Lisa, dengan tangan yang bergetar, mengeluarkan sebuah amplop dari laci meja di samping tempat tidurnya.
Di dalam amplop itu terdapat surat cerai yang selama ini disimpannya dengan rapat. Surat itu terlihat usang dan telah mengalami banyak lipatan, menandakan betapa lamanya surat tersebut tersimpan.
Lisa menatap surat cerai itu dengan tatapan penuh penyesalan dan keputusasaan.
"Jennie," suara Lisa bergetar, "Aku... aku sudah memutuskan untuk menandatanganinya. Ini adalah yang terbaik."
Jennie, yang berdiri di samping tempat tidur Lisa, langsung mengulurkan tangan untuk menerima surat itu.
Saat jennie membukanya dan melihat isi di dalamnya, dia merasakan hatinya hancur. Surat itu adalah bukti formal dari semua yang mereka lalui, dan kenyataan bahwa Lisa mungkin ingin mengakhiri semuanya secara resmi membuat Jennie merasa semakin tertekan.
Dengan air mata membasahi pipinya, Jennie memandang Lisa dengan penuh rasa sakit.
"Kamu tidak bisa melakukannya, Lisa. Kamu tidak bisa hanya... hanya menyerah seperti ini."
Lisa berusaha tersenyum, namun senyum itu hanya memperjelas betapa lelah dan sakitnya dia.
"Jennie, aku tahu aku sudah banyak salah. Tapi aku sudah tidak punya lagi tempat untuk berpaling. Aku hanya ingin semuanya selesai."
Jennie menatap Lisa dengan penuh kepedihan dan kebingungan.
"Mungkin aku bisa bertahan meski kita bercerai. Aku masih bisa menerima itu. Tapi aku tidak akan sanggup jika kamu tidak ada di sini sama sekali. Jika kamu pergi, maka aku tidak hanya kehilangan suamiku, aku kehilangan ayah dari anak-anakku dan juga bagian dari diriku sendiri."
Dengan hati yang penuh rasa sakit, Jennie mengambil surat cerai itu dari tangan Lisa. Dia merobeknya dengan penuh emosi, sobekan kertas yang terdengar keras di ruang yang sunyi itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Aku tidak bisa, Lisa."
Lisa menatap Jennie dengan tatapan kosong, namun matanya dipenuhi dengan rasa terharu.
Melihat Jennie begitu berjuang untuk mempertahankan hubungan mereka, meski semua yang terjadi, membuat Lisa merasa tersentuh.
Jennie membungkuk dan memeluk Lisa dengan lembut, menangis di pundaknya.
"Tolong, Lisa. Kamu harus bertahan. Aku tahu kita telah melewati banyak hal buruk, tapi aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kamu. Kita mungkin tidak bisa memperbaiki semuanya, tapi setidaknya kita masih bisa ada di bawah langit yang sama."
Lisa meresapi kata-kata Jennie, merasakan pelukan hangatnya. Meskipun tubuhnya lemah, hatinya terasa lebih ringan dengan kehadiran Jennie di sampingnya. Dia merasakan sedikit harapan baru muncul, meskipun sangat rapuh.
"Jennie," Lisa berbisik, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku... aku akan mencoba. Untuk kamu. Untuk kita."
Jennie mengangguk, berusaha menahan tangisnya. Dia menyentuh pipi Lisa dengan lembut dan menghapus air mata dari wajahnya.
"Kita akan melakukannya bersama. Kita akan menghadapi ini bersama-sama."
Lisa sudah tertidur lelap setelah berbicara dengan Jennie. Suasana di kamar terasa tenang dan penuh dengan harapan yang perlahan mengisi ruang tersebut.
Lampu redup menerangi ruangan, dan frederic duduk di kursi di sudut ruangan, menjaga jarak agar tidak mengganggu ketenangan Lisa.
Jennie, yang tampak lelah namun lega, perlahan menghampiri Frederic. Dengan langkah lembut, dia mendekati pria itu, lalu duduk di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
END OF THE ROAD | JENLISA ✔️
Fanfiction"aku tidak membencimu lisa, aku hanya kecewa, kamu berubah menjadi semua yang kamu katakan tidak akan pernah kamu lakukan." - Jennie