10 - Tingkahnya

36 21 26
                                    


Sudah pukul lima sore dan Azhera masih belum juga bangkit dari posisi rebahannya. Begitu menyenangkan bisa menikmati semilir angin dari balkon kamarnya ditemani dengan secangkir lemon tea dingin.

Tak bosan-bosannya ia menatap langit dengan goresan awan yang turut menambah keindahannya. Sungguh ciptaan Tuhan memang tidak pernah gagal. Tangan kirinya yang menggenggam ponselnya pun terangkat. Jari-jarinya menari di atas layar, mencari kontak yang belum sempat ia beri nama.

Dirinya begitu malas mengetikkan pesan sehingga ia memutuskan untuk menekan ikon telepon yang terpampang di sudut kanan atas.

Ringing

Itu artinya ponsel Harsha aktif, tapi pemuda itu tak kunjung menjawab panggilan Azhera. Apakah pemuda itu tengah tertidur? Masa bodoh Azhera memutuskan untuk kembali menghubunginya. Lagi-lagi belum ada jawaban. Hingga yang ketiga kalinya, Azhera berhasil membuat pemuda itu mengangkat panggilan teleponnya.

'Mau pergi sekarang?'

Alis Azhera menyatu terkejut mendengar suara Harsha yang terdengar lebih berat dari biasanya. "Tapi, gue belum mandi. Kalo lo udah siap langsung ke sini aja, ya."

'Hm. Lima menit.'

"Iya-iya! Gue mandi dulu. Bye!" Sambungan telepon Azhera matikan sepihak. Mau tak mau ia segera bergegas bangun dari posisinya yang begitu nyaman.

"Awas aja kalo datengnya 50 menit kemudian!" gumam Azhera seraya berjalan meraih handuk yang tergantung di belakang pintunya.

•••=•••

Sebelum tangannya tergerak membuka pintu rumahnya, sayup-sayup terdengar seperti suara ketukan pada kayu yang berasal dari luar. Hal itu membuat Azhera lebih dulu melongokkan kepalanya ke jendela.

"Eh?" Cepat-cepat Azhera membukakan pintunya. "Lo udah lama, Sha?"

"Lima menit setelah lo matiin telpon."

Azhera hanya bisa menampakkan senyum tak berdosanya. Rupanya pemuda itu sudah menunggunya sedari tadi di depan rumahnya.

Kaos hitam yang dibalut jaket biru tua serta celana jeans hitam turut melengkapi penampilan Harsha sore ini. Sedangkan Azhera, ia mengenakan kaos yang senada dengan warna jaket Harsha dan celana cargo berwarna putih tulang. Tanpa disengaja pun mereka terlihat matching.

"Abis ke supermarket nanti mampir ke tamkot beli makan, ya." Harsha mengangguk menanggapinya. Sedari tadi jarinya tak berhenti mengetuk meja.

Sebelum Harsha bangkit dari duduknya, ia sempat memejamkan matanya lebih dulu. Berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. "Ayo, gas!"

"Gue patahin leher lo kalo sampe lo ngebut lagi!" Lagi-lagi ancaman Azhera hanya membuat Harsha tertawa lantang.

"Nih! Pake helm gue. Sayang motor gue jadi tumbal  kalo kepala lo lecet." Tangannya mengulurkan helm full face hitam pada Azhera. "Gue lupa enggak bawa helm dua tadi. Jadi, lo aja yang pake."

"Dasar manusia!" Gadis itu memberikan gestur seolah hendak memukul Harsha sebelum ia menerima helm itu.

Tidak ada percakapan lagi selama perjalanan menuju supermarket. Harsha yang biasanya banyak bicara pun hanya diam sembari sesekali bersenandung kecil.

Berbeda dengan Azhera yang masih berkelahi dengan isi otaknya. Saat ia berbicara dengan Harsha tadi, seperti biasa ia terlibat kontak mata dengannya. Lagi-lagi bola mata Harsha tampak memerah.

Pandangannya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang ada dalam diri pemuda itu. Sebenarnya ada apa dengan Harsha? Lantas sejak kapan dirinya menjadi sepeduli ini pada kawan barunya itu? Semoga dia baik-baik aja, Tuhan.

He is Lying [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang