Setelah mereka makan dan membereskan sampah, mereka memutuskan untuk pergi ke pos empat. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jayengrana tak ragu karena ia pernah mendaki gunung ini di jam yang sama. Apalagi mereka semua sudah terbiasa dengan yang tak kasat mata, jadi sudah pasti mereka bisa menjaga diri.
"Duuuhhh perutkuuu." Kata Genta.
"Makanya ta jangan makan banyak-banyak." Kata Arjuna sang kakak.
Pasalnya adiknya itu setelah makan mie cup, ia makan roti dan coklat bar, alhasil baru jalan sebentar saja perutnya sudah sakit.
"Bentar lagi nyampe, ya khan om?" Tanya Bara pada Jayengrana.
"Iya." Kata Jayengrana
Genta bangkit dan melanjutkan jalannya, ia sumringah ketika melihat sinar di puncak.
"Waaahh Om Jayeng! Kita udah sampe?" Tanya Genta.
"Iya, tapi...."
"Asiiikkk!!" Genta sudah melesat pergi
"Eh Genta! Tunggu!" Seru Jayengrana
Semua mempercepat jalannya dan berhenti sambil terengah ketika melihat Genta diam terpaku memandang sesuatu di hadapannya.
Ketika mereka menegakkan diri, semua sama terpakunya dengan Genta. Sebuah suasana yang tidak mungkin ada di atas puncak gunung. Pasar, dan itu sangat riuh layaknya pasar yang biasa mereka datangi.
"Om Jayeng, emang ada pasar ya?" Tanya Arjuna
Jayengrana menelan ludah.
"Harusnya tidak. Sekarang dengarkan saya. Kita beli sesuatu, lalu jalan lurus ke depan, tidak ada yang boleh melihat ke belakang. Dengar?" Tanya Jayengrana
Mereka semua mengangguk, lalu berjalan ke dalam pasar itu. Semua orang memandang mereka berempat seolah ingin menerkam. Baru kali ini mereka ketakutan, kecuali Jayengrana dan Mahesa.
"Kita beli sesuatu dulu. Itu disana ada gula merah kita beli satu aja." Kata Mahesa
Mereka menuju ke penjual gula merah.
"Tumbas, niki stunggal mawon, pinten bu?" Tanya Mahesa dengan jawa halus.
(Beli, ini satu, berapa bu?)Penjual itu hanya menunjukkan sepuluh jarinya. Mereka bingung, mungkin sepuluh ribu, seratus ribu, atau jangan membayar saja. Bara mengeluarkan seratus ribuan dan memberikan pada Mahesa, ketika ia membayarnya, ibu itu menolak tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Jayengrana menyerahkan sepuluh ribuan, barulah ibu itu menerimanya.
"Maturnuwun bu." Kata Mahesa sopan lalu pergi dari sana.
Mereka kembali berjalan, lurus, dan mereka melihat segerombolan anak muda yang sama memakai keril sedang duduk, bingung.
"Siapa itu?" Tanya Genta
"Sepertinya mereka terjebak." Kata Jayengrana
"Hei, ayo pulang." Kata Bara pada kelompok itu.
Para pemuda itu mengangkat kepalanya, dan sumringah karena mereka bertemu dengan pendaki seperti mereka.
"Jangan katakan apa-apa, jalan saja bersama kami." Kata Jayengrana
Mereka mengangguk dan melanjutkan perjalanan. Di depan mereka melihat seperti sebuah gapura, ketika mereka mempercepat langkah, tiba-tiba mereka di hadang segerombolan warga dari sana, wajah mereka pucat dan mata mereka menatap seram. Salah satu dari mereka menunjuk sekelompok pemuda itu dan menggeleng. Jayengrana paham, bahwa mereka tidak boleh pulang. Pasti ada yang mereka lakukan, dan itu tidak berkenan di hati para makhluk itu.
YOU ARE READING
The Cousins
HorrorEmpat sepupu, Bara, Mahesa, Arjuna dan Genta. Mereka adalah anak-anak dari Sekar, Ajeng dan Ning. Sewaktu liburan, mereka berkenalan dengan Bumi, yang sekarang menjadi om mereka karena menikah dengan Gendhis, kakak dari Arjuna dan Genta. Bumi menga...