Bab 24

880 86 17
                                    

Di depan pintu ruang operasi Randy menunggu dengan sangat gelisah. Menerka-nerka apa yang terjadi hingga istrinya terluka sehebat ini. Bayang-bayang kebahagiaan akan lahirnya buah hati menjadi suram. Rasa takut yang harusnya terbalut bahagia justru kian kalut rasanya. Petuah apalagi yang berguna, kecuali sabar, sabar dan sabar. Sungguh Allah menyertai orang-orang yang sabar.

"Ran mending duduk dulu, jangan mondar mandir gitu." Saran Ardi pada Randy yang sedari tadi berdiri di depan ruang operasi. Mulutnya tak berhenti komat-kamit merapalkan dzikir untuk kelancaran operasi Adya.

"Duduk mas Randy. Tenangin diri. Doakan mbak dya. Insyaallah dia orang yang kuat." Kini Naina ikut membuka suaranya. Tak tega melihat raut wajah Randy yang sedari tadi masih juga menangis.

"Harusnya gue ikutin feeling gue buat gak kerja Ar. Adya gak akan kayak gini." Sungguh penyesalan yang kini menyelimuti hati Randy.

"Gak Ran. Lo gak bisa mendahului takdir yang di atas. Mau Lo ada atau enggak, Allah udah nulis ini cara anak Lo lahir ke dunia. Sabar. Banyakin doa. Adya pasti kuat."

"Ya Allah. Ujiannya gak habis-habis Ar. Gue harus bilang apa sama ibu." Saat kejadian memang ibu Adya sedang pergi mengunjungi saudaranya di Semarang. "Ar tolong telfon bunda, suruh jemput Aisha. Bawa ke rumah bunda dulu biar main sama cenna. Kalau dya udah keluar dari ruang operasi baru Lo bilang keadaan sebenernya sama bunda." Ucap Randy pada Ardi.

"Gue ke mushola dulu Ar, Nai. Tolong kabari gue kalau Adya udah mau beres."

***

Tiada makhluk yang tak mengeluh jika ditimpa ujian bertubi-tubi. Begitupun Randy, baru sebentar ia teguk manisnya bahagia bersama Adya. Kini nyawa wanitanya sedang diujung tanduk. Sungguh takdir sang pencipta sedang tidak baik-baik saja untuk Randy. Randy mendudukkan diri. Duduk bersimpuh merapalkan doa-doa pada sang Khaliq.

"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah."

"La Ilaha illallah..".

Ditengadahkan kedua telapak tangannya, meminta sebaik-baik takdir dari sang pemilik nyawa.

"Ya Allah, Ya Rabb. Sungguh aku tak sekuat Nabi Yakub dalam hal kesabaran. Tak sehebat Ibrahim dalam hal keikhlasan. Ya Allah, luaskan hatiku ya Allah. Lapangkan dadaku. Ampuni dosa-dosaku, jika karenanya ini semua terjadi kepada istriku. Ya Allah, jika boleh meminta sadarkan istri hamba dalam keadaan yang baik ya Allah. Sehatkan kembali badannya. Kumpulkan Adya bersama kami suami dan anak-anaknya. Jika yang kau minta sebaliknya ya Allah, berikan hamba kelapangan ya Allah. Berikan hamba keterbukaan pikir untuk menerima segalanya ya Allah." Luruh air mata Randy dalam setiap kalimat yang ia panjatkan pada Rabb-Nya. Sungguh Randy bukanlah siapa-siapa. Hartanya, tak membuat waktu terulang sehingga ia bisa menjaga istrinya dengan baik.

"Subhanallah walhamdulillah walailahaillallah." Tak henti dzikir keluar dari mulutnya yang hampir kelu.

Sedetik yang lalu, hatinya berbunga membaca setiap pesan yang Adya kirimkan. Bayang-bayang tawa perempuannya terus berputar dalam pikirannya. Wanita yang tak banyak tuntutannya. Wanita tangguh yang selalu mengiyakan kemauannya. Ya Allah, ini berat.

Bagaimana jika dunia Randy tanpa Adya?

***

"Sebenernya apa yang terjadi sama Adya by?" Tanya Ardi pada Naina.

"Aku gak tahu bi. Aku tadi kesana niatnya mau minta tanda tangan. Tapi aku lihat mba Adya udah pingsan di depan rumah. Aku buru-buru telfon ambulance dan bawa kesini." Jelas Naina pada Ardi.

"Harusnya tadi aku ijinin Randy buat pulang by. Pasti Adya gak akan kayak gini."

"Hush. Jangan ngomong gitu bi. Ini sudah takdir. Kamu sendiri yang tadi bilang sama Randy." Ucap Naina berusaha meyakinkan Ardi.

Second DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang