Jenar's Apartment, The Peak Residence, Surabaya.
"Nggak mungkin..."
Barusan Jenar tidak salah dengar, 'kan, ya?
Tapi, mata wanita itu bisa melihat dengan jelas kalau Wita menggelengkan kepalanya sekarang. "Nggak mungkin," kata Wita, mengulang ucapannya sebelumnya. "Gue kenal sama lo, dan walaupun lo mau kenal cowok lain dari nol..." Wita kembali menggelengkan kepalanya. "Nggak mungkin...," sambungnya terdengar pelan.
"Kenapa nggak mungkin?" tanya Jenar cepat, matanya memicing tajam menatap Wita yang juga ikut memicingkan matanya. "Kenapa lo percaya diri banget ngomong gitu?" tanya Jenar, ikut mengulang perkataannya sebelumnya.
"Karena kalau lo beneran mikir soal kemungkinan itu, lo nggak bakal di sini—gue nggak bakal ngelamar lo." Tatapan Wita tidak terlepas sama sekali dari mata Jenar. "Lo pasti udah kenalan sana-sini tanpa perlu ngomel ke gue soal lo yang kesel karena harus kenalan sama cowok ini-itu yang dikenalin saudara-saudara lo yang pada akhirnya lo tolak juga, Jen."
Ah...
Sepertinya, Jenar salah langkah atau maksudnya salah bicara...
Wita jelas mengenalnya dengan sangat baik, dan pria itu tidak mungkin melupakan soal omelan Jenar ketika dia kembali dikenalkan dengan pria-pria kenalan saudara-saudaranya ke Wita.
Yang dikatakan Wita barusan memang benar, Jenar menolak semua perkenalan atau kencan yang diatur saudara-saudaranya untuknya dan tentu Jenar juga tidak lupa apa yang dikatakannya ke Wita saat itu—saat dia mengomel karena merasa tidak perlu untuk dibantu perihal jodohnya.
"Ribet! Gue perlu kenalan banget, mulai semuanya dari awal... Belum apa-apa aja, gue udah berasa capek banget."
Jenar menahan ringisannya ketika dia kembali menatap ke arah Wita, "Udah inget belum?" tanya Wita, seperti paham kalau keterdiaman Jenar barusan beralasan. "Lo mau gue percaya omongan lo barusan?" Ia bahkan menambahkan dengkusan di akhir kalimatnya.
"Oke." Jenar merentangkan salah satu tangan di hadapan Wita sebelum tangan Wita menyingkirkan tangannya pelan. "Nggak perlu ngomongin—ngebahas soal itu—karena pembahasan utama kita bukan di sana—"
"Ya, tapi jadinya sekarang berkaitan karena lo tadi pake alasan itu buat nolak tawaran gue." Wita memotong ucapan Jenar bersamaan dengan ia yang ikut menaikkan kedua kakinya di atas sofa, mengikuti gestur yang dibuat Jenar di hadapannya.
Dan Jenar pastinya lupa tentang seberapa melelahkannya untuk menghadapi Wita ketika keduanya sedang saling konfrontasi seperti ini, dengan kepintaran dan keras kepalanya itu memang tidak sulit untuk membuat Jenar menyerah dengan mudah.
Tapi kali ini, Jenar ingin mencoba untuk bertahan karena dia butuh bicara dan menjelaskan semuanya ke Wita.
Kepala Jenar mengangguk pelan, tangannya kembali terangkat ke hadapan Wita seakan memberikan aba-aba supaya pria itu mau diam dan mendengarkannya. "Gue udah nggak mau ngebahas soal omongan gue tadi—"
"Lo lagi ngerjain gue, ya?" Wita menatap ke arah Jenar dengan tatapan heran dan kesal.
Jenar menggelengkan kepalanya dengan tangan yang masih ada di depan wajah Wita, "Kita balik ke topik utama. Kayaknya, pembahasan tentang tawaran lo tadi lebih menarik buat diulik daripada omongan gue sebelumnya," simpulnya sendiri untuk mencoba mencari cela agar Wita tidak terus-terusan membahas soal kesalahan yang sempat ia katakan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOOTLOOSE AND FANCY-FREE (COMPLETED)
ChickLitAttire Aura punya ilmu hitam! Tangan Jenar Pertiwi Kamalawa pembawa musibah untuk setiap dress pernikahan yang dibuatnya! Ada kutukan di setiap dress dan jas yang dibuat oleh Jenar Pertiwi Kamalawa! Sudah ada banyak headline berita semacam ini yan...