15 - Ungkapannya

35 20 14
                                    


Sedari pagi Harsha merasakan tubuhnya mulai tremor, tapi ia masih acuh tak acuh. Mati-matian ia menahan keinginannya untuk tidak mengambil pil kuning sialan itu. Ada sebuah tekad dalam dirinya untuk mencoba seberapa kuat ia bertahan untuk tidak menyentuh pil kuning itu.

Namun, yang terjadi malah gemetar pada tubuhnya semakin lama semakin kuat. Di otaknya hanya berisi keinginan besar untuk segera melewati masa-masa seperti ini.

Harsha benci jika harus berada pada situasi seperti ini. Ia benci jika harus mengingat sesuatu yang hanya akan membuat penyesalan dalam dirinya semakin membesar.

Bagaimanapun juga Harsha benar-benar ingin menjalani hidupnya seperti remaja lain yang tak pernah mengenal apa itu pil kuning. Harsha menyesal. Sering kali dirinya hampir tergoda untuk mengakhiri semuanya. Syukurlah sebagian otaknya masih mampu berpikir waras.

"Ibu, Harsha capek." Tangannya kini meremas dadanya ketika ia merasa napasnya sedikit memberat. Ia merasakan tubuhnya perlahan melemah.

Tak terasa air mata mulai memenuhi pelupuknya. Ia bahkan sampai lupa jika dirinya memang selemah ini. Hatinya cukup rapuh. Harsha tidak sekuat yang mereka lihat.

Harsha selemah itu. Sering kali orang-orang berbuat seenaknya sampai menindasnya seolah mereka adalah yang terkuat. Hal itu membuatnya merasa tertekan, marah, muak, kesal, benci. Perasaan yang terus menerus menghantuinya membuat Harsha begitu membencinya, tapi dirinya tak sanggup berbuat apa-apa. Mengapa ia selemah ini?

Rasa benci dalam dirinya semakin meningkat ketika ia gagal menyelamatkan ibunya yang kala itu menjadi korban jiwa atas ulah seorang pembegal. Dirinya begitu lemah untuk melindungi orang lain. Jika saja tidak ada orang yang menolongnya maka kemungkinan besar ia yang saat itu masih duduk di bangku kelas 6 juga bernasib sama seperti ibunya.

Masih teringat jelas di benaknya saat ibunya terkapar bersimbah darah di gang kecil menuju rumahnya. Ia mengira ibunya akan baik-baik saja, tapi takdir berkata lain. Memorinya tersimpan jelas bersama bekas luka sabetan parang si pembegal di punggungnya.

Semakin lama Harsha tak kuasa menahan keinginannya untuk segera melenyapkan segala pikiran yang berseliweran di kepalanya. Pada akhirnya dua butir pil kuning berhasil ia tenggak. Lagi dan lagi, selalu seperti itu dengan harapan ia segera menemukan sebuah ketenangan.

•••=•••

"Gue terlalu gila buat lo jadiin temen. Gue bukan temen yang baik, Azela. Gue takut kalo sampai gue ngelukain lo suatu saat nanti."

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu, hm?"

Kekehan lemah terdengar dari bibir
Harsha. "Apa yang gue takutkan sekarang udah terjadi, Azela."

Azhera hanya menatap datar pemuda di hadapannya yang terus berbicara tak tentu arah. Sementara otaknya tengah berusaha keras untuk mencerna tiap ucapan Harsha.

"Seandainya si Bajingan itu enggak maksa gue buat mengenal pil sialan itu, kemungkinan gue enggak pernah dekat sama siapapun, Azela."

"Harsha, kalo lo sakit mending kita ke dokter aja sekarang. Ayo, Sha!"

Gadis ini mendekat ke arah Harsha, berusaha menjangkau lengan pemuda itu. Namun, Harsha melepaskan pegangan Azhera dari lengannya dalam satu sentakan. Detik berikutnya Harsha mendadak tertawa membuat Azhera meringis ngeri melihatnya.

"Jangan sekali-kali lo panggil dokter buat gue! Inget itu, Azela!"

"Terus mau lo, tuh, apa? Ngomong yang jelas, Harsha! Mabok lo, ya?" tuduh Azhera meskipun ia tak mencium aroma alkohol ataupun minuman memabukkan sejenisnya dari Harsha.

He is Lying [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang