01. Bastara Angkasa Raya: Mas Tara.
02. Arsatya Teduh Sarengga: Bang Satya (Bang Sat).
03. Rengganis Ayu Anjani: Kak Ganis.
04. Arkana Dinan Prawangga: Panggil aja Arka, Dinan, Angga, atau Kana juga boleh, tapi lebih suka dipanggil Kana katanya.
05. Ranayya Kejora Arshelin: NayaAku penulis amatir yang menerima semua kritikan dari kalian, karena kritikan itu akan berguna untuk membangun ceritaku ke depannya.
Selamat membaca✨
—————
Pagi ini menjadi pagi keempat sejak kepulangannya, tidak ada yang berubah dari satu tahun yang lalu. Setiap pagi selalu terdengar alunan musik galau dari kamar Naya, suara mengaji dari kamar Ibu, suara Ganis yang sedang memarahi Kana karena masih tidur, atau suara Satya yang pagi-pagi sudah stay didepan televisi.
Satu suara yang selalu Tara rindukan yaitu suara bapak. Kini suara itu tidak lagi terdengar, tidak ada lagi suara tawa renyah bapak setiap pagi, tidak ada lagi suara bapak yang tengah berbicara pada ayam kesayangannya setiap pagi.
Benar-benar tidak ada lagi.
Tapi tidak apa-apa, bukannya hidup memang seperti itu? Terkadang kita selalu sulit melupakan, tapi nyatanya bukan melupakan yang sulit, tapi membiasakan diri. Namun tenang saja, waktu akan terus berjalan, kita akan terbiasa seiring berjalannya waktu, percayalah.
“Mas, kangen sama bapak gak sih?!”
Jantung Tara seakan-akan seperti meloncat dari tempatnya saat tiba-tiba Satya muncul diambang pintu.
“Bisa ngetuk pintu, kan? Ketuk dulu kek, ngagetin aja!” ketus Tara.
Disana Satya hanya menyengir. “Salah siapa gak dikunci!”
“Tetap salah kamu, ini kan kamar Mas, maen nyelonong aja!”
“Kamar aku juga kali, kita kan satu kamar. Yaudah sih ... cuman kaget doang kan belum jantungan? Biasa aja kali!”
Satya sudah tak terlihat lagi, Tara menghela panjang, tadi Satya bertanya, katanya Mas kangen bapak gak sih? Kenapa juga Satya harus bertanya, padahal sudah jelas kalau Tara adalah orang yang paling merindukan almarhum bapak setelah Ibu.
Bukan karna Tara anak pertama, tapi Tara adalah anak yang paling dekat dengan bapak, mungkin karena sama-sama sudah dewasa, atau karena bapak memang menjadi idolanya sejak lama.
Laki-laki berumur tiga puluh tahun itu beranjak dari duduknya, kakinya ia langkahkan keluar, hal pertama yang ia lihat adalah Naya yang baru saja keluar dari kamar, sama sepertinya.
“Mas Tara mimpi apaan semalem?”
Alis Tara bertaut, kenapa bocah itu harus menanyakan hal seperti itu padanya? Padahal mau memimpikan apapun Tara, itu bukan urusannya.
“Mas mimpi tawuran ya? Sampe geledag-geledug gitu semalam!” Naya sedikit ketus.
Gadis itu berjalan menuju kursi, mencomot agar-agar yang dibuat Satya tadi malam.
“Buset rasa terasi!” celetuk Naya.
Tara lantas tertawa, mana ada agar-agar rasa terasi.
“Itu rasa cincau! Ngaco aja kalo beneran rasa terasi!” Ganis tiba-tiba menimbrung, gadis berusia 23 tahun itu datang dengan Kana yang sudah basah kuyup dibelakangnya.
“Ngomongin terasi, gue jadi inget bapak.”
Kelima orang itu langsung terdiam saat Satya tiba-tiba menyebut nama bapak.
Mereka ikhlas, tapi mereka rindu.
Kana langsung beranjak pergi ke kamar mandi, anak itu paling tidak suka jika sudah membahas bapak, sebab anak itulah yang akan menangis paling pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita rumah kita
Teen FictionDirumah nomor 09, ada enam jiwa yang saling menguatkan, saling bergengaman tangan dan juga saling tersenyum. Mereka masih tertawa. tapi tawanya tidak lagi bermakna apa-apa. Rumah yang awalnya selalu hangat kini terasa dingin. Mungkin rumahnya masih...