[12] Heart To Heart

6K 1K 254
                                    

Jenar's Apartment, The Peak Residence, Surabaya.



"Gue masih ada kerjaan, loh, ini?" Jenar masih mengomel ketika dia dan Wita baru masuk ke unit apartemen wanita itu setelah Wita berhasil membujuk Jenar untuk kembali ke apartemennya kalau ingin meneruskan obrolan mereka.

Wita menekan saklar lampu dan membuat ruang tengah apartemen Jenar terang, matanya jadi bisa melihat dengan jelas ruang tengah Jenar yang luar biasa amburadulnya. Ada beberapa manekin yang tergeletak di atas lantai dan terlentang di sofa, sementara itu banyak sekali lembar sketchbook yang berserakan di sekitarnya.

Saat masih tinggal di Jakarta, Wita sudah seringkali melihat pemandangan semacam ini di apartemen Jenar sebelumnya. Ia memang tahu kalau sahabat semasa kecilnya itu bukan orang yang rapi, tapi Wita juga tidak menyangka kalau Jenar se-berantakan ini—jauh dari image yang diperlihatkannya ke orang lain.

Jangan salah... Jenar dulu sering menegur Wita tiap wanita itu berkunjung ke kantornya di Jakarta. Dia sering mengomentari tentang seberapa berantakannya ruang kerja pria itu, bahkan Jenar sering memarahinya karena tidak bisa menjaga kebersihan ruang kantor yang digunakannya hampir setiap hari itu.

Lucu, kan?

Kepala Wita mengangguk pelan, dia mengalihkan tatapannya dari kacaunya ruang tengah apartemen Jenar ke Jenar yang menatapnya dengan kernyitan dalam. "Makanya tadi gue bilang ngobrolnya di kantor aja, supaya gue bisa sambil kerja, Witaaaaa!" katanya, menghadiahi Wita satu pukulan pelan di lengannya.

"Nggak pa-pa, kerja aja di sini." Wita mengedik ke arah kamar Jenar yang biasanya digunakan wanita itu untuk bekerja juga. "Gue juga punya kerjaan. Setelah kerjaan lo selesai, baru kita ngobrol," ucap pria itu sambil mengedarkan tatapannya ke seluruh area apartemen Jenar yang setelah ini akan berubah menjadi pekerjaannya. "Kenapa?" tanya Wita ketika melihat Jenar masih belum pergi, masih berdiri di sebelahnya.

"Lo... mau pergi, ya?" tanya Jenar ragu, dia menolak untuk menatap Wita.

Merasa ada yang aneh dengan pertanyaan Jenar barusan, Wita melempar pertanyaan balik. "Pergi ke mana? Buat apa? Lo mau titip sesuatu? Bukannya tadi gue udah nawarin, ya?"

Jenar menggelengkan kepala, "Lo mau ngerjain kerjaan lo di sini?" Jenar bertanya lagi, kali ini matanya menatap sekilas ke arah Wita.

"Iya." Wita mengangguk. "Kenapa? Keberatan gue di sini?"

Kelihatan panik, kepala Jenar menggeleng kencang. Salah satu tangan wanita itu meraih lengan Wita dan menggenggamnya erat, "Gue ngomong apa, sih, kok, lo jadi nyimpulin sendiri begini?"

Sekuat tenaga Wita mencoba menahan perasaan gelinya ketika melihat Jenar seakan menginginkannya untuk menemaninya di sini, kepala pria itu tertunduk—berusaha menyembunyikan sudut bibirnya yang membentuk sebuah senyuman. "Hm." Dan hanya gumaman itu saja yang keluar dari bibir Wita sebagai tanggapan.

"Mau gue masakin dulu?" Jenar kedengaran berdehem sebelum dia melepaskan tangan dari lengan Wita. "Gue tadi pagi nggak sempet masak apa-apa."

Meskipun dalam skill bersih-bersih Jenar ada di bawah rata-rata, tapi kemampuan memasak wanita itu patut diacungi jempol. Sebelum benar-benar menekuni dunia fashion, Wita sempat mendengar kabar kalau Jenar juga tertarik untuk mencoba peruntungannya di dunia culinary—dan ini menjadi salah satu alasan kenapa Jenar bisa cepat dekat dengan Terang.

...

Begitu nama Terang melintas cepat di benak, napas Wita tertahan sebentar.

Keduanya—Jenar dan Wita—sama-sama menatap ke arah dapur sebelum kembali saling bertatapan. "Nggak usah. Nanti beli aja. Udah sana." Dagu Wita kembali mengedik ke arah kamar Jenar.

FOOTLOOSE AND FANCY-FREE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang