Kini Azhera tengah duduk termenung di balkon kamarnya. Iris coklat gelapnya menatap indahnya langit malam yang bertabur bintang. Ia berharap sosok yang orang-orang sebut dengan sosok paling berharga dalam kehidupannya itu datang.Orang tua. Ya. Orang tua Azhera tinggal di desa dan mereka sengaja meninggalkan Azhera di kota. Ibu Azhera hanyalah penjahit di desanya. Sedangkan ayahnya adalah seorang buruh bangunan.
Bukan tanpa alasan, orang tua Azhera memang sengaja membiarkan putrinya jauh dari mereka. Orang tuanya mengambil keputusan itu semata-mata karena ingin membangun jiwa mandiri pada Azhera dan melatih dirinya untuk terbiasa dengan lingkungan hidup di kota. Orang tua Azhera sudah menyiapkan tabungan untuk membiayai pendidikannya sekaligus biaya hidup di kota. Namun, yang Azhera butuhkan bukanlah uang ataupun pendidikan yang tinggi, melainkan peran kedua orang tua dalam hidupnya.
Awalnya Azhera tinggal bersama kakaknya, Arlana. Karena usia Arlana yang sudah matang, ia kini telah mempersunting seorang wanita yang berasal dari desa tempat Azhera dan Arlana lahir. Kini Arlana memilih tinggal bersama istrinya dan meninggalkan Azhera seorang diri di kota.
Azhera menghela napas panjang. Hendak pulang pun rasanya Azhera enggan. Ketika anak-anak lain beranjak dewasa dengan kedua orang tua yang selalu di ada sisinya, Azhera harus berusaha tegar dan kuat untuk tetap berdiri tanpa mereka.
Ditatapnya kembali langit yang belum memiliki tanda-tanda hendak menurunkan rintik hujan di buminya. Tentu saja. Ini masih bulan Juli, sedangkan musim penghujan biasanya akan datang sekitar bulan Oktober.Beberapa kali memang sempat turun hujan dan itu hanyalah hujan buatan.
Pemerintah kota sengaja memilih untuk menurunkan hujan buatan di beberapa wilayah untuk mengurangi intensitas polusi udara di musim kemarau ini. Untuk menghasilkan hujan buatan, dibutuhkan awan dengan tingkat kelembaban yang tinggi dan angin yang bergerak perlahan. Lalu, untuk menciptakan kondisi yang mendukung pembentukan hujan buatan, pemerintah melakukan usaha dengan menaburkan partikel-partikel halus seperti garam ke dalam awan guna merangsang kondensasi uap air.
Hujan buatan itu dimanfaatkan untuk mengurangi potensi kebakaran hutan akibat kekeringan yang berkepanjangan, pengisian waduk atau danau, dan juga membantu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Kembali Azhera mengembuskan napasnya perlahan. Disesapnya lemon tea panas favoritnya. Tidak ada yang lebih menenangkan dari perpaduan aroma teh dan lemon baginya. Mendadak Azhera merindukan lemon tea buatan Arlana.
Azhera rindu dengan kebiasaan Arlana yang selalu membuatkan lemon tea setiap sore untuknya. Ia merindukan momen di mana mereka akan berbincang hingga larut malam saat Azhera libur sekolah.
"Dia lagi apa, ya?" gumam Azhera. Sedetik kemudian gadis itu bangkit untuk mengambil ponsel dan earphone yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Jari-jari lentiknya menari di atas layar gawainya, mencari nomor telepon seseorang yang sedang ia rindukan. Tak lama, seseorang di seberang sana menyapa dengan suara khasnya.
'Ale pasti kangen abang, ya?'
Azhera tersenyum lebar seraya mengangguk. Padahal orang di seberang telepon itu pun sudah pasti tidak mampu melihatnya. "Kapan main ke sini lagi, Bang?"
'Liburan semester nanti abang main ke sana, ya. Ale apa kabar?'
"Baik, Abang. Semoga Abang baik-baik juga di sana, ya." Azhera menyandarkan punggungnya di pembatas balkon. Kemudian ia mengenakan earphone-nya.
"Janji, ya, liburan Abang harus main ke sini! By the way, Ale kangen sama lemon tea buatan Abang."
'Sialan! Kangen sama lemon tea-nya aja? Enggak kangen sama yang buat juga?'
Respon Arlana membuat Azhera tertawa keras. Selalu seperti itu jawaban Arlana, tidak pernah berubah. "Enggak, ha-ha-ha!"
'Dasar bocah! Ibu juga tadi abis main ke tempat abang. Katanya ibu kangen sama Ale. Mau Abang telpon, tapi pasti Ale masih di sekolah, ya udah enggak jadi.'
Senyum Azhera perlahan surut. Tidak munafik ia juga setengah mati merindukan orang tuanya. "Ya udah, Abang sekalian ajak ibu aja pas main ke sini nanti."
'Pasti!'
"Bang,"
'Ada apa?'
"Ale punya temen baru, lho!"
'Syukurlah. Semoga jadi temen baik, ya, buat Ale.' Azhera kembali mengangguk saat mendengarnya. 'Udah dulu, ya? Abang mau mandi dulu.'
"Ish! Jorok banget, sih!" sinis Azhera yang tengah membayangkan ekspresi orang di seberang teleponnya saat ini.
'Yang penting tetep ganteng, ha-ha-ha!' Arlana tertawa sumbang.
'Udah, ya, cantik. Jangan bergadang, nggak ada manfaatnya! Sehat-sehat di sana. Ale jaga diri baik-baik, ya! Bye!'
Belum sempat Azhera membalas ucapan Arlana, kakaknya itu sudah lebih dulu mematikan saluran teleponnya sepihak. Itu juga termasuk dalam list kebiasaan Arlana yang membuat Azhera ingin sekali meninju lengan kekar kakak satu-satunya itu.
Azhera kembali termenung menatap bintang-bintang yang berserakan di langit. Seketika pikirannya tertuju pada Harsha. Pertanyaan di benaknya masih terus berseliweran. Apakah mood seorang lelaki bisa berubah secepat itu?
Setelah kejadian Harsha yang sempat menaikkan sekian oktaf nada bicaranya, pemuda itu terus mendiamkan Azhera. Bahkan, belum sempat Azhera mengucapkan terima kasih pun Harsha sudah lebih dulu menancap gas meninggalkan gadis itu tanpa berpamitan saat mengantarkannya pulang.
Netra indah Azhera kembali melirik ponsel yang tadi ia letakkan di sampingnya. Ia berinisiatif membuka room chat 12 B 1 untuk mencari kontak Harsha. Azhera berniat hendak meminta maaf pada Harsha. Khawatir dirinya membuat sesuatu yang membuatnya tersinggung hingga berteriak marah kepadanya.
Belum juga Azhera mengetikkan pesan notifikasinya mendadak terdengar ricuh. Rupanya itu ulah Harsha yang baru saja mengirim hasil jepretannya tadi di pantai.
Detik berikutnya, dering telepon terdengar nyaring melalui earphone-nya membuat Azhera kembali terkejut. Sejenak ia menatap layar ponselnya yang menunjukkan deretan angka yang merupakan nomor telepon Harsha.
"Ada apa, Sha?"
'Maafin gue yang tadi, Azela,' jawab Harsha dengan suara paraunya.
"Enggak apa-apa, kok, Sha."
'Maaf, ya. Besok jangan berangkat dulu sebelum gue jemput lo. Udah gitu aja. Terima kasih, ya. Selamat malam, Azela.'
Rahang Azhera luruh begitu saja saat Harsha memutuskan sambungannya tanpa menunggu balasannya. "Gitu aja?"
Baiklah. Sekarang Azhera nampak seperti orang bodoh yang gemar berbicara seorang diri. Gadis ini menggelengkan kepalanya seraya mengambil cangkir berisi lemon tea-nya yang sudah menghangat. Iris coklat gelapnya melirik jam di ponselnya yang masih menyala. Sudah hampir pukul sebelas malam dan ia masih mencari rasa kantuknya yang entah pergi ke mana.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali masuk ke kamar setelah dirasa udara di luar semakin dingin menyapa kulitnya. Azhera segera merebahkan dirinya di ranjang. Netranya kini terfokuskan pada gambar-gambar yang beberapa menit lalu dikirim oleh Harsha. Meskipun terlihat asal, hasil jepretan Harsha rupanya sama sekali tidak mengecewakan. Begitu pula dengan background-nya.
Senja. Ibarat kata, senja adalah lukisan Tuhan yang benar-benar memiliki keindahan yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata. Begitu indah hingga Azhera tak ingin melewatkannya barang sedetik pun.
Kini dirinya baru tersadar akan harapannya yang selama ini begitu memimpikan ingin menyaksikan senja secara langsung di pantai baru saja terealisasikan. Tuhan telah mendengarkan doanya dengan mengantarkannya pada Harsha.
•
•
•
See you in the next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Lying [On Going]
Roman pour Adolescents"Melepas apa yang udah jadi candumu memang susah, Sha. Tapi, gue yakin lo pasti bisa! Lo pasti bisa, Harsha!" -Azela Azhera "Gue nggak janji, Azela." -Zhayu Harsha Putra . . . Picture from Pinterest Edit by Fitrahul Ghani