Perkenalan

454 58 16
                                    

"Sudah semua, le?" Tanya Cakra pada Mahesa, putranya.

Damar dan Bara menjemput Mahesa ke desa Weningkinasih, karena bulan depan ia sudah sekolah di SMA Mulawarman, SMA milik Raden Mas Kertajaya, ayahnya Bumi.

"Sudah pak." Kata Mahesa sambil mengencangkan tali ranselnya lalu membawa kopernya.

"Nanti bapak kirim uang setiap bulan ya."

Mahesa mendapat previlage dari Bumi. Sejak pria itu berpacaran dengan Gendhis, dan mengetahui bahwa ada sepupunya yang akan masuk ke sekolah miliknya, ia memberikan beasiswa penuh untuk Mahesa. Mulai dari uang kegiatan, seragam, uang sekolah dan Mahesa bebas memilih eskul apapun yang diinginkan. Mahesa tinggal belajar dengan baik dan tidak membuat masalah.

Sebenarnya Cakra tidak enak dengan kakak iparnya itu. Pada mulanya Mahesa memang akan disekolahkan di desa saja, tapi ketika Damar dan Sekar mendengar hal itu, mereka membujuk Cakra dan Ajeng untuk menyekolahkan Mahesa di kota agar pergaulan juga lebih luas. Cakra memang tak sekaya dua iparnya, tapi ia masih mampu untuk menyekolahkan putranya karena mereka berdua memang sudah menabung dari awal menikah untuk biaya sekolah anaknya. Tapi memang keluarga mereka ini adalah keluarga dermawan, tak ada yang ingin salah satunya kesulitan, maka tak ada yang keberatan jika harus mengeluarkan uang, apalagi Bumi sang pria bangsawan yang akan menjadi besan Gani, direktur rumah sakit, makin luas lah kekayaan mereka itu, jdi membantu Mahesa hanyalah perkara kecil.

"Mas, ndak papa Mahesa ikut di rumahmu? Aku ndak enak." Kata Cakra sambil duduk.

"Ya gak papa lah Cak, kita ini udah kenal lama, mana sekarang kamu jadi ipar aku, lagian Bara sama Mahesa juga udah bestie banget. Gak masalah." Kata Damar sambil menyomot singkong rebus yang dimasak oleh Ajeng

"Le, belajar yang bener lho ya. Denger kata pakdhe, budhemu. Jangan buat masalah." Kata Cakra

"Nggih pak." Kata Mahesa lembut

Mahesa ini sepertinya cocok dengan Bumi 🤭, sama-sama mas-mas jawa tulen.

"Le, reneo sedhelok." Kata Ajeng
(Nak, sini sebentar)

Mahesa mengikuti ibunya ke kamar.

"Sini duduk." Kata Ajeng sambil mengambil sebuah amplop dari lemari.

"Ini bekal untuk kamu dari bapak ibu sebulan ke depan ya. Pakai untuk kebutuhan kamu, seperti beli sabun, parfum, lotion dan lain-lain. Ingat jangan menyusahkan budhe dan pakdhe sekalipun mereka baik, bangun pagi, selalu tanya apa yang bisa dibantu, jangan cuma di dalam kamar ya. Kecuali pakdhe dan budhe memang tidak ingin dibantu."

"Nggih bu, tapi ini gak papa? Bapak dan ibu ada uang kah?" Tanya Mahesa tidak enak

Ajeng tersenyum.

"Kita berdua sudah menabung sejak awal menikah, sebelum hamil kamu. Tenang saja, uang bapak ibu masih ada kok. Bapak khan juga kerja, ibu alhamdulilah sekarang sudah punya klien banyak, apalagi sekarang punya studio sendiri. Insyaallah kalau untuk masa depanmu, semua sudah kami siapkan." Ucap Ajeng menenangkan.

Mata Mahesa berkaca-kaca, lalu memeluk ibunya.

"Terimakasih ya bu, sudah memberikan yang terbaik buat Hesa, Hesa janji akan membuat bapak ibu bangga, ndak akan buat masalah di kota."

Ajeng terharu.

"Iya le, pokoknya belajar yang benar ya. Urusan uang, biaya biar bapak ibu yang mengusahakan." Kata Ajeng.

Mahesa mengurai pelukannya, dan menunduk karena wajahnya tak karuan. Baru kali ini ia menangis tersedu. Ajeng tersenyum. Mahesa adalah anugerah terindah untuknya dan Cakra. Ia mendapatkan Mahesa setelah pernikahannya menginjak usia ke tiga tahun. Betapa bahagianya Cakra saat itu. Mahesa tumbuh menjadi anak yang pintar juga berwajah manis, perpaduan Ajeng dan Cakra. Kali ini ia harus memaksa dirinya untuk melepas anak semata wayangnya pergi ke kota.

The CousinsWhere stories live. Discover now