Sean sudah menduga hal ini akan terjadi padanya. Kursi roda yang tengah ia duduki di dorong memasuki rumah itu. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Hanya pasrah dan membiarkan orang-orang itu mengopernya kembali ke pemiliknya.
Benar juga, Sean rasanya terus dioper ke sana kemari. Tidak ada tempat yang benar-benar bisa menerimanya. Tidak ada yang tahan dengan kutukan kesialan yang ia bawa.
Pandangan Sean begitu kosong. Bahkan saat dirinya kembali dihadapkan ke pada sang Ayah, ia masih tak berkutik.
"Pak, saya mengantar Sean kembali."
Pria yang semula tengah membaca koran itu sontak berdiri. Ia berjalan ke arah putranya lalu berjongkok berusaha menyamai tinggi putranya itu.
Putranya nampak begitu menyedihkan. Kulitnya yang putih semakin terlihat memucat, rambutnya yang masih terlilit perban begitu lepek, dan tatapannya begitu kosong seolah tidak ada lagi jiwa yang menepati tubuh itu.
"Kalian boleh pergi," ujar Ayah Sean kepada Bunda dan Ayahnya Julian.
Ayah Julian membisikkan kata maaf dan menepuk pelan bahu Sean dengan harapan sedikit dapat menguatkan anak itu sebelum ia pergi meninggalkannya. Sesungghunya ia begitu berat meninggalkan Sean. Bahkan dirinya dan Julian telah berjanji untuk menjaga terus Sean. Tapi apa yang mereka lakukan? Mereka malah mengirim kembali pemuda itu ke dalam nerakanya.
Sean masih diam. Hatinya begitu pedih. Ia rindu akan sosok Ayahnya tetapi kenangan terakhir begitu membekas dan melukai hatinya sangat dalam. Ia merasa sakit. Berapa kalipun ia mencoba melupakan, kepalanya langsung sakit.
Ayah pemuda itu menghela nafasnya kala melihat sang putra hanya diam saja. Ia bangkit dan bersedekap.
"Bi! Bawa dia kembali ke kamarnya!" titahnya pada sang pembantu.
Sean merasa miris. Entah kenapa ia masih berharap sang ayah memberikannya sedikit empati. Hanya dengan menanyai kabar saja Sean merasa cukup. Tapi sepertinya itu terlalu mustahil. Pria itu bahkan sepertinya masih bisa hidup dengan normal dengan wajah tak merasa bersalah. Padahal Sean ingin sekali memeluk pria itu. Ia rindu dengan Ayahnya yang muncul dalam mimpinya.
Pemuda itu di bawa ke dalam kamar dan ditinggalkan begitu saja terbaring di atas kasur.
Ia sendiri lagi.
Sean rasanya ingin berteriak.
"AYAH LIHATLAH AKU DI SINI! AKU ADA DI DEPANMU! AKU HAMPIR MATI KEMARIN AYAH! TIDAKKAH AYAH INGIN MEMELUKKU? TIDAKKAH AYAH KAWATIR AKAN KEADAANKU?"
Tetapi, mau bagaimanapun ia mengemis kasih sayang rasanya membuat sang Ayah memperhatikan dirinya itu terlalu sulit.
Dengan luka pilu, Sean memandangi tangannya yang tergores melintang. Goresan luka yang akan tetap ada meskipun menjadi samar.
Ia membayangkan. Apakah Ayahnya tau ia hampir melarikan diri menuju kehancuran? Mencoba meninggalkan hari-harinya yang terasa begitu pilu. Akankah Ayahnya bereaksi seperti Julian yang panik begitu melihat tangannya berlumuran darah? Akankah Ayahnya akan menangis seperti Julian melihat ia hampir mati.
Semua pertanyaan itu terus berputar di otaknya hingga ia bawa masuk ke dalam mimpi.
'Aku hanya ingin menari dan menggapai mimpiku. Kenapa aku tidak berhak menggapai mimpi itu?'
***
Satu bulan berlalu, Sean kembali ke sekolahnya. Teman-temannya menyambut dirinya kali ini. Tidak ada satupun pembicaraan buruk mengenainya. Tidak ada lagi tatapan sinis dan wajah tidak suka dari mereka untuk Sean. Mereka malah beralih memujanya. Ia terus mendapatkan ucapan selamat atas perolehan yang dia gapai saat kompetisi itu. Bahkan mereka menunjukkan video penampilannya yang viral dan telah ditonton dan disukai oleh ribuan orang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Fiksyen RemajaMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...