[22] Death Sentence

5K 983 342
                                    

De Soematra restaurant, Surabaya.





"Sampai sekarang... Bukan-bukan..." Lauren menggelengkan kepalanya pelan. "Sejak dengar interviewnya Tiji di TalkTalk itu sampai waktu Mami dengar kalau Tiji sudah ngelamar JenJen dan ngeliat sendiri interaksi kalian berdua tadi, Mami masih susah percaya, loh..." Ibu kandung Wita dan Elok itu kelihatan emosional sampai perlu menarik tisu untuk menyeka kedua sudut matanya.

Wita ikut mendesah keras dari kursinya, tingkah lakunya yang agak impulsif untuk menggoda Jenar tadi ternyata menyebabkan kesalahpahaman yang mungkin bisa memperkeruh suasana, atau bahkan membuat Lauren jadi bersikap berlebihan seperti sekarang—sesuatu yang tidak Wita duga.

Sementara itu, Jenar yang duduk di sebelahnya kelihatan meringis canggung karena tidak bisa menanggapi ocehan yang dibuat Lauren sejak mereka masuk ke dalam ruangan VIP yang sudah Wita reservasi sebelumnya.

"Mungkin karena Mami ngeliat kalian dari kecil, ya... Dari JenJen masih bayi malahan." Lauren kembali bicara setelah berhasil menenangkan dirinya sendiri yang kelihatan gagal karena wanita paruh baya itu masih membutuhkan tisu untuk menyeka air matanya. "Meskipun kalian dekat dari kecil itu Mami sama Mami Malang nggak pernah kepikiran buat menjodohkan kalian, ya... Mami, sih, yang ngarepnya gitu, tapi Mami waktu itu mikir kasihan juga kalau misalkan kalian nggak berjodoh..."

Di bawah meja makan, tangan dingin Jenar mendadak menggenggam tangan Wita erat. Dari sisi wajah wanita itu, Wita bisa tahu seberapa gugupnya Jenar sekarang dan seberapa besar rasa bersalahnya karena membuat Lauren jadi salah paham sampai sejauh ini.

Lauren mengambil tisu lain dari atas meja, "Orang-orang di sekitar Mami sama Papa, tuh, selalu nanya-nanya tentang kalian berdua. Ada yang mau ngenalin Tiji ke anak perempuan mereka, tapi mereka liatnya Tiji deket banget sama JenJen. Mami, sih, berusaha menghindari diri buat menjawab pertanyaan-pertanyaan begitu, ya," ujarnya melempar senyum ke arah Jenar dan Wita secara bergantian.

"Kan, Mami tahunya kalian bersahabat dan nggak pernah Tiji atau JenJen ada omongan yang menyangkut soal perasaan satu sama lain. Soalnya, Mami sendiri gemes sendiri liatnya. Tingkah laku kalian berdua itu, loh..." Telunjuk Lauren mengarah ke Jenar dan Wita berulang kali selama bicara barusan. "Dibilang sahabatan juga aneh, tapi kalau mau disebut pacaran juga kalian nggak ada yang pernah ngaku dan ngomong ke Mami," jelasnya dengan tawa kecil yang keluar di akhir ucapannya.

Tingkah laku mereka selama ini, ya?

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Wita mendengar perkataan semacam itu yang mengarah ke gestur yang dibuatnya selama ada Jenar di sekitarnya, tapi selama ini Wita mencoba menyangkalnya dengan alasan kalau dia dan Jenar memang terbiasa seperti itu—karena mereka berdua mengenal dan bersahabat sejak kecil.

Bagi Wita, setiap tingkah dan perlakuan juga kepedulian yang ditunjukan dan ia berikan ke Jenar adalah sesuatu yang lumrah.

Tapi, detik ini dia menyadari semuanya. Wita akhirnya menyadari kalau pemikiran dan pandangannya soal hubungan persahabatannya bersama Jenar salah.

Tatapan pria itu mendadak bergerak turun, menatap ke genggaman tangannya bersama Jenar di bawah meja makan.

Sekarang bayangkan sahabat mana yang bertindak sejauh ini?

Apa Wita perlu membuktikan dengan dia yang menjaga sikap di sekitar sahabat-sahabat wanitanya yang lain?

Napas kasar keluar dari bibir pria itu, membersamai degup jantungnya yang semakin keras ketika ia merasakan Jenar semakin menggenggam tangannya erat.

"Eh, kok, Mami malah dapat berita yang nggak Mami duga dari Elok!" Raut terharu Lauren berubah menjadi raut ceria dalam sekejap. "Sebelum ini Tiji nggak ada cerita apa-apa ke Mami ataupun Papa, jadi kami semua kaget waktu denger beritanya kemarin."

FOOTLOOSE AND FANCY-FREE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang