Sudah delapan belas jam lamanya dia terbaring tak sadarkan diri. Matanya tertutup dengan damai, nafasnya teratur berhembus. Sangat damai. Hanya sana ia terlihat tidak ingin membuka matanya dan itu menakutkan. Wanita itu takut jika pemuda di depannya ini terlalu menyukai mimpinya dan tidak ingin kembali.
Ia genggam tangan yang terbebas dari infus sejenak. Ia menatap sendu pada pemuda itu. Namun setelahnya dia pergi meninggalkan pemuda itu sendirian di sana.
Sean sangat menyukai mimpinya. Sangat indah. Terlalu sulit menciptakan hal seperti ini di dunianya.
"Bukankah ini bagus, Ibu?"
Wanita di hadapan Sean tersenyum. Sungguh ia merindukan senyuman itu.
Sean melihat ke arah kakinya lalu menghentak-hentakkannya sedikit. "Sepertinya Sean perlu menguatkan kaki lagi. Benarkan, Ibu?"
Lagi, sang ibu tersenyum padanya. Ia lalu menghampiri putranya dan mengelus surai hitam pemuda itu.
"Kamu hebat, Sean. Ibu bangga padamu."
Entah kenapa ucapan itu membuat perasaan Sean campur aduk. Dia begitu emosional dan tidak dapat mengehentikan air matanya mengalir.
Ibu Sean membawa sang putra pada dekapannya. Tangan wanita itu tidak berhenti mengelus sayang putra kecilnya. Hal itu sontak membuat Sean semakin tidak dapat mengendalikan dirinya. Air matanya semakin deras mengalir.
"Apapun yang Sean lakukan, Ibu akan selalu bangga," ujar sang Ibu.
Sean mengeratkan pelukannya. "Aku merindukan,Ibu.."
"Ibu juga merindukan putra Ibu.."
"Ibu, bisakah Sean tetap di sini saja bersama Ibu?"
Wanita itu melepaskan pelukannya lalu memandang dalam pada Sean dan tangannya menghapus air mata yang mengalir di pipi pemuda itu.
"Tidak bisa, Sayang. Kita akan bersama tapi ini belum waktunya. Sean harus pulang."
Sean menggeleng. "Pulang kemana, Ibu? Sean tidak punya tempat untuk pulang. Sean tidak punya rumah, Ibu.. Biarkan Sean berada di sini saja."
Sang ibu tersenyum lembut, tapi tatapannya berubah menjadi sendu.
"Maafkan Ibu, Sayang."
Setelahnya Sean tersentak dan terbangun. Hal yang pertama kali muncul di indera pengelihatannya langit-langit berwarna putih. Tiba-tiba aroma obat tercium kuat di hidungnya.
Sean berusaha untuk bangkit dari pembaringannya. Namun, rasa sakit kembali menyerang kepalanya membuat ia meringis dan tak sanggup untuk sekedar duduk.
"Sudah bangun?"
Atensi Sean tertarik ke sumber suara. Ada Ayahnya di sana. Duduk dengan tegap dan menatapnya dengan serius.
"Ayah.."
Sang ayah menghela nafasnya. Ia bangkit dan berdiri di samping tempat tidur putranya.
"Stress? Apa yang membuatmu stress sampai tak sadarkan diri selama 20 jam?"
Sean meneguk ludahnya dengan gugup. Apalagi nada bicara Ayahnya tidak enak untuk di dengar.
Ayah Sean berdecak. "Dasar lemah."
Setelahnya pria paruh baya itu pergi meninggalkan ruangan itu. Sean hanya bisa terdiam. Namun tangannya meremat selimut dengan kuat. menyalurkan rasa kesal dan sakit yang bercampur.
"Pecundang," rutuk Sean pada dirinya sendiri.
***
Widya menatap punggung Sean dengan sendu. Ia tidak mengerti lagi dengan pemuda satu ini. Entah apa yang baru saja terjadi padanya. Sean kembali menjadi manusia individualis yang tidak mau seorang pun ada di dekatnya.
Seminggu berlalu sejak Sean dikabarkan sakit. Ia masih ingat betul tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi mengapa Sean menghindarinya. Bukan hanya dirinya saja, Yumi dan Lion juga.
Kondisi Sean dan teman sebangkunya—Julian— sepertinya tidak baik juga. Julian selalu menyerukan umpatan pada Sean, bahkan saat pemuda itu kembali ke sekolah setelah sakit mereka berdua terlibat perkelahian yang mengakibatkan lebam keunguan menghiasi wajah tampan mereka.
"Sean.." Yumi mencicit memanggil pemuda itu.
Sean menghelakan nafasnya lalu memandang malas pada gadis itu.
"Ambil nomor peserta bareng yuk, Se.."
"Pergi aja sama Lion," balas Sean dengan nada yang kurang enak didengar.
Pemuda lain yang ada di dekat Yumi mulai merasa kesal atas sikap seenaknya Sean yang muncul beberapa hari ini. Sebenarnya apa yang terjadi padanya. Ia sudah cukup kesal akan sikap pria itu, bahkan ia hampir melayangkan tinjuan saat kemarin Sean mendorong Yumi hingga terjatuh hanya karena gadis itu menggandeng tangannya.
"Lo kenapa sih, Sean?"
Sean bangkit dari duduknya seraya menggendong tasnya.
"Bisa minggir? Kamu ngehalangin jalan!"
Saat Lion akan memulai argumentasi, Yumi menghentikan pemuda itu. Sedangkan Sean berlalu begitu saja.
***
"Gimana harimu, Sean?"
Sean hanya diam memandangi jalanan di luar sana.
Pria paruh baya hanya bisa tersenyum dan memandangi Sean dari cermin yang ada di atas dasboard mobil itu.
"Lukamu sudah sembuh bukan?"
Lagi, tidak ada jawaban dari pemuda itu.
"Maafkan aku tidak bisa mengajari Julian dengan baik. Tenang saja, Paman sudah menghukumnya dengan hukuman yang setimpal. Di masa depan Paman jamin Julian akan bersikap jauh lebih baik."
"Oh, jadi di masa depan dia akan selalu menjadi babuku?"
Sang pria paruh baya terkejut mendengar hal itu. Dahinya berkerut tanda tidak suka atas ucapan Sean terhadap sang putra.
"Julian tidak pernah menjadi babu, Sean. Dia adalah temanmu," ujar pria itu berusaha bersikap biasa saja. Bagaimanapun juga pemuda itu adalah putra bosnya.
"Teman, ya?
Aku kira dia adalah pria bayaran yang disewa ayahku untuk bisa menemaniku.""Tolong jaga ucapan mu, Sean. Meskipun kamu adalah putra bosku tapi aku tidak akan diam saja jika kau menghina putraku."
Sean berdecih. Ia kembali membuang pandangannya ke jalanan sore itu.
Sedangkan pria yang merupakan ayah dari Julian terlihat masih menahan amarahnya. Rahangnya mengeras Karena kesal.
Sungguh ayah yang baik. Hahaha
***
To be continued
5 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...