Bab 5

1.2K 81 8
                                    

POV Adya

Sudah seminggu sejak aku menjauhkan diri dari Randy. Rasanya ada ruang yang kembali kosong dalam hatiku. Bagaimana tidak, Randy yang biasanya setiap pagi mengirim pesan sekedar mengingatkan sarapan kini sudah tak ada lagi. Punya ponsel pun tak ada gunanya. Sisi baiknya, aku dan Aldo menjadi semakin dekat. Merasakan bangun di dalam pelukan laki-laki yang dulu pernah memberiku kehangatan, nyatanya membuatku juga terlena.

Setiap pagi, kini dapat kuhirup aroma parfum dari laki-laki yang ku panggil suami. Duduk bersama di meja makan. Mengurus putri kecil kami bersama. Dan hal-hal kecil lain yang sudah 4 tahun tidak kami lakukan bersama. Jangan tanya apa aku sudah sepenuhnya menerima Aldo, karena jawabannya belum. Masih ada hal yang mengganggu pikiranku yang berusaha aku tepis. Karena nyatanya aku belum menemukan celah dari perubahan sikap suamiku. Jika saja ada perkara besar yang ia tutupi, maka berakhirlah sudah pernikahan ini.

Hari ini tanpa sengaja Aldo meninggalkan ponselnya. Entah lupa, atau karena terlalu bahagia karena bisa mengantarkan putri kecilnya ke sekolah. Aku tak berniat sedikitpun menyentuh ponselnya, karena takut akan mengubah sudut pandang ku padanya. Sungguh aku pun terhanyut dalam perubahan sikap Aldo, hingga tak menyiapkan ruang untuk terluka lagi.

Beberapa notifikasi masuk pada ponsel Aldo. Sebanyak itu juga aku hiraukan. Hingga ponsel itu terus berdering beberapa kali. Aku hanya melihatnya sekilas, panggilan dari nomor tak kenal. Mungkin saja orang kantor, pikirku. Pandanganku terpaku pada pesan terakhir yang masuk pada ponsel Aldo.

Aesha sakit. Kamu bisa datang?

Bukannya baru saja Aldo mengantar Aisha. Lalu kenapa ada yang mengabari anak kami sakit? Ku dekatkan lagi pandanganku pada layar ponsel Aldo. Tidak, itu bukan Aisha tapi Aesha. Siapa Aesha? Apa hubungannya dengan suamiku. Mungkinkah, ah tidak tidak segera kutepis pikiran buruk dari otakku.

"Yang, hp ku tadi ketinggalan." Baru saja aku meletakkan ponselnya, Aldo datang dari pintu utama.

"Ah iya, itu mas di atas meja. Lain kali gak usah buru-buru. Aisha juga gak akan telat." Jawabku coba menenangkan diri.

"Iya sayang. Tadi terlalu semangat buat nganter Aisha." Benar-benar terpancar raut bahagia dari Aldo, yang selama ini belum pernah kulihat. "Aku berangkat dulu ya, apa mau sekalian bareng?"

"Ah gak usah mas. Nanti kamu telat. Hati-hati ya."

"Iya, aku berangkat." Diciumnya keningku sebelum Aldo benar-benar pergi masuk ke dalam mobilnya.

Tak ada niat dalam diriku untuk mengikuti Aldo dan mencari tahu apa yang sedang ia sembunyikan. Biarkan saja kalian mengataiku bodoh. Aku percaya jika sudah waktunya terbuka, maka segala kebohongannya akan terbuka. Itu pula alasan aku tak sepenuhnya menerima Aldo kembali padaku dan Aisha.

***

Belum sampai pada ruanganku, Naina sudah menungguku di depan pintu. Membawa setumpuk pekerjaan yang harus aku selesaikan. Disambutnya aku dengan sebuah senyum khas Naina.

"Mbak ini beberapa laporan yang perlu tanda tangan." Ucap Naina sambil menyodorkan setumpuk kertas tadi. "Tapi hari ini aku ijin sebentar ya mbak. Mau ke rumah sakit check up kesehatan sebelum nikah."

"Sama siapa Nai, Ardi?"

"Enggak mbak sendiri aja. Sudah gak boleh sering-sering ketemu." Candanya dengan cengiran Naina.

"Aku temenin, Nai. Aku selesaikan ini sebentar ya?"

"Gak usah mbak. Nanti aku ngerepotin."

"Serius Nai. Gapapa. Tunggu sebentar ya."

"Oke deh. Kalau maksa." Naina pun keluar dari ruanganku. Entah mengapa rasanya aku ingin mengantar Naina. Apakah ini bagian dari firasat wanita, atau hanya kebetulan saja?

Second DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang