di rumah sakit untuk menemani sang sahabat agar tidak kesepian.
Mendengar kabar bahwa Sean tiada membuat Lana langsung berlari ke rumah sakit. Ia mendapati sang putra terus meraung di hadapan brankar tempat Sean berbaring dengan ditutupi oleh kain putih di sekujur tubuhnya.
Beberapa menit lalu sang putra datang ke rumah dengan semangat mengemas beberapa buah dan mainan untuk dimainkan bersama Sean. Ia menceritakan bagaimana keseruan mereka saat bermain besama di siang itu. Akan tetapi, semua itu hancur begitu Julian sampai di rumah sakit. Nintendo yang sangat ia tunjukkan ke pemuda itu, bahkan buah-buahan serta cemilan tergeletak di depan pintu begitu saja. Julian menangis dan memanggil-manggil sahabatnya untuk bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...