selamat membaca✨
-----
Hari ini adalah hari kelima dirinya berada dirumah, Tara selalu bersyukur pada Tuhan karena masih mempunyai mereka, tempat pulang dari segala rasa lelahnya.
Meskipun kata 'Mereka' baginya tidak pernah lengkap lagi.
Seminggu setelah bapak berpulang, Tara memutuskan untuk kerja, bahkan tanpa tanggung-tanggung, dia kerja diluar pulau jawa.
Meski bagaimanapun, ibu dan adik-adiknya masih harus makan, masih butuh uang, itu sebabnya dia harus kerja banting tulang menggantikan bapak.
Satya dan Ganis juga bekerja, tapi penghasilan mereka hanya cukup untuk diri mereka sendiri. Meskipun begitu Tara tetap bersyukur, setidaknya kedua adiknya itu masih bisa membuat perut mereka kenyang, ibu dan kedua adiknya yang lain biarlah menjadi urusannya.
Dia tidak takut mati kelelahan di tempat kerja, dia hanya takut keluarganya mati kelaparan, dia benar-benar takut akan hal itu.
Siang ini, tepatnya sepulang shalat jum'at. Sesekali Tara menggigit gorengan buatan Ibu, walaupun rasanya terlalu asin karena adonannya tak sengaja ketumpahan garam oleh Naya. Sepahit apapun itu dia tetap memakannya, walaupun rasanya tidak enak, setidaknya Tara sudah menghargai Ibu karena telah membuat gorengan itu.
"Mas mau berangkat lagi kapan?"
"Belum kepikiran, rencananya mau lama-lama disini, kalau bisa ya tinggal disini aja, sama kalian."
Ibu tersenyum senang. "Yaudah, apapun yang jadi keputusan Mas ibu selalu dukung, yang penting bukan keputusan yang salah."
"Iya, bu."
Siang ini Satya pergi untuk sekedar mencari penumpang, Ganis pergi ke kampusnya, sedangkan Kana sedang menjemput Naya yang katanya sudah pulang, lebih cepat dari biasanya.
"Bapak marah gak ya sama Tara?" Tara menoleh ke arah ibu yang sedang menggantung pakaian basah.
"Kamu anak kesayangannya, bapak gak pernah marah sama kamu," jawab Ibu.
Tara tersenyum getir. "Bapak kan pengen jadi saksi nikah aku, Bu. Tapi kenyataannya bapak keburu pergi."
"Bapak gak salah karena pergi terlalu cepat, tapi disini Tara yang salah karena nikah telat." lanjutnya.
Ibu yang tadinya fokus menggantung pakaian itu segera menoleh ke arah Tara. "Jangan salahin diri sendiri, manusia memang selalu punya keinginan, tapi takdir punya kenyataan. Apapun yang ditakdirkan untukmu, berarti itu lebih baik daripada keinginan kamu."
Tara terdiam, Ibu memang tidak salah. Karena pada kenyataannya, sekeras apapun Tara menyalahkan dirinya sendiri, bapak tidak akan pernah kembali.
Karena memang takdirnya sudah seperti itu.
Tatapan Tara beralih pada segelas kopi yang belum diteguk habis. Laki-laki itu paling dewasa diantara keempat adiknya, dia adalah orang pertama yang akan memberi nasehat pada adik-adiknya, tapi dia tidak pernah bisa menasehati dirinya sendiri.
Mungkin lebih tepatnya, tidak ada yang menasehatinya lagi setelah bapak pergi.
Selama ini Tara selalu menguatkan dirinya sendiri, memeluk dirinya sendiri, juga menyemangatinya dirinya sendiri. Sebab kalau bukan dirinya siapa lagi? Ibu? Bahkan Ibu jauh lebih butuh semangat daripada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita rumah kita
Teen FictionDirumah nomor 09, ada enam jiwa yang saling menguatkan, saling bergengaman tangan dan juga saling tersenyum. Mereka masih tertawa. tapi tawanya tidak lagi bermakna apa-apa. Rumah yang awalnya selalu hangat kini terasa dingin. Mungkin rumahnya masih...