Angin begitu dingin menusuk kulitnya. Langitpun hanya bulan yang bersinar sendirian. Sekelilingnya ada awan hitam yang tak lama lain akan mengambil tempatnya dan membuat langit semakin gelap. Bintang-bintang telah menghilang karena awan itu, dan sepertinya sang awan masih menginginkan tempat si rembulan.
Dalam kesunyian malam itu, Sean tak sanggup lagi menahan dirinya. Air mata yang telah ia sembunyikan lama ini akhirnya tumpah juga. Ia berusaha tenang dan menarik nafasnya perlahan. Kali ini ia benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya. Mungkin karena bulan itu dia menjadi emosional seolah yang baru ia saksikan adalah film tersedih di dunia.
Tapi biarlah. Ia merasa perlu sejenak mengeluarkan kepedihannya sebelum ia dapat kembali berjalan lagi. kembali menghadapi dunia ini.
"Kenapa kau di sini?"
Sean menoleh ke sumber suara. Ia berusaha tenang tetapi ia masih tak sanggup menahan isakannya.
"Apa yang kau tangisi di tengah malam begini?"
Tatapan itu, Sean benci. Caranya bertanya, caranya berbicara, caranya memanggil dirinya semua Sean benci. Ingin sekali Sean memberontak. Ia berkata pada dirinya melalui cermin untuk melepaskan semuanya, ia selalu meyakinkan diri untuk bisa keluar dari sini tetapi bertatapan dengan sang Ayah nyalinya langsung hilang entah kenapa.
"Apa yang kau tangisi?!" kali ini nada suaranya meninggi.
"Maaf," hanya kata itu yang dapat Sean ucapkan.
Ayah Sean mengehela nafasnya dan memijat keningnya karena merasa pusing menghadapi dirinya.
"Pergi masuk ke dalam!"
Tanpa banyak bicara lagi Sean berdiri dan menurut. Tetapi, tiba-tiba sang Ayah mencengkal tangannya.
"Apa yang terjadi pada kakimu?"
Sean memandangi kakinya yang tampaknya terluka. Kenapa Sean bisa tidak sadar akan hal itu?
Buru-buru Ayahnya memanggil sang pembantu untuk mengobati luka sang putra.
Sean langsung diobati saat itu juga.
Ia nampak seperti orang linglung. Terlalu banyak suara dikepalanya. Ia jadi bingung harus mendengarkan yang mana.
"Tuan..."
Sang pembantu mengguncang pelan lengan sang tuan tapi tak diindahi sama sekali. Tuannya hanya diam memandang kosong ke arah depan.
Lagi-lagi ayahnya Sean memijat keningnya. Sepertinya tekanan darahnya naik drastis kali ini. Belum selesai dengan masalah kantor, ia harus menghadapi putra satu-satunya. Perkelahian Julian dan Sean beberapa hari lalu mengejutkannya, ia mengancam ayah Julian untuk lebih memperhatikan sikap putranya tetapi sepertinya tidak berefek. Julian malah menyebarkan rumor yang merupakan fakta atas Sean. Di sekolahnya, sang putra sekarang dicap tidak baik karena telah membayar sang guru agar meningkatkan nilai bahkan mengancam Julian agar mau mengalah atas Sean hanya untuk reputasinya. Apalagi ia mendengar bahwa Sean kembali menari dan bahkan membohonginya dibantu oleh Lion. Ia ingin murka, tetapi entah kenapa sikap sang putra menjadi jauh lebih diam sehingga membuatnya mengurungkan niat untuk memberikan pelajaran pada putranya.
Kenapa sikap keras kepalanya malah menurun pada Sean?
Pembantu yang tengah mengobati luka kaki Sean hanya bisa memandang prihatin. Ia telah mengasuh Sean sejak kecil dan tau apa saja yang dihadapi oleh tuan mudanya ini. Ia juga sangat mengetahui sebesar apa kecintaan pemuda ini terhadap tarian, seambisius apa ia menggapai apa yang ia inginkan. Tetapi Sean sangat tidak suka diatur.
Itu tidak berubah hingga saat ini.
Di tengah keheningan, tiba-tiba Sean bersuara.
"Ayah, aku tidak akan berhenti menari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...