“Aku tidak menyangka bisa melihatmu lagi,” ujar Jimin dengan nada tak percaya.
“Aku juga, bantet,” balas Yoongi sambil tersenyum tipis.
Jimin, yang semula hendak menangis terharu, langsung melotot kesal ke arah Yoongi. “Kau benar-benar tidak tahu caranya membuat reuni yang menyentuh, dasar kucing liar!” katanya kesal, namun Yoongi hanya menanggapi dengan senyum usil.
“Tapi sungguh, kami tidak menyangka kalian masih hidup,” tambah Jungkook, yang sibuk mengangkat sebatang besi dengan ujung yang sudah memerah karena panas. Rupanya, mereka berempat terjebak di penjara yang sama. Jungkook sedang menyiapkan api unggun kecil dari tanaman merambat dan tulang-tulang yang ia temukan di sekitar.
Dengan sigap, ia mendekatkan besi panas itu ke luka Taehyung.
“SIALAN, HATI-HATI KAU!” Taehyung mengerang kesakitan.
“Tenanglah, bodoh. Kau ingin mati karena kehabisan darah?” Jungkook menanggapi santai, membuat Taehyung terdiam. Tak perlu bertanya dari mana api itu berasal—tentu saja Jungkook punya alat survival yang sama seperti Taehyung. Ya, gantungan kunci penyelamat yang selalu melekat di celana mereka.
Dasar anak Pramuka. Setidaknya, alat itu menyelamatkan hidup mereka.
Yoongi memandang Taehyung dengan khawatir. Hyungnya kini terbaring lemas di dekat api. Tubuhnya yang berotot hanya tertutup celana panjang, demi memudahkan Jungkook mengobati lukanya tanpa risiko terbakar.
“Jungkook hyung, apa Taehyung hyung akan baik-baik saja?” tanya Yoongi pelan.
Jungkook hanya mengangkat alis, melirik Taehyung yang kini memejamkan mata. “Mungkin saja. Orang-orang gila itu melakukan hal yang sama padaku saat aku terluka. Mereka bahkan memberiku perban,” jawabnya santai, mencoba mengingat detail kejadian itu.
Yoongi memiringkan kepalanya, bingung.
“Mereka tidak ingin aku mati sebelum upacara pengorbanan dimulai. Aku terluka saat mereka menemukanku bersama Jimin,” jelas Jungkook, memahami kebingungan Yoongi.
Yoongi mengangguk pelan, lalu dengan lembut menyibakkan rambut yang menutupi wajah Taehyung. Tangannya yang mungil menyentuh dahi hyungnya itu dengan kasih sayang.
“Psst…”
“…”
“Kookie hyung, psst…” Jimin berbisik, memanggil Jungkook.
“H-huh?”
“Kemarilah! Jangan ganggu momen mereka, biar kita di sini saja berdua,” Jimin tersenyum jahil, menarik Jungkook ke sisinya.
Jungkook hanya menggeleng pelan sambil tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Jimin yang kecil. Bersama, mereka menatap pemandangan di depan mereka dengan hangat.
“Yoon,” gumam Taehyung.
Yoongi terkejut mendengar panggilan itu. “Maaf, hyung. Apa hyung mau istira—”
“Sakit,” bisik Taehyung, suaranya lemah.
Yoongi membulatkan matanya. “Yoon, tolong buat distraksi,” pinta Taehyung lagi, kali ini menggenggam tangan Yoongi dan meletakkannya di wajahnya.
Yoongi tersenyum lembut. “Arraseo, hyung.”
Dengan hati-hati, Yoongi menidurkan kepala Taehyung di pangkuannya. Ia membelai lembut wajah hyungnya dengan ibu jari, sambil menggumamkan melodi menenangkan. Senyum tipis terukir di wajah Taehyung saat mendapat perlakuan itu. Ia mencoba mencari posisi nyaman untuk beristirahat, namun—
“Urgh…”
Lukanya masih terasa perih meski sudah dibakar oleh Jungkook.
“Hyung, tidak apa-apa. Tunggu sebentar ya, Yoongi akan membuatmu merasa lebih baik. Bersabarlah,” kata Yoongi, suaranya lembut.
Dengan hati-hati, Yoongi mengambil baju Taehyung, melilitkannya sebagai perban untuk menghentikan perdarahan. Setelah selesai, ia tersenyum manis pada Taehyung. “Nah, selesai. Apa masih sakit, hyung?”
Taehyung menarik kepala Yoongi mendekat, memendekkan jarak di antara mereka.
Cup.
Bibir tipisnya mendarat di hidung mungil Yoongi.
“Tidak, tidak sakit sama sekali. Terima kasih, manis.”
To Be Continue.