08. Menikmati bahagia yang ada

11 10 1
                                    

Hai👋

Selamat membaca

Sekeras apapun kamu berteriak
dia tidak akan pernah kembali,
karena hidup adalah perihal
datang dan pergi.

Rengganis Ayu Anjani


—————

Pagi ini hujan turun lumayan deras, hujannya memang sudah berhenti, tapi tanahnya masih basah, sinar matahari belum sepenuhnya mengeringkan tanah kota ini.

Tepat setelah ibu dan Mas Tara pergi ke pasar, Satya pergi menuju kebun sayuran milik keluarganya di kota sebelah, cukup jauh dari rumah.  Tapi hari ini jalanan tidak padat, Satya bersyukur karena perjalanannya hari ini tidak membuatnya gila.

Saat memasuki pagar, Satya berusaha menghirup aroma tanah basah yang sebelumnya sangat ia benci.

Setiap Satya datang kemari, ia selalu membayangkan adegan ketika bapak menyiram sayurannya, dan mengajarkan bagaimana caranya merawat sayuran dengan baik dan benar. Dan adegan ketika bapak menyeruput kopinya setelah selesai bekerja.

Suaranya, tawanya, masih terdengar jelas di benak Satya.

Bagi Satya, bapak tidak pernah mati. Ia hanya pergi keluar kota untuk ikut menjual hasil panennya bersama Kang Nandi. Setiap bulan Satya selalu mengunjungi tempat ini, berharap kalau bapak akan ada disini dan memberinya lima lembar uang seratus ribu.

“Mumpung Abang ada disini, ini buat kebutuhan Abang, jangan bilang sama Ganis ya.”

Itu yang selalu bapak bisikkan padanya.

Namun pada akhirnya Satya selalu tersadar, meskipun setiap bulan Satya selalu datang ke tempat ini, adegan itu tidak akan pernah terulang kembali, karena kenyataannya bapak telah lama pergi.

Tangan laki-laki itu tergerak hanya untuk melambaikan tangannya pada seorang gadis yang kebetulan lewat.

“Mas Teduh!” teriak gadis itu, terdengar memekakkan telinga.

Perasaan sedih tentang bapak seketika hilang saat senyum diwajah gadis itu mengembang. Satya sangat menyukainya.

“Udah lama gak liat, kemana aja?” tanya gadis itu.

Satya memutuskan untuk menarik pergelangan tangannya, lalu membawanya untuk memasuki gubuk kecil dipinggir kebun.

“Akhir-akhir ini gue sibuk narik ojek Mei, lumayan lah buat sehari-hari. Dan karena jarak juga, gak mungkin kan kalau gue kesini tiap minggu, habis dong uang gue dipake bensin.”

Meisa terlihat ber-oh ria, Satya memperhatikan seluruh pahatan-pahatan diwajahnya, itu ... terlihat cantik.

Meisa Ayuni Harpati namanya. Tampilannya selalu sederhana, tidak seperti gadis-gadis lainnya. Tapi meskipun begitu, Meisha selalu terlihat berbeda dimata Satya, dia benar-benar cantik, sungguh.

Satya meluruskan pandangannya ke depan. “Kenapa ibu gak jual tanahnya aja ya? Kan lumayan, daripada capek-capek bikin kue.”

Meisa malah tertawa, Satya mengerutkan dahi. “Lucu ya?” tanya Satya.

“Jelas lucu lah! Pikir deh Mas, kalau ibu jual tanah ini berarti tanahnya jadi milik orang lain. Nah ... kalau nanti uang hasil ngejual tanahnya habis, ibu dapat uang darimana? Kan kebunnya jadi milik orang lain.”

Cerita rumah kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang