17 - Jauhar Lagi

29 12 30
                                    


Harsha bungkam, nyeri akibat pukulan Azhera di rahangnya tak seberapa sakitnya. Namun, dadanya begitu sesak usai dihujam oleh ucapan Azhera beberapa detik lalu. Ia sadar apa yang diucapkan Azhera benar, Harsha ialah manusia yang terlalu pesimis.

Harsha memang bertekad untuk berhenti, tapi akal sehatnya masih terpengaruh dengan bisikkan setan yang selalu berhasil membuatnya kembali pada pil kuning itu. Sayang sekali setan itu selalu tertuduh padahal pendirian Harsha saja yang kurang kukuh.

Kepala Harsha tertunduk dalam. Sadar jika ia menuruti emosinya yang ada hanya akan membuat Azhera terluka. Setitik air mata kembali lolos dari kelopak matanya.

"Mau nangis sampai kapanpun enggak bakal buat lo berubah, Sha," sindir Azhera yang sadar ketika Harsha mulai terisak.

"Oke, sekarang gue tau. Kalo menurut lo kehadiran gue ini mengganggu dunia lo bilang aja, gue bisa pergi, Sha. Mungkin gue memang terlalu banyak ikut campur sama urusan pribadi lo."

Usai berucap demikian, Azhera berniat melangkahkan kakinya meninggalkan Harsha. Namun, pergerakannya tertahan saat tangan Harsha melingkar cepat di pinggangnya. Masih di posisi duduknya Harsha memeluk Azhera yang hendak pergi.

"Enggak, jangan pergi, Zel. Sekali lagi gue mohon jangan pergi. Tolong beri gue waktu buat berusaha berhenti, tolong bantu gue buat berhenti, Zel." Harsha mendongak menatap Azhera yang mengalihkan pandangan darinya.

Kenapa tangisan seorang pria terdengar lebih menyakitkan seperti ini? Agaknya sekeras apapun Azhera berusaha untuk acuh, tak akan membuahkan hasil.

Detik berikutnya kedua tangan Azhera meraih kepala Harsha yang sudah terbenam di perutnya. Azhera mendongakkan kepalan Harsha agar menghadapnya. "Janji?"

Harsha mengangguk di sela isak tangisnya. Jemari lentik Azhera mengusap lembut pipi Harsha yang basah oleh air matanya. Sudut bibir Azhera pun terangkat melihat respon Harsha. Namun, senyumnya surut seketika kala mendapati rahang Harsha yang memerah akibat ulahnya tadi.

"Pasti sakit banget, ya, Sha? Maafin gue, ya, Sha." Azhera kembali terduduk setelah menyadarinya. Jemarinya kini beranjak mengelus rahang kiri pemuda itu dengan rasa bersalahnya. Kini giliran Azhera yang menarik Harsha kembali dalam pelukannya. "Maaf, Sha. Enggak seharusnya gue ngelukain lo."

Azhera mengurai pelukannya beberapa saat setelah tangisan Harsha mereda. Ditatapnya kelopak mata sayu Harsha yang tampak membengkak. "Gara-gara gue, mata lo jadi bengkak gini, Sha."

Kekehan khas yang Harsha lontarkan terdengar menyebalkan bagi Azhera. "Gue cengeng, ya, Zel?"

"Enggak, karena setiap manusia punya cara sendiri buat mengungkapkan emosinya, Sha. Dan inget! Jangan percaya sama larangan yang melarang cowok nangis. Nangis itu manusiawi. Tapi, jangan lama-lama juga nangisnya, enggak baik."

"Makasih, ya, Zel."

"Anytime!" Gadis ini merogoh ponselnya di kantung celananya. Terpampang di sana deretan notifikasi pesan dari Arlana.
"Sha, gue pulang dulu, ya. Bang Arlan bilang motornya mau dipake soalnya."

"Ikut!"

"Enggak! Gue enggak yakin lo udah tenang, mending lo istirahat aja dulu, deh, Sha."

"Justru bisa gila gue kalo kelamaan di rumah sendiri. Gue ikut, ya, Zel? Please ..." Tiba-tiba saja pemuda ini merengek seperti anak kecil pada Azhera. Apakah ini juga efek dari pil kuning itu? Kepribadiannya seolah berubah begitu cepat.

"Ish! Yaudah, cuci muka dulu sana! Dua menit, gue tunggu di depan."

Mendengarnya membuat Harsha buru-buru bangkit hingga membuat betisnya menabrak sudut meja di ruang tengah ini.

"Jangan tinggalin!"

"Ah! Kelamaan!" sahut Azhera sembari berjalan keluar. Hal itu membuat Harsha menghentikan langkahnya dan kembali berteriak setengah merengek pada Azhera.

He is Lying [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang