16 - Dugaannya Benar

29 19 25
                                    


Tangisnya kembali pecah, pemuda itu menggeleng cepat menanggapi ucapan Azhera. "Jangan tinggalin gue sendiri, Azela." Suara paraunya terdengar menyakitkan.

Jujur saja Azhera sudah tak kuasa lagi jika harus berlama-lama berhadapan dengan Harsha dalam kondisi seperti ini. Bulir putih yang sedari tadi ia tahan di sudut matanya pun sudah tak terbendung lagi.

Azhera kembali membawa Harsha dalam pelukannya. Ia tak ingin Harsha melihatnya menangis. Diusapnya kepala Harsha lembut. Ini pertama kalinya ia menghadapi seorang lelaki yang menangis hingga sesenggukan seperti ini.

"Harsha, gue di sini. Gue enggak akan pergi selama lo masih mau berusaha buat berhenti dari itu, Sha."

Harsha mengangguk dalam pelukan Azhera. Mendengar ucapan Azhera membuat hatinya menghangat. Gadis itu berhasil menyalurkan ketenangan yang membuat emosinya perlahan mereda. Pelukan itu memberikan kenyamanan tersendiri baginya.

Terakhir kali Harsha mendapatkan perlakuan seperti itu sebelum ibunya tiada. Ia bahkan hampir lupa akan perasaan nyaman itu saat seseorang memeluknya penuh kasih sayang. Kini Azhera berhasil membuat Harsha mendapatkannya kembali.

"Udah, ya, Sha. Jangan nangis kayak gini lagi, gue benci liatnya," ucap Azhera yang masih setia mengusap surai Harsha.

"Terima kasih, ya."

•••=•••

Kala itu Azhera kembali pulang pukul lima sore. Sebenarnya ia tak tega harus membangunkan Harsha yang tertidur dalam dekapannya. Namun, jika dibiarkan pasti akan membuat punggung Azhera lelah karena harus menahan tubuh Harsha hingga pemuda itu bangun. Azhera memutuskan untuk pulang setelah ia berhasil memapah Harsha menuju kamarnya.

Semalam Azhera berhasil menemukan informasi dari internet yang membuatnya semakin yakin dengan dugaannya. Pil kuning yang sempat ia ambil bukanlah sembarang pil. Seorang Harsha dengan gilanya menyalahgunakan pil kuning itu. Sempat terlintas di pikiran Azhera, dari mana anak itu mendapatkannya?

Sebelumnya Azhera masih mencoba berpikir positif, tapi mengingat ucapan Harsha kemarin membuatnya gagal berpikir jernih. Apakah Harsha benar-benar seorang pecandu?

Entahlah. Azhera tidak bisa asal menyimpulkannya. Bisa saja Harsha hanya ketergantungan dengan pil kuning itu. Ingat! Ketergantungan bukan berarti kecanduan.

Azhera tidak memberitahu soal ini pada Arlana. Sudah pasti Arlana akan melarangnya untuk berteman dengan Harsha. Arlana tidak akan membiarkan adiknya bergaul dengan seseorang seperti Harsha. Wajar saja. Seorang kakak pasti tidak ingin jika adiknya salah pergaulan.

Namun, di sisi lain Azhera juga masih memiliki akal sehat untuk menolak hal-hal negatif seperti itu. Bagaimanapun juga Azhera tetap merasakan sedikit kekecewaan dalam dirinya pada Harsha. Ia masih tak menyangka jika seorang Harsha melakukannya

Pantas saja selama ini Azhera sering mendapati netra sayu Harsha memerah. Mungkin pil kuning itu menjadi salah satu pemicunya. Untuk memperkuat dugaannya, Azhera berniat kembali mengunjungi Harsha sekaligus memastikan keadaannya hari ini.

"Ale mau ke mana?" tanya Arlana yang masih berbaring di kasur Azhera.

"Ke rumah Harsha."

"Abang ditinggal sendiri?"

"Terus Abang mau ikut?" Azhera yang semula sedang merapikan rambutnya menghadap cermin pun berbalik menatap Arlana.

"Waktu Abang enggak ada di sini mesti Ale nyuruh Abang ke sini. Giliran Abang udah di sini malah Ale pergi sendiri," ujarnya cemberut.

"Gusti Pangeran ... Kemarin Ale ditinggal sendiri sampai jam sembilan aja Ale enggak protes, tuh, Bang."

Arlana hanya tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. Ia tak mampu mengelak dari kebenaran yang diucapkan adiknya.

He is Lying [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang