8 - Ruang BK

52 29 24
                                    


Bagaimanapun juga sebagai siswi SMA, Azhera ingin memiliki teman seperti yang lainnya. Akan tetapi, sejak awal masuk di sekolah ia tak memiliki teman. Sempat beberapa kali ia mecoba berteman dengan kawan sebangkunya semasa kelas sepuluh dan sebelas. Namun, akhirnya tidak bertahan lama mengingat sikap Azhera yang gampang berubah-ubah sesuai dengan siapa lawan bicaranya.

Mengingat soal ucapan pak Amar sepulang sekolah kemarin membuat Azhera menghela napasnya kasar. Bisa saja ia tidak mendapat hukuman atas apa yang ia lakukan terhadap kemenakannya. Tapi, yang pasti Azhera akan mendapat nilai sikap yang minus di raport nanti.

Jika Azhera sering mendapat peringatan dari pak Amar, lantas mengapa gadis itu tidak di drop out dari sekolah? Itu karena Azhera selalu menghitung poin minus akibat ulahnya sendiri. Jika sampai melebihi minus tujuh, sudah pasti anak ini sudah didepak oleh pihak sekolah.

"Lo tau enggak, Sha? Selama ini gue enggak pernah punya temen. Terakhir kali gue punya temen yang bener-bener waras itu cuma pas masih hidup di desa," ucap Azhera yang tanpa sadar dirinya tengah mengingat kembali masa di mana ia masih tinggal di desa.

Harsha menoleh sejenak menghadap Azhera, kemudian kembali menatap lurus ke depan. Keduanya tengah duduk santai di taman belakang. Kali ini tidak di bawah pohon mangga melainkan di kursi panjang yang tersedia di sana.

"Lo masih ingat? Kita dulu pernah satu kelompok waktu awal masuk sekolah."

"Rambutmu masih panjang waktu itu. Iya, 'kan?"

Ucapan Harsha membuat Azhera melebarkan matanya. Apa selama ini Harsha selalu memperhatikannya?

Ia terkejut, rupanya pemuda itu masih mengingatnya. Harsha bahkan masih mengingat penampilan Azhera saat itu yang memang gemar memanjangkan rambutnya. Berbeda dengan sekarang. Gadis itu lebih memilih memotong rambutnya sebahu dengan alasan tak mau terlalu memikirkannya karena ia sudah muak mengurus rambutnya.

"Terus sekarang? Kenapa lo mau berteman sama gue?" tanya Harsha kembali.

"Gue merasa tertantang buat berteman sama lo. Entah karena apa. Gue pikir lo juga bukan orang jahat. Tapi, kalo misal lo enggak mau temenan sama gue, ya, enggak apa-apa. Gue udah biasa sendirian."

"Terima kasih, ya, Azela," balas Harsha seraya tersenyum padanya.

Ini kedua kalinya Azhera mendapati momen langka di mana seorang Harsha tersenyum manis padanya. Sialan! Kenapa harus senyum kayak gitu, sih?! batinnya menjerit tertahan.

"Terima kasih karena lo udah anggap gue bukan orang jahat di saat orang lain menilai kalo gue ini bukan orang yang bener. Tapi, kalo lo mau pergi juga silahkan. Mereka juga udah terbiasa liat gue sendirian."

"Ish! Ikut-ikutan lagi!" sindir Azhera mengacaukan suasana yang sedikit mencekam ini.

Harsha tak lagi menjawab, melainkan tertawa lantang di hadapan Azhera. Jika sampai siswa-siswi melihat kejadian ini sudah pasti mereka akan membicarakannya. Azhera kini menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi taman. Entah mengapa, sekedar duduk menikmati pemandangan hijau selalu membuatnya merasa nyaman.

Menikmati waktu istirahat kedua di taman belakang mungkin akan masuk ke dalam list kegiatan favoritnya selama di sekolah. Azhera merasa begitu nyaman di tempat ini. Udara segar yang selalu menyambutnya, tanaman hijau dan beberapa macam jenis bunga juga tampak tumbuh subur di tempat ini.

Waktu istirahat kedua cukup panjang. Sekitar 30 menit lamanya. Setelahnya mereka akan masuk untuk menyelesaikan dua jam mata pelajaran terakhir sebelum pulang.

"Kemarin lo bilang mau ke supermarket, 'kan?"

"Eh?" Azhera kembali dikejutkan dengan pertanyaan mendadak dari Harsha. "Iya. Kemarin pulang dari pantai gue langsung tidur jadi nggak sempet ke supermarket."

"Ya udah, nanti pulang sama gue lagi aja. Biar nanti gue anterin ke supermarket sekalian." Harsha tidak lelah menawar Azhera untuk pulang bersamanya lagi.

"Sha, gue mau bawa pulang sepeda gue nanti. Lo pulang sendiri aja, ya? Kalo sepeda gue enggak dibawa pulang, nanti di rumah juga gue yang repot kalo mau ke mana-mana." Alasan Azhera juga masih sama.

"Lo punya nomor gue, 'kan? Gue bisa anterin lo ke mana aja, Azela."

Azhera heran, mengapa pemuda itu gemar sekali memanggilnya dengan nama depannya. Mendengar ucapan Harsha membuat Azhera hanya tersenyum masam.

"Gini aja! Lo pulang ke rumah dulu, nanti gue chat kalo gue jadi pergi ke supermarket. Okay?"

Mendengar ucapan Azhera membuat Harsha hanya menganggukkan kepalanya. "Nice!" Kembali keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. 

"Azhera! Lo dipanggil sama pak Burhan di ruang BK!" teriak salah seorang siswa yang diketahui bernama Biru—teman sekelas Azhera—itu dari samping gudang.

Azhera segera menoleh ke sumber suara. Tidak lupa setelahnya ia mengacungkan ibu jarinya pada Biru. "Gue duluan, Sha."

Kini giliran Harsha yang mengacungkan jempolnya pada Azhera. "Percaya aja sama diri sendiri, enggak usah dengerin omongannya Burhan, Azela." Pemuda ini kemudian mengambil posisi tidur dengan merebahkan tubuhnya di atas kursi taman.

Dengan langkah kaki malas Azhera tetap berjalan menyusuri koridor kelas sebelas. Ruang BK terletak tak jauh dari ruang guru yang berada di samping kiri pintu masuk.

"Permisi," ucap Azhera setelah mengetuk pintu ruang BK dan melangkah masuk dengan tatapan datarnya.

"Sebenarnya saya sudah muak mengurus siswi seperti kamu, Azhera." Tanpa basa-basi pak Burhan mengatakannya.

"Begitu pula dengan saya, Pak. Sebenarnya saya pun malas untuk mengunjungi tempat ini."

Giliran guru BK itu yang melayangkan tatapan datar setengah marah pada Azhera. "Seharusnya kamu tau, Azhera, ini masih terlalu awal untuk mencetak nilai minus di buku catatan perilaku."

"Dan bapak seharusnya tahu pihak mana yang sebenarnya dirugikan."

Pak Burhan tampak menghela napasnya kasar. "Jauhar hanya melempar bola sekali. Sedangkan kamu, Azhera? Kamu bahkan memukul Jauhar lebih dari tiga kali."

"Itu karena Jauhar yang terlalu bodoh. Jika saya tidak melakukan perlawanan maka sudah pasti saya yang akan menjadi korban. Pun jika sampai saya yang menjadi korban, sudah pasti kalian tetap memandang Jauhar sebagai sang korban."

"Azhera!"

"Sanksi terhadap siswa yang melanggar peraturan agaknya tidak mempan jika mereka memiliki ikatan dengan pihak dalam." Azhera tidak mempedulikan seberapa banyak nilai minus yang akan diberikan pak Burhan padanya kali ini "Saya pikir enggak ada orang lain di ruangan ini dan telinga saya masih berfungsi. Jadi, tolong jangan berteriak seperti itu, Pak."

"Seharusnya mata kalian terbuka atas perilaku apa saja yang sudah dilakukan oleh anak itu. Ah, saya lupa! Bukti CCTV yang sudah jelas nampak wujudnya pun kalian masih tetap membela yang salah."

Gadis ini kemudian membuang pandangannya ke samping. Percuma juga panjang lebar ia membicarakan kebenaran di depan orang yang hanya peduli dengan orang dalam tanpa mempedulikan kebenaran yang sebenarnya.

"Untuk saat ini, terserah bapak akan memberi saya nilai minus berapa. Lagipula sebentar lagi saya lulus, pun jika kalian meluluskan saya. Tapi, ingat satu hal, Pak. Saya enggak akan pernah melakukan kekerasan apapun itu jika tidak ada yang menarik saya untuk melakukannya."

"Silahkan keluar dari ruangan ini."

Azhera tersenyum penuh kemenangan saat mendengarnya. Itulah yang ditunggu sedari tadi. Keluar dari ruangan yang selalu membuat dirinya tersulut emosi.

Namun, kali ini Azhera tampak begitu tenang. Biasanya setelah keluar dari ruangan itu, gadis ini selalu meninju tembok ruang BK sebelum ia pergi meninggalkannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melampiaskan segala kekesalannya dengan membuat jemarinya memar usai meninju benda mati itu.

See you in the next chapter!

He is Lying [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang