Kebebasan itu apakah sangat sulit untuk digapai? Bahkan matahari bebas dan tidak perlu ijin untuk terus bersinar setiap hari. Ketika waktunya ia akan bergantian dengan bulan. Mereka bergerak dengan sesuka hati. Tidak perduli jika manusia terus mengumpatinya karena ia bersinar terlalu terang. Mereka masih bebas dan umpatan itu tidak memengaruhinya.
Sean dan matahari sama kan? Mereka diciptakan dengan anugrah yang berbeda. Tapi kenapa Sean masih memerlukan persetujuan untuk melangkah? Kenapa ia tidak bisa bergerak bebas sesukanya?
Beberapa detik setelah matanya terbuka, Sean termenung memandangi jendela luar. Ia melihat matahari bersinar begitu terang bahkan cahayanya cukup menyilaukan. Burung berterbangan di luar sana dan bernyanyi dengan ceria. Mereka terbang ke sana kemari bersama dengan burung lain.
Sean bertanya-tanya, bisakah ia sebebas itu?
Kejadian kemarin cukup mengguncangnya. Ia tidak menyangka akan sejauh ini ketidaksukaan Ayahnya terhadap balet. Apa sebenarnya yang salah di sini? Apa karena ia laki-laki? Tidak masuk akal. Ia dikatai banci dan lemah hanya karena menari. Ia tidak bertindak gemulai. Ia tidak menggoda laki-laki. Ia jatuh cinta seperti remaja lain ke pada seorang gadis. Lalu apa yang membuat ayahnya malu?
Di dunia ini ia merasa sendirian. Ini membuatnya takut.
Sean tidak tau sudah berapa lama ia berbaring di sana. Ia juga tidak tahu bagaimana ia bisa sampai di sini dan diperban di beberapa tempat. Ia hanya merasa sakit yang luar biasa ketika tersadar. Katanya dia baru saja menjalani operasi. Katanya ada masalah di kepalanya.
"Gimana keadaan lo?"
Sean menoleh pada pemuda yang menemaninya semalaman ini.
Julian menunjukkan raut kawatir. "Kepala lo masih sakit? mau gue panggilin dokter?"
Sean menggeleng. Ia tidak butuh dokter. Setidaknya untuk saat ini. ia juga tidak ingin semakin merepotkan pemuda ini. Melihat matanya begitu lelah, Sean yakin semalaman pemuda itu tidak tidur sedetikpun.
Sebenarnya ia bingung. Kenapa Pemuda ini melakukan ini? Bukannya dirinya adalah orang yang paling Julian benci? Lalu kenapa? Apakah ia hanya merasa kasian?
Ah, benar. Sean juga pasti akan merasa kasian pada orang yang hampir mati ditangan keluarga satu-satunya. Sean tidak ingin berharap lebih.
"Julian.."
Pemilik nama yang tengah memainkan ponselnya langsung menoleh ke arah Sean.
"Butuh sesuatu? Mau minum?" tanyanya langsung dengan sigap.
"Aku pengen mati.."
Kening Julian mengerut tidak suka. "Jangan asal ngomong, bego!"
"Aku pengen mati, tapi aku takut sama rasa sakitnya," ujar Sean lagi.
Air matanya mengalir dari sudut matanya. "Tapi, dunia ini juga jauh lebih menyakitkan. Jadi aku harus gimana, Julian? Kemana aku harus lari?"
Hati Julian berdenyut nyeri. Bayangan dirinya yang selalu berbuat jahat pada Sean melintas dan membuatnya merasa menyesal. Seharusnya ia merangkul anak itu. Seharusnya ini seharusnya itu. Julian menyesali setiap hal yang tidak ia lakukan pada Sean.
"Jangan lari! Kalo capek istirahat dulu. Lo harus hadepin. Lo ga bisa kabur, Sean."
Julian sesak mendengar isak tangis Sean.
"Istirahat di mana? Kemanapun aku pergi aku ga bisa istirahat dengan tenang. Aku ngerasa ga punya rumah..."
Julian menggengam erat tangan Sean. "Gue di sini. Lion, Yumi dan Widya nungguin lo setiap hari. Lo harus kuat Sean. Mereka ga pengen lo nyerah. Gue juga ga pengen lo nyerah. Lo bisa, Sean.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...