Sean terdiam memandangi langit-langit. Pikirannya melayang akan apa saja yang terjadi padanya. Ia menari dengan bebas dan bahagia, tetapi setelahnya ia kembali menerima kesakitan. Terus saja seperti itu. Bahkan rasanya Sean mulai terbiasa dengan ini semua.
Menari bagaikan candu baginya. Ia akan merasa begitu tertekan tanpanya. Tetapi, jika ia melakukan itu ia akan mendapatkan kerugian besar bagi tubuh dan batinya. Seperti narkoba saja.
Ia bertanya-tanya, akankah hal ini terus akan terulang di masa depan?
Ngomong-ngomong masa depan, Sean jadi penasaran akan jadi apa dia di masa depan? Akankah dirinya menyerah dan kalah dari sang ayah? Ataukah ia akan memenangkan ini sehingga bisa menari bebas sampai kapanpun?
"Kamu dilahirkan hanya untuk memenuhi ekspetasi Ayah."
Sean terkekeh miris, benarkah ia dilahirkan hanya untuk itu? Apakah ibunya juga memiliki tujuan yang sama ketika melahirkan dirinya? Ia dilahirkan hanya untuk ikon kebanggan atas berhasilnya seorang ayah dalam mendidik anaknya. Menjadi ikon atas prestasi yang anak lain harus capai. Begitukah?
Sean berharap bisa terlahir menjadi anak yang sangat pintar dan tidak suka menari sehingga ia dapat menjalani hidup dengan lancar. Tetapi apa boleh buat, otaknya tak bisa menggapai itu. Sialnya dia malah terlihat lebih baik dalam menari. Tarian yang dipandang oleh masyarakatnya sebagai tarian untuk anak perempuan. seharusnya baik laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan dan kesempatan untuk mengekslorasi bentuk kekuatan dan kelembutan dalam sebuah bentuk seni. Tapi apa boleh buat. Sulit sekali merubah pemikiran orang.
Pintu ruangan itu terbuka yang membuat atensi Sean menjadi tertarik padanya.
"Julian, arkh—" Sean cukup terkejut mendapati temannya datang dengan wajah penuh dengan memar, sampai ia tak sadar ada benda di depannya yang membuatnya langsung tersandung dan jatuh di hadapan Julian.
Julian terkekeh. "Pelan-pelan!" peringatnya.
"Apa yang terjadi pada wajahmu?"tanya Sean dengan begitu kawatir.
"Digebukin," balasnya singkat.
Sean semakin terkejut. Ia tak berhenti di sana. Ia terus menanyai pemuda itu. Tetapi diabaikan oleh pemuda itu. Ia bahkan mengatai Sean cerewet.
Sean mengobati luka pada tubuh Julian dengan paksa. Sebab pemuda itu begitu risih pada Sean. Ia pikir luka ini kecil dan akan sembuh dengan sendirinya.
Seusai mengobati Julian mereka berdua termenung. Sudah dua hari Sean berada di rumah milik Julian dan ia tau persis sang Ayah di luar sana tengah mencarinya untuk melayangkan hukuman padanya.
Sean kadang bertanya-tanya. Sampai kapan ia terus begini. Apakah ia bisa berlari terus dari sang Ayah?
"Julian, bolehkah aku bertanya?"
Sean memecah keheningan yang ada.
"Tanya aja."
"Apa aku berbakat dalam balet?"tanyanya.
Julian memandangi Sean seraya bersedekap. "Ga tau."
Sean berdecak kesal. Pemuda di depannya ini sungguh tidak bisa diajak untuk berbicara serius. Menyebalkan.
"Cepatlah pergi, aku muak melihatmu."
Julian bersiul. "udah berani lo sama gue?"
Pemuda itu kemudian meregangkan tubuhnya. Hal selanjutnya membuat Sean semakin kesal. Julian malah menarik selimut dan merebahkan tubuhnya di sofa.
"Itu milikku!"
Julian tak acuh.
"Selamat malam!" ujarnya seraya memutar tubuhnya membelakangi Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold [END]
Teen FictionMarigolds represent strength and power but also symbolize grief and sadness. Sean ingin terus menari. Tapi apakah bisa? Tarian bukanlah yang Ayahnya mau dari dirinya. Tarian bukanlah hal yang membanggakan untuk Ayahnya. "Ingatlah Sean, kamu dilahir...