"SeoAh-ssi?"
"Ne?"
Dua piring sandwich telur dan dua gelas susu datang, SeoAh menatap senang pada wanita berwajah dingin yang baru saja tiba.
"Ada yang ingin ku bicarakan, tolong dengarkan dengan serius." Sohyun menatap lurus, kali ini ia tak ingin ada miskomunikasi lagi.
"Apa itu?" SeoAh mendongak setelah memasukan macbook kedalam tas.
"Mulai hari ini kau tinggal di tempat ku, itu artinya kau harus menuruti semua aturan yang ada. Pertama, mulai hari ini aku yang akan mengantarkan mu ke sekolah tapi kau harus pulang sendiri menggunakan bis karena aku harus bekerja. Kedua, setelah pulang sekolah kau harus tetap disini, aku tidak membiarkan mu keluar sebelum mendapat izin dari Yooyeon. Ketiga, jangan keras kepala." Ucap Sohyun serius, atmosfer ruangan menjadi semakin dingin, tak ada bising apapun selain suara jarum jam berdetik.
"Alright captain!" Seru SeoAh sembari memberikan salam hormat.
"Bagus, sekarang habiskan sarapan nya, kau harus belajar lebih gesit karena tidak ada lagi driver." Ucap Sohyun, mulai mengigit ujung sandwich sederhana yang biasa ia buat untuk sarapan.
Sejak semalam Sohyun banyak berpikir, sulit baginya menjalani hidup sebagai sosok sebatang kara dan kini tiba-tiba dititipkan sosok gadis remaja yang baru saja ditelantarkan. Awalnya Sohyun bersimpati pada SeoAh karena gadis itu adik dari Yooyeon, sahabatnya. Namun semalam, Sohyun melihat SeoAh menangis diam-diam di balkon luar, meratapi nasib nya yang kini tiada arah tujuan, terlebih kakak nya berada jauh dari jangkauan.
Setelah melihat itu, hati Sohyun terketuk untuk menolong SeoAh sebagai sesama manusia, bukan hanya karena balas budi atas kebaikan yang pernah dilakukan Yooyeon. Terbiasa hidup sendiri dan menyendiri selama bertahun-tahun, Sohyun sadar jika ia harus kembali beradaptasi dengan kehadiran seseorang dalam satu atap yang sama, merubah beberapa kebiasaan dan mengimbangi pola hidup SeoAh sebagai seorang remaja yang lebih enerjik.
Kini sarapan telah habis, Sohyun mengantarkan SeoAh ke sekolah menggunakan bis, karena hanya bis yang bisa ia jangkau dengan biaya murah.
Tak lama, bis pun berhenti di halte dekat sekolah, banyak murid sekolah turun di tempat tujuan yang sama. SeoAh turun dengan perasaan tidak percaya diri, ia masih belum tahu apakah status nya di sekolah masih sebagai cucu dari donatur utama atau sudah dicoret dan diketahui publik.
Sohyun ikut turun, masih mendampingi karena gadis kecil itu masih enggan masuk.
"Apa yang kau tunggu?" tanya Sohyun, berdiri di samping sembari memperhatikan raut sendu gadis di sebelah nya.
"Aku khawatir orang-orang akan semakin menjauhi ku setelah tahu aku tak lagi menjadi cucu nenek Kim, bagaimana jika aku dikucilkan?" SeoAh melempar pertanyaan balik, menoleh singkat lalu kembali menatap gedung sekolah, megah nan modern.
"Belajar untuk menghadapi hal baru, mereka menjauhi mu atau tidak apakah akan mempengaruhi hidup mu? lagi pula teman sejati tidak akan pergi meskipun kau tidak punya apa-apa." Sahut Sohyun.
"Benar juga, terimakasih Sohyunnie atas saran bijak nya. Aku akan pulang tepat waktu, tapi boleh kah aku mengunjungi mu ke cafe?" pinta SeoAh.
"Untuk apa?" tanya Sohyun ketus, menaikan satu alis nya saat SeoAh menatapnya dengan doe eyes.
"Aku hanya ingin melihatmu bekerja." Jawab SeoAh polosnya.
"Tidak penting, lebih baik kau belajar di rumah. Sudah, cepat masuk, kau akan terlambat, anak nakal.." Sohyun menggusur tubuh SeoAh ke dekat gerbang.