Cerita ini masih butuh kritik dan saran yang membangun, juga tentunya vote dan komen yang bikin aku semangatt😄✨
—————“Gak pa-pa 'kan kalau lo pulang sendiri?”
Naya jadi merasa geli sendiri, lihat saja betapa Pradipta bucin padanya, bahkan sedari tadi gengaman mereka enggan Pradipta lepas.
Naya mengedikkan bahu dengan geli. “Idih ... biasanya juga gue pulang sendiri!”
“Yaudah, gue pulang ya.”
Didepan gerbang sekolah, akhirnya jemari yang bertautan itu Pradipta lepas, laki-laki itu berlari kemudian memasuki mobil. Ternyata, menjadi pacar seorang Pradipta Varenaldi tidak semenyenangkan yang orang lain kira. Mereka jarang berkomunikasi, Pradipta itu super sibuk. Mulai dari belajar untuk olimpiadenya beberapa bulan lagi, latihan basket untuk kompetisi antar sekolah minggu depan, atau belajar tambahan setiap pulang sekolah.
Mereka tidak pernah menyempatkan waktu untuk sekedar membeli eskrim seperti cinta monyet pada umumnya.
Perlahan, mobil itu menjauh kemudian tak terlihat ditelan jarak.
“Ndra, udah deh. Lo gak capek ngagetin gue terus?” Saking seringnya dijahili, Naya sampai hafal ketukan sepatu milik kakak kelas super duper jengkelnya itu.
Bukan sekedar kakak kelas, Narendra adalah teman ngobrolnya di warung laperpool alias warung Kang Andarmaja.
“Yah ... gagal deh.”
Naya memutar bola matanya malas, melihat kemana saja asalkan tidak pada anak laki-laki itu.
“Lo gak curiga sama si Pradipta? Siapa tau dia selingkuh,” celetuk Naren.
“Dipta gak punya waktu buat selingkuh!”
“Yakin?” Naren malah memancing-mancing.
“Lo pikir kalo dia selingkuh gue peduli? Enggak ya!” Jelas Naya berbohong, seaneh apapun hubungan mereka, Dipta tetap kekasihnya yang menyatakan perasaannya memakai cilor didepan kantin.
“Iya, gak peduli, palingan nangis tengah malam sambil bikin story galau!”
“Akhh! Sakit bego!” rintih Naren saat Naya mencubitnya keras-keras.
“Makanya diem!”
“Mau gue anterin pulang gak? Gue bawa sepeda, gak naik angkot kayak waktu itu.”
Naya terdiam, memandangi Naren cukup lama. Kemudian tangannya tergerak untuk menyentuh dada anak itu, bahkan tak sungkan membuka kancing seragamnya.
“Eh jangan macem-macem, gini-gini juga gue mah masih suci!”
“Udah sembuh, kan?”
Naren sempat terdiam tak percaya. “Oh itu, udah kok,” jawabnya canggung saat tangan kasar gadis itu menyentuh kulit dadanya.
Tak lama kemudian, Naren merasakan kepalanya didorong ke samping. “Jangan natap gue kayak gitu dong!” ucap gadis dihadapannya.
Naren tersenyum kecil seraya mengancingkan kembali seragamnya. “Jadi gini ya rasanya diperhatiin?” Dengan segelintir perih, Naren menghembuskan napasnya berat, sementara dihadapannya, Naya terdiam tak berkutik.
.
Hari ini jalanan cukup padat, Naren sengaja membelokkan sepedanya ke jalan yang cukup asing bagi Naya, Naren pernah melewati jalan itu, tapi dia tidak bisa mengingat sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita rumah kita
Teen FictionDirumah nomor 09, ada enam jiwa yang saling menguatkan, saling bergengaman tangan dan juga saling tersenyum. Mereka masih tertawa. tapi tawanya tidak lagi bermakna apa-apa. Rumah yang awalnya selalu hangat kini terasa dingin. Mungkin rumahnya masih...