Hal pertama yang selalu Injun lakukan setelah menyelesaikan pelajarannya adalah mencari Jaemin, ia menyukai sosok tersebut sebesar itu hingga segala hal yang akan ia lakukan harus ia awali dengan melihat atau bertemu Jaemin terlebih dahulu.
Sebelum adanya perjodohan antara dirinya dan Jaemin, sebenarnya Injun pun sudah pernah bertemu Jaemin ketika ia masih kecil—ini bisa disebut cinta anak kecil yang ternyata terus tumbuh tanpa mau berpaling.
Dulu dirinya ikut bersama mamanya ke rumah salah satu teman kakeknya—yang saat itu belum meninggal. Kakeknya memang sering mengajak beberapa anggota keluarganya untuk berkunjung pada kenalan-kenalannya, dan kebetulan saat itu Injun mau ikut.
Namun keinginannya saat itu sempat menjadi penyesalan ketika disana ia tak memiliki teman bermain, ia pikir saat itu harusnya ia memaksa Renjun ikut.
Dan diantara dumal penyesalannya dengan sembari memakan kudapan ringan dengan bibir menekuk, Injun menyadari adanya sosok yang duduk di seberang mejanya dan ikut makan disana.
"Kakek bilang, kalau masih mau manisan kau bisa mengatakannya padaku."
Itu adalah Jaemin, dan jika diingat saat ini kalimat yang Jaemin lontarkan saat itu cukup panjang jika dibandingkan semua kata yang sekarang kerap Jaemin keluarkan.
Kala itu Injun jelas senang karena memiliki sosok yang menemaninya, meski hanya sekedar duduk saja. Namun memang beberapa menit setelahnya Injun mencoba mengajaknya berbicara, awalnya hanya bertanya umur, lalu bertanya nama, kemudian bertanya lebih banyak lagi. Dan jawaban Jaemin sama berupa kata singkat yang entah kenapa saat itu tak membuat Injun tersinggung sama sekali.
Justru setelah pertemuan hari itu Injun menganggap Jaemin adalah sosok yang bisa ia kagumi.
Dan ternyata ia dengan Jaemin dijodohkan oleh kakek mereka karena terlihat bercakap-cakap hari itu, Injun jadi balik bersyukur karena kala itu mengikuti mamanya hingga akhirnya ia bisa bertemu Jaemin dan berakhir terlibat perjodohan dengan sosok itu.
Ketika ia masuk Xyrenys, orangtuanya pun memberitau bahwa Jaemin juga akan disana. Dengan itulah Injun merasa semakin bersemangat untuk pergi sekolah, dan semenjak itu juga ia tak keberatan menunjukkan pada Jaemin mengenai seberapa besar ia menyukainya.
Karena menurutnya untuk apa pula ia menyembunyikannya karena mereka sudah jelas dijodohkan, dan Injun ingin Jaemin tau bahwa di hubungan itu Jaemin tak perlu takut Injun tak mencintainya. Karena itulah Injun menunjukkannya terang-terangan pada Jaemin.
"Jaemin!" Belum juga mencapai ruangan kelas Jaemin, Injun sudah melihat sosok itu yang terlihat berjalan menuju tangga.
Jaemin tak menoleh, Injun pikir ini karena memang memasuki jam istirahat, dan murid banyak yang berkeliaran di koridor jadi Jaemin tak bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Maka Injun pun mengejarnya, menyelinap dan mencoba menyusul langkahnya.
"Jaemin." Injun berhasil menyentuh bahu Jaemin tepat ketika mereka ada di tangga.
Barulah Jaemin menoleh padanya karena sentuhan tersebut. "Injun."
"Kau terlihat tergesa hingga tak sempat menoleh padaku." Ujar Injun setelah tersenyum pada Jaemin.
"Aku tak mendengarmu, maaf." Jaemin menatap Injun.
Mendengar hal itu Injun hanya mengangguk, lagi pula ini bukan kali pertama Jaemin mengabaikan panggilannya. "Hari ini ada menu kesukaanmu untuk salah satu menu makan siang." Raut Injun terlihat senang, padahal yang ia bicarakan adalah menu kesukaan Jaemin.
Berbeda dengan Jaemin yang hanya mengangguk. "Ah, iya."
Seperti biasa jawabannya hanya berupa kata pendek, meski begitu Injun selalu sabar menghadapi dingin dan datarnya Jaemin.
"Kita makan bersama ya?" Injun bertanya dengan nada riang.
"Aku ada perlu."
Raut Injun mulai menyendu. "Kau akan melewatkan makan siang?" Tanyanya dengan pelan.
Tangan Jaemin mengusap kepala Injun lembut, juga mengulas senyum kecil dengan satu kedipan singkat pada kedua matanya sebagai isyarat agar Injun menuruti kalimatnya ini. "Kau bisa duluan."
"Kau akan menyusul?" Injun masih berusaha bertanya, berharap Jaemin nantinya akan mau duduk makan siang dengannya.
"Kalau sempat." Jawab Jaemin.
Dan Injun pun mengangguk sembari tersenyum. "Baiklah."
Setelah itu Injun melanjutkan langkahnya menuruni tangga, dan ketika jaraknya dengan Jaemin semakin jauh senyumnya lenyap seketika.
Memang Injun begitu menyukai Jaemin, tapi hal itu tak membuat ia jadi sebuta itu dengan segala tingkah Jaemin. Ia menyadari bahwa terkadang Jaemin begitu berusaha menghindarinya.
Injun lupa bahwa seharusnya bukan Jaemin saja yang perlu diberitau untuk tak mengkhawatirkan hubungan mereka hanya karena didasari perjodohan, tapi dirinya pun perlu peyakinan itu.
Karena nyatanya tak hanya Jaemin yang harus tau bahwa pasangan yang dijodohkan dengannya begitu menyukainya, tapi Injun juga perlu mengetahui pasangannya balas menyukainya. Karena ada beberapa waktu dimana Injun berpikir bahwa Jaemin tak begitu menyukainya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Renjun tak akrab dengan Jaemin, tentu saja. Karena ia tak bisa membayangkan bagaimana ia mengajak berbicara sosok datar seperti itu, ia bahkan nyaris tak pernah melihat Jaemin berbicara lebih dari satu menit dengan oranglain kecuali bersama Injun.
Ia kadang tak habis pikir juga kenapa kembarannya itu begitu menyukai Jaemin, hingga tak keberatan dengan perjodohan yang dilakukan kakek mereka.
Tapi mengingat bagaimana memang perasaan bukanlah hal yang bisa diterka, Renjun pun hanya bisa berharap Injun mendapat perasaan yang sama.
"Kenapa kalian tak bersama?" Renjun langsung memeluk tubuh Injun setelah melihat tadi kembarannya itu berbicara dengan Jaemin di tangga.
"Ia ada perlu." Jawab Injun, mengembalikan senyumnya.
Renjun melirik ke belakang dan melihat Jaemin yang kembali naik ke lantai atas. "Ia begitu sibuk, ia juga jarang menemuimu di luar dari pertemuan kita di sekolah."
Injun terkekeh. "Ia bukan hanya harus mengurusiku dan menemuiku saja, Renjun."
Renjun mengedikkan bahunya mendengar itu, tangannya kemudian menyentuh kepala Injun tepat dimana tadi Jaemin mengusapnya. Renjun terkikik sendiri. "Aku jarang melihatnya berbicara dengan jarak waktu yang lama seperti saat denganmu, dan aku juga tak pernah melihatnya memperlakukan oranglain selembut padamu."
Mendengar penuturan Renjun, Injun merasa perasaannya membaik. Benar, ia juga tak pernah melihat Jaemin mau mendengarkan oranglain seperti saat mendengarnya.
Itu harusnya bisa sedikit membuat Injun merasa 'lebih' bukan?
"Tapi aku tetap tak menyukai wajah dinginnya. Aku terbiasa melihat Jeno yang begitu menyenangkan, jadi saat melihat Jaemin yang seperti itu aku begitu tak nyaman." Lanjut Renjun.
Injun hanya mengangguk sebagai jawaban, ia tak pernah memiliki banyak argumen lebih soal kekasih dari Renjun itu.