EPILOG

9 3 0
                                    

Bulan bersinar begitu terang ditemani bintang yang bertaburan menghiasi langit. Hari yang sempurna. Laut juga merasa begitu sempurna malam ini. Teater megah itu begitu riuh akan tepuk tangan penonton. Ia berdiri dengan begitu percaya diri dengan nafas terengah-engah namun dengan senyuman yang menunjukkan kepuasan serta kebahagiaan yang mendalam.

Laut, seorang remaja dengan bakat yang luar biasa bahkan dapat tampil di teater terbesar di negaranya, memandangi penonton dengan binar di matanya. Sudah sejauh ini, ia begitu bangga pada dirinya. Ia kembali teringat akan perjuangannya yang telah ia lalui. Beruntungnya ia memiliki orang tua yang mendukungnya 100% sehingga segala penolakan dan keraguan yang hampir membuatnya menyerah dapat terlewati dengan mudah.

Matanya beralih menatap pria berusia 40 tahunan itu. Suksesnya tidak hanya diukur dari standing ovation yang ia terima malam itu, tetapi dari setiap momen perjuangan yang membentuknya menjadi sosok yang kuat dan penuh semangat dan semua berkat sang Ayah. Laut tahu, balet bukan hanya tentang keindahan gerakan, tetapi juga tentang ketekunan, disiplin, dan cinta yang mendalam pada seni.

Tirai perlahan turun, membuatnya tak dapat lagi melihat penonton. Ia bernafas dengan begitu lega. Para penari di belakangnya memeluk serta memberikan selamat kepadanya atas kesuksesan besar yang diraih pemuda dua puluh tahun itu.

Laut turun dari panggung, berlari mencari keberadaan sang Ayah.

"AYAH!!"

Pria itu berbalik dan langsung ditabrak dengan pelukan dari putranya.

"Finally, I did it, Yah!" ujarnya dengan haru. Ia bahkan meneteskan air mata bahagianya.

Ayah Laut memeluk sang putra dengan kebahagiaan yang besar. "Ayah bangga padamu!"

Pelukan semakin erat. Anak manja itu tak mau melepaskan Ayahnya begitu saja. Apalagi ia tengah menangis, bisa-bisa ia diejek.

Tetapi, seketika ia teringat akan satu hal. Ia melepaskan pelukan itu dan memandang sang Ayah dengan dalam.

"Ayah tidak lupa dengan janji Ayah, kan?" tanya Laut dengan penuh selidik.

Sang Ayah menggodanya dengan berpura-pura berpikir. "Hm? Janji?"

Laut mendecak kesal. "Sungguh Ayah lupa?! Ayah bilang mau mepertemukan aku dengan anak di video itu. Aku ingin menemuinya dan menari bersamanya. Ayah sudah janji jika aku sukses dalam pertunjukkan hari ini, Ayah akan membawaku padanya."

Ayahnya tersenyum lembut. "Baiklah. Ayo kemasi barangmu terlebih dahulu dan pamit pada teman-temanmu. Kita akan langsung berangkat ke sana!"

Mata Laut berbinar. Ia melompat-lompat kecil dan langsung mengerjakan perintah dengan cepat.

"Aku tidak sabar bertemu dengan Angsa Putih itu.."

***

Dengan sepatu balet di tangan dan perasaan yang mulai tidak nyaman, Laut berjalan di sebelah Ayahnya memasuki area pemakaman. Tangan kokohnya menuntun sang Putra menyusuri jalan setapak yang dipenuhi oleh daun yang kering.

"Laut, perkenalkan dia Angsa Putih itu."

Hati Laut seketika mencelos. Ia tidak menyangka orang yang selama ini ingin ia temui telah tiada. Ia memandangi sang ayah dengan penuh tanda tanya meminta penjelasan. Mata Ayahnya nampak berkaca-kaca.

"Hallo, Sean. Kenalin anak gue, Laut namanya," Ayah Laut memandangi sang putra dengan senyuman. "Dia pengen banget ketemu sama lo. Dia ngeliat video penampilan lo waktu itu. Dia sekarang jadi pebalet yang hebat. Baru aja dia selesai tampil di studion yang besar."

"Ayah.."

Julian, Ayah Laut, menoleh ke pada sang putra dan menatap mata putranya dengan dalam.

"Dia mirip sama Lo, Sean. Sialan, emang ya gue ga bisa ya lepas dari Lo? Anak gue pun malah miripnya sama Lo. Hobinya juga sama kayak lo," Julian terkekeh pelan.

"Tapi gue pastiin, nasibnya ga sama kayak lo. Gue akan dukung dia sepenuh hati. Lo jangan kawatir, gue ga akan menjadi bokap lo yang kedua."

Laut meletakkan sepatu baletnya dekat dengan nisan yang bertuliskan nama Sean. Entah kenapa perasaannya berkecamuk. Ia rasanya merasa kesedihan yang begitu dalam hanya dengan melihat makam itu. Ia merasa sangat emosional bahkan tanpa sadar air matanya turun.

"Dia yang selama ini mau kamu temui itu, Laut. Sean namanya. Dia begitu berbakat dalam menari bahkan Ayah rasa jika ia masih berada di sini, ia akan menjadi jauh lebih hebat dari pebalet manapun. Mimpinya begitu besar. Tetapi sayang, dunia terlalu jahat untuknya."

"Hallo, Om Sean?" Laut menoleh ke Julian seolah memastikan kebenaran akan sapaan yang ia lontarkan.

"Aku Laut, anak Ayah Julian. Aku sangat suka menari sejak melihat penampilanmu. Anda sungguh luar biasa indah. Keindahan tarian itu yang membuat Laut akhirnya memutuskan untuk terus menari agar bisa menari seperti Om Sean," ungkap Laut. "Terimakasih banyak sudah menginspirasiku, aku tidak akan menyerah dan terus mengejar mimpiku."

Julian menepuk pundak putranya dengan bangga.

"Keren banget kan anak gue, Se?"

Julian kemudian meletakkan buket bunga orange yang ia bawa di atas makam itu. Ia memberikan senyuman terakhir pada Sean sebelum membawa Laut pergi dari sana.

"Gue janji akan selalu dukung Laut. Laut akan meneruskan mimpi Lo, Sean. Dia akan menjadi ballerina yang hebat di masa depan. Gue jamin itu," batin Julian.

"Ayo, Laut."

Laut yang masih merasakan perasaan campur aduk akhirnya berlutut sejenak dan mengusap nisan itu.

"Aku tidak tau perasaan apa ini, tapi jika benar. Sean, kamu sudah melakukannya. Kamu benar-benar melakukannya dengan baik di kehidupan kali ini. Kamu berhasil meraihnya," batin Laut.

Dengan langkah ringan namun penuh keyakinan, Laut dan Julian meninggalkan tempat itu. Laut siap untuk menghadapi babak baru dalam hidupnya. Dunia balet telah memberinya banyak pelajaran, dan kini ia siap. Sebuah perjalanan ia sebagai Sean telah berakhir, hanya ada Laut dan petualangan baru telah menantinya di depan.

End

20 Juli 2024

Marigold selesai di sini. Terimakasih sudah membaca sampai sejauh ini. Aku berharap kalian enjoy dengan cerita ini. Kritik dan saran dengan sangat terbuka aku terima.

-Love, Vika.

Marigold [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang