***
Liana melihat Riftan membawa Adel keluar dari ruang kerjanya. Wanita itu nampak gelisah karena ia tidak bisa membiarkan Riftan berinteraksi dengan wanita lain.
Wanita itu memutar otak untuk menjauhkan Adel dan Riftan. Selama ini, ia berusaha membuat Riftan melihat ke arahnya. Ia bahkan selalu mematuhi perintah Riftan apapun itu. Termasuk memalsukan tanda tangan untuk surat utang itu. Namun, Riftan sama sekali tak pernah melihat ke arahnya.
Liana mengejar mereka berdua. Ia memanggil nama Riftan hingga pria itu menghentikan langkahnya. Riftan menatap tak suka ke arah Liana karena wanita itu menginterupsi langkahnya.
"Tuan, sebentar lagi Anda harus menghadiri pertemuan dengan Count Reynold." ucap Liana, tersenyum lembut.
"Batalkan janjinya." kata Riftan.
Liana terkejut, "tidak bisa, Tuan. Beliau bisa saja membatalkan kerja sama dengan kita."
"Aku tidak peduli, toh nilainya tidak besar. Aku ada urusan, dan kau tidak perlu ikut campur." Riftan menatap Liana tajam. Liana menundukkan kepalanya. Ia mengepalkan tangannya melihat Riftan memegangi tangan Adel. Terlebih, pria itu pergi bersama Adel entah kemana.
Di sisi lain, Adel seperti tengah diseret oleh Riftan karena pria itu berjalan dengan tak sabaran. Tangannya seperti hendak dipatahkan oleh pria itu. Belum lagi, luka di tubuhnya masih sangat sakit. Ia juga merasa semakin pusing saja.
"Bisakah Anda pelan-pelan?"
"Kau tidak berhak mengaturku."
"Kemana kita akan pergi?"
"Ke kediaman Florest. Kau menyimpan dimana liontin yang kau curi itu?"
"Saya tidak ingat."
Riftan menghentikan langkahnya. Ia kembali mencengkeram rahang Adel. Ia merasa Adel tengah mempermainkannya sekarang. Kemarahannya pada Adel meluap-luap hingga membuat dadanya bergemuruh.
Saat merasakan rahangnya nyaris patah, Adel menahan tangan Riftan, "hen-tikan!"
Riftan menatap wajah Adel yang sudah tidak karuan. Lelehan air mata, peluh dan... ia melihat ada darah kering di sudut bibirnya.
"Mengapa Anda begitu membenciku? Apa kali ini juga akal-akalan Anda?"
"Apa maksudmu?"
Adel tersenyum getir, "Anda menipuku soal surat utang itu kan? Jangan pura-pura tidak tahu. Dulu, ayah mungkin memang meminjam uang pada Marquess terdahulu, tapi beliau sudah membayar seluruhnya. Dan aku, selama 5 tahun menjadi kepala keluarga, aku tak pernah menemukan surat utang itu di ruang kerja. Jadi, jangan berbohong lagi."
Riftan tertawa sumbang. Lalu menghela napas.
"Dengar Adel, aku memang menipumu. Utangmu bukanlah uang. Tapi nyawa. Seandainya kau saja yang mati dan bukannya Edel. Aku tidak akan melakukan ini."
Adel mengerjapkan matanya beberapa kali. Memangnya kenapa sehingga ia harus mati?
"Jika kau yang mati menggantikan Edel, itu lebih baik. Gadis baik dan periang seperti itu, harus menderita. Terlebih dia memiliki kakak yang jahat sepertimu. Aku benar-benar marah hingga aku merasa muak melihat wajahmu." kata Riftan penuh emosi. Tapi semakin lama, Adel semakin tak dapat mendengar suara Riftan. Pria itu seolah menjauh.
Jika ia mati? Semuanya akan lebih baik?
Kemudian Adel terkekeh. Iya, benar.
"Jika begitu, maka akan sulit. Aku juga tidak bisa menyingkirkan kebencian itu. Benar, jika saja Edel masih hidup. Jika saja bisa... aku tidak ingin hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Your Typical Romance Fantasy Story
ContoIt's just a oneshot/short story. Don't forget to vote and comment. *** Dipelopori oleh ide yang seret dan kemalasan mengetik. 🪴🪴🪴